Sidang Dewan Keamanan PBB untuk Kemerdekaan Indonesia

 

Sidang Dewan Keamanan soal Indonesia berlangsung alot selama enam hari (7, 9-13 Februari 1946). Pada sidang pertama, wakil delegasi Belanda adalah Eelco van Kleffens yang didampingi oleh penasihat Mr Zairin Zain dan Sumitro Djojohadikusumo. Alasan mengapa hal tersebut dilakukan adalah karena sulitnya mengontak Sjahrir. Di samping itu, Indonesia tidak berhak menghadiri Sidang Dewan Keamanan PBB. Sesudah sidang, Sumitro langsung terbang dari London ke Jakarta untuk melapor kepada pemerintah Republik Indonesia. Sumitro dan Zairin melaporkan secara resmi kepada Sjahrir pada 14 Maret 1946 (Hoesein, Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati).

Meskipun mereka menghadiri Sidang Dewan Keamaman sebagai penasihat delegasi Belanda, namun kedatangan mereka lepas dari segala perhubungan dengan pihak NICA dan teristimewa bermaksud untuk melaporkan langsung kepada pemerintah Republik Indonesia tentang segala yang dialaminya di London, berhubung dengan politik dunia internasional mengenai Indonesia (Soeara Merdeka, 18 Maret 1946).

Sidang Dewan Keamanan mencoba mengusulkan sebuah resolusi. Namun, rancangan resolusi yang dibuat oleh delegasi Ukraina, Uni Soviet, dan Mesir, ditolak sidang. Hal in terjadi karena ketidakhadiran delegasi Indonesia dalam sidang.

Manuilsky juga menyayangkan ketidakhadiran wakil dari Indonesia. Dalam setiap sidang, Manuilsky bersikukuh dengan pendapatnya bahwa Indonesia dalam keadaan berbahaya sehingga PBB harus campur tangan. Ketika resolusi dimentahkan, dia pun mengusulkan agar PBB mengirimkan panitia penyelidik ke Indonesia. Sementara delegasi Inggris, Ernest Bevin membela delegasi Belanda Eelco van Kleffens, bahwa Indonesia adalah masalah Kerajaan Belanda dan Dewan Keamanan tidak berhak ikut campur.

Dalam sidang terakhir, usul Ukraina mengenai panitia penyelidik diputuskan melalui voting. Uni Soviet, Polandia, dan Mexico mendukung usul Ukraina agar PBB mengirim panitia penyelidik ke Indonesia, sedangkan Tiongkok setuju “pada prinsipnya” dan Australia tidak setuju, tetapi jika Dewan Keamanan memutuskan akan mengirim panitia penyelidik maka Australia meminta menjadi bagian dari panitia tersebut –kelak Australia dipilih oleh Indonesia sebagai wakil dalam Komis Tiga Negara, Belanda memilih Belgia dan Amerika Serikat dipilih oleh keduanya.

Sedangkan yang tidak setuju adalah Prancis, Inggris, Belanda, Brazil, Mesir, dan Amerika Serikat. Tetapi, Mesir mengusulkan agar tentara Inggris tidak boleh menindas kaum pergerakan Indonesia dan harus ditarik setelah misinya selesai, serta perundingan Indonesia dan Belanda di Jakarta harus dilaporkan kepada Dewan Keamanan. Inggris dan Belanda tidak menerima usul Mesir tersebut.

Upaya Ukraina mendapat sambutan baik dari Indonesia. Pada 13 Februari 1946, Persatuan Perjuangan yang diprakarsai Tan Malaka mengirimkan kawat kepada Manuilsky dan Andrei Vyshinsky (delegasi Uni Soviet di PBB). RRI Solo menyiarkan kawat tersebut:

“Saudara Manuilsky dan Vyshinsky. Persatuan Perjuangan Rakyat di Jawa yang mewakili 137 organisasi politik, sosial, ekonomi, dan ketentaraan, telah melihat bahwa ada persesuaian sikapnya dengan sikap yang saudara-saudara tunjukan dalam sidang PBB ketika membicarakan soal Indonesia. Maka dari hati 70 juta rakyat Indonesia yang berjuang mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan Tanah Airnya, diucapkan terima kasih yang tiada berhingga kepada saudara-saudara dan mengharap moga-moga saudara-saudara beroleh kemenangan di PBB.”

Selain Persatuan Perjuangan, Partai Masyumi juga mengirim telegram kepada Manuilsky dan Vyshinsky: “Partai politik Islam Indonesia Masyumi bersidang di Surakarta pada Februari 1946 memaklumkan keputusan-keputusan buat menyatakan terima kasih kepada tuan-tuan atas perhatian tuan-tuan terhadap bangsa Indonesia dan Republik Indonesia serta pembelaan tuan-tuan atas kepentingan dan hak kemerdekaan bangsa Indonesia berhadapan dengan imperialisme-imperialisme Inggris-Belanda di Indonesia. Mudah-mudahan tuan-tuan tidak akan jemu dalam usaha membela segala penindasan atas bangsa yang berjuang buat keadilan dan kebenaran dan kemerdekaan dalam PBB dan tempat lain yang tuan-tuan rasa perlu.”

Ketika Ukraina mengusulkan soal Indonesia dibahas dalam sidang Dewan Keamanan PBB, sejak itu sengketa Indonesia-Belanda menjadi sengketa internasional sepenuhnya (a full blown international dispute) (Isnaeni, Historia, 14 Desember 2011).

Pada 14 Februari 1946, Persatuan Perjuangan melakukan rapat raksasa di Alun-aun Utara Yogyakarta, kemudian dilanjutkan dengan pawai dan demonstrasi, yang diikuti oleh tentara dan badan-badan perjuangan. Demonstrasi tersebut  dimaksud sebagai pernyataan simpati kepada Ukraina dan Rusia dan penegasan tentang tuntutan untuk kemerdekaan 100%  (Poeze, dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Agustus 1945-Maret 1946).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan