Komisi Tiga Negara



Latar Belakang Komisi Tiga Negara

Ketika sidang Dewan Keamanan PBB yang membahas masalah-masalah Indonesia-Belanda, Para diplomat Indonesia seperti Sutan Syahrir, H. Agus Salim, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Sudjatmoko, dan Charles Tumbun saat itu menyampaikan laporan mengenai situasi di Indonesia akibat agresi militer Belanda (Nana Supriatna, Mamat Ruhimat, dan Kosim).

Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB menyerukan agar sejak tanggal 4 Agustus kedua belah pihak menghentikan tembak-menembak. Atas usul Amerika Serikat, Dewan Keamanan PBB juga membentuk Komisi Jasa Baik yang terdiri atas tiga negara. Tugas komisi itu adalah mengawasi gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda.

Komisi Tiga Negara lalu dibentuk sebagai badan arbitrase atas kesepakatan Dewan Keamanan PBB. Arbitrase adalah cara penyelesaian sebuah sengketa di luar peradilan umum yang berdasarkan pada perjanjian arbitrase secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Indonesia memilih Australia yang diwakili oleh Richard Kirby, sedangkan Belanda memilih Belgia yang diwakili Paul van Zeeland. Kedua negara tersebut kemudian memilihi Amerika Serikat yang diwakili oleh Dr. Frank Porter Graham. Komisi yang baru mulai bekerja pada bulan Oktober 1947 ini lebih dikenal di Indonesia dengan sebutan Komisi Tiga Negara  (Wardhani, 2004 : 167).

Tugas pokok Komisi Tiga Negara

Tugas pokok Komisi Tiga Negara adalah menyelesaikan konflik antara RI dan Belanda dan memberikan jasa-jasa baik. Anggota KTN mulai bekerja sejak 27 Oktober 1947.

Sejak dikeluarkannya resolusi Dewan Keamanan pada 1 November 1947, tugas KTN tidak hanya di bidang politik, tetapi juga di bidang militer.

Komisi Tiga Negara berhasil mempertemukan Indonesia dan Belanda dalam perjanjian Renville. Atas jasa KTN, Indonesia dan Belanda menerima tawaran pemerintah Amerika Serikat untuk berunding di atas kapal induk pasukan Amerika Serikat USS Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta pada 8 Desember 1947.

Anggota KTN melihat langsung kegagalan Perundingan Renville saat Belanda melakukan serangan udara Belanda atas lapangan terbang Maguwo di Yogyakarta (Y. Sri Pujiastuti, T. D. Haryo Tamtomo, dan N. Suparno).

Serangan udara tersebut menjadi bagian dari Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pihak Belanda ke wilayah Indonesia (Trisna Wulandari,  detikEdu, Selasa, 07 Sep 2021).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan