Pembantaian Rawagede
Sejak bulan Agustus, pihak Belanda telah melanjutkan operasi-operasi pembersihan di belakang garis terdepan mereka, di mana banyak kaum pejuang Republik khususnya Divisi Siliwangi di Jawa Barat tinggal (Ricklefs, 2005-454).
Belanda merasionalkan keputusan mereka untuk menggunakan kekuatan militer dengan alasan bahwa pemerintah Republik tidak cukup mengawasi unsur-unsur ekstremis yang tersebar dalam wilayah Republik sehingga menghalangi implementasi Pejanjian Lingarjati yang sudah dibuat (Kahin, Nasionalisme & Revolusi Indonesia, 2013).
Ibu kota RI memang terkepung dan hubungan ke luar sulit karena pelabuhan-pelabuhan di kuasai Belanda. Ekonomi RI mengalami kesulitan pula karena daerah RI yang merupakan penghasil beras jatuh ke tangan Belanda. tetapi dalam usahanya menghancurkan TNI, Belanda menemui kegagalan. TNI dalam Perang kemerdekaan I mempraktekkan sistem pertahanan linear (mempertahankan garis pertahanan) yang ternyata tidak efektif, sehingga TNI terusir dari kota-kota. Akan tetapi TNI tidak mengalami kehancuran, lalu bertahan di desa-desa” ( Moedjanto, Indonesia Abad Ke-20 Jilid 2, 1989).
Gema pasukan TNI masuk ke desa-desa akhirnya sampai ke telinga Belanda. Di masa gencatan senjata sehabis Agresi Militer I, Belanda mulai curiga dengan pasukan Republik telah menjadikan banyak desa sebagai basis gerilya. Desa Rawagede (Jawa Barat), salah satunya. Desa ini dianggap Belanda terkenal –dari kepala desa hingga warganya— mendukung perjuangan mengusir Belanda. Seisi Rawagede yang berada diperbatasan Karawang-Bekasi pun disebutkan Belanda laksana agen pro-Republik.
Kapten Lukas Kustarjo
Belanda sering melancarkan operasi penyerangan untuk menumpas pejuang kemerdekaan, yang oleh mereka disebut ekstremis di Rawagede. Target utamanya adalah Kapten Lukas Kustarjo, Komandan Kompi Divisi Siliwangi. Ia yang dijuluki Belanda sebagai 'Begundal Karawang' kepalanya dihargai sampai menyentuh angka 10 ribu gulden baik idup atau mati. Namun berkat bantuan rakyat, Lukas Kustarjo selalu aman.
Kegagalan Belanda bukan melulu saat penyerangan belaka. Tiap mematai aktivitas pejuang Republik di Rawagede, mata-mata Belanda selalu diketahui kegiatannya. Belanda yang gusar lalu mencoba melakukan perlawanan kembali dengan menurunkan pasukan besar, yaitu Batalion ke-9 tentara Belanda dari Resimen Infantri yang dipimpin oleh Mayor Wijman, untuk mencari Lukas Kustarjo.
Pembantaian
Pada tanggal 9 Desember 1947, pasukan itu diturunkan. Desa Rawagede langsung dikepung. Mereka menggeledah tiap rumah. Penduduk Rawagede lalu dikumpulkan ke dalam kelompok kecil yang isinya antara 30-40 orang.
Satu persatu warga Rawagede ditanyakan sembari ditodongi pistol oleh tentara Belanda. semua warga yang ditanyai tak ada yang memberi tahu keberadaan Lukas Kustrarjo dan pejuang lainnya. Mereka mengaku tidak tahu. Ada pula yang memilih diam.
Di tengah hujan, Belanda yang Geram langsung meminta seluruh laki-laki dewasa di Rawagede membentuk kelompok kecil. Mereka dipisah dari anak ataupun istrinya. Mereka diberikan perintah jongkok dengan membelakangi tentara Belanda. Pembantaian pun dimulai. Deru suara pistol silih berganti terdengar. Tak lama setelahnya, tangisan dari ibu-ibu yang kehilangan suaminya, anaknya, hingga kerabatnya pecah di tengah hujan.
Adapun yang mencoba meloloskan diri dengan terjun dan bersembunyi di kali ikut dibantai oleh Belanda. tanpa belas kasih Rawagede dibuat banjir darah. Tragedi itu memakan korban jiwa sebanyak 431 orang. Dalam nota ekses dari Belanda jumlah korban meninggal dunia hanya 150 orang saja. Meski begitu, kekejaman Belanda itu langsung dikutuk dunia. Bahkan, Dewan Keamanan PBB pada 1948, menyebut aksi Belanda sebagai kesengajaan dan kejam (VOI, 25 November 2021; Antara, 21 September 2011).
Dalam memoir nya Supeni mengatakan bahwa korban yang tewas sekitar 300 orang dan yang luka-luka 200 orang (2001 : 272).
Gugatan Warga Rawagede
Pimpinan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), Batara Hutagalung, menilai, pembantaian 431 penduduk Rawagede tanpa ada pengadilan, tuntutan atau pembelaan merupakan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties) yang merupakan bagian dari tindakan kejahatan perang.
Pada tahun 2008 oleh para janda korban penembakan dan satu korban selamat, Saih bin Sakam, mengajukan gugatan atas dasar pembantaian massal pria dan anak laki-laki oleh pasukan penjajah di Rawagede yang kemudian berganti nama Balongsari, pada 9 Desember 1947 tersebut. Menurut kumpulan keluarga korban, jumlah warga yang tewas mencapai 431 orang tetapi pihak Belanda mengatakan 150 orang tewas.
Peristiwa itu kemudian menyita perhatian Liesbeth Zegveld dari Biro Hukum Bohler. Ia turun tangan mewakili korban peristiwa Rawagede menggugat pemerintah Belanda ke pengadilan sipil Den Haag, Rechtbank's-Gravenhage.
Pada 21 September 2011 pengadilan sipil Belanda
memenangkan gugatan warga Rawagede. Alhasil, pengadilan mewajibkan pemerintah
Belanda meminta maaf dan memberi kompensasi terhadap sembilan korban Rawagede,
delapan janda, dan satu korban luka tembak.
Setelah putusan itu keluar, pemerintah Belanda langsung meminta maaf secara
resmi pada 2011. Saat itu, Dubes Belanda Tjeed De Zwaan datang ke Rawagede dan
meminta maaf. Melalui permintaan maaf kedua kali ini, Lambert Grijn berharap
hubungan kedua negara semakin baik.
Putusan pengadilan Den Haag ini terlambat bagi salah satu penggugat, Saih bin Sakam, karena satu-satunya korban hidup itu meninggal dunia baru-baru ini (Republika.com, 14 September 2011 ;Antara, 21 September 2011; detiknews.com, 9 Desember 2019).
Komentar
Posting Komentar