Revolusi Sosial di Aceh
Revolusi sosial tidak hanya terjadi di tiga daerah di Jawa, tapi juga di Aceh. Hal itu terjadi karena permusuhan sengit terjadi antara pemimpin agama (ulama) dan para birokrat (uleebalang). Banyak uleebalang mengharap kembalinya Belanda dan menjadi tak terlindungi saat Belanda tidak kembali. Para uleebalang gagal melaksanakan perlawanan terpadu terhadap kekuatan-kekuatan pro Republik yang dipimpin oleh para ulama. Antara bulan Desember 1945 dan Maret 1946, para uleebalang yang terkemuka dijebloskan ke penjara beserta keluarganya. Ada pula yang dibunuh. Dominasi uleebalang digantikan oleh para ulama untuk selamanya. Setelah tahun 1946, Islam sudah mendominasi Aceh (Ricklefs 2005 :443).
Sejak berlangsungnya Perang Aceh melawan kolonialisme Belanda (1872-1904) sampai dengan takluknya kekuasaan Belanda pada Jepang, golongan uleebalang mendapat dukungan dari pemerintah Belanda untuk mengimbangi golongan ulama . Politik Belanda ini menimbulkan ketegangan antara golongan bangsawan dan golongan agama, sehingga ketika kekuasaan Belanda goyah, konflik terbuka pun terjadi (Melatoa dan Sudiyono, 2004 : 33).
Uleebalang (hulubalang) berperanan sebagai kepala negeri atau distrik dan diperoleh melalui keturunan. Setiap menduduki jabatan uleebalang memerlukan pengesahan Sultan, yang dinyatakan dalam bentuk surat pengesahan yang disebut sarakata. Uleebalang juga berperan sebagai panglima tentara dan sebagai hakim, bahkan kadang-kadang juga sebagai pengusaha atau pedagang kaya. Uleebalang disebut juga sebagai kepala nanggroe atau raja, pembantu atau wakil Sultan dalam kenegerian otonom. Uleebalang dapat memberi wewenang kepada para mukim dan keucik sebagai kepala kampung (ampong) (2004 : 33).
Komentar
Posting Komentar