Biografi Singkat Muso


 

"MUSSO berasal dari keluarga berada buat ukuran zamannya. Lahir dengan nama Munawar Muso pada 1897, ia tumbuh di Desa Jagung, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Musso bersama Sidik, adiknya, hidup berkecukupan. Ayahnya, Mas Martoredjo, pegawai kantoran pada bank di Kecamatan Wates, tak jauh dari rumah. Ibunya bekerja di rumah, mengelola kebun kelapa dan kebun mangga" demikian menurut sebuah catatan yang saya peroleh.

 

Catatan lain menyebutkan bahwa nama  Muso (Musso) adalah Musodo. Ia pernah menjadi santri HOS Tjokroaminoto di Surabaya bersama-sama Sukarno dan  Kartosuwirjo.

 

Santri-santri Pak Tjokro adalah para pemuda / pelajar dari kalangan priyayi, pandai berbahasa Belanda dan  memiliki kapasitas akademik di atas rata-rata.

Kelak kemudian hari santri-santri Pak Tjokro mengembangkan pemikiran dan  aliran politiknya sendiri-sendiri. Boleh dikata santri-santri Pak Tjokro mengharubiru sejarah Indonesia kontemporer bahkan hingga saat ini.

 

Persetujuan Prambanan

 

Muso menyetujui pemberontakan tahun 1926 sebagai konsekuensi Persetujuan Prambanan.  Untuk menunjang kekuatan PKI ia dan Alimin bertolak ke Moskwa untuk meminta bantuan. Namun pemberontakan itu bisa digagalkan Belanda dengan mudah. Muso dan Alimin yang saat itu berada di Singapura dalam perjalanan ke Moskwa kemudian menjadi orang buangan karena tidak dibenarkan kembali ke Indonesia.

 

Berkelana

 

Dalam masa pembuangan itu Muso bersama Alimin bertindak sebagai wakil PKI dalam berbagai pertemuan komunis internasional. Mereka berkelana di Eropa Barat, Uni Soviet dan Asia. Muso juga bergiat dalam menulis di media massa komunis. Ia menyerang gerakan kaum nasionalis di Indonesia yang ia nilai berpihak pada kaum imperialis (Soebagijo I.N. dan Danan P., 2004 : 416)

 

 Muso Dikirim Ke Indonesia.

 

Setelah gagalnya pemberontakan PKI pada tahun 1926/1927, dalam tahun-tahun berikutnya pergerakan nasional Indonesia mengalami penindasan luar biasa, sehingga sama sekali tidak dapat bergerak. Hampir sepuluh tahun kemudian Gerakan Komunis Internasional mengirimkan seorang tokoh PKI kembali ke Indonesia. Tokoh itu adalah Muso, yang pada bulan April 1935 mendarat di Surabaya. Dengan bantuan Djoko Sujono, Pamudji dan Achmad Sumadi, ia membentuk organisasi yang diberi nama PKI-Ilegal.

 

Muso dikirim ke Indonesia untuk menjalankan suatu kebijakan baru dari Gerakan Komunis Internasional yang kemudian dikenal dengan nama Doktrin Dimitrov (George Dimitrov adalah Sekretaris Jenderal Komintern tahun 1935-1943). Doktrin itu menyatakan bahwa gerakan komunis harus bekerjasama dengan kekuatan manapun, termasuk kaum imperialis, asal saja menghadapi kaum fasis.

 

Sesuai doktrin tersebut, timbul dugaan bahwa pemerintah kolonial Hindia Belanda akan melunakkan sikapnya terhadap komunis di Indonesia. Karena itu digiatkan kembali gerakan komunis di Indonesia. Tetapi sejak ditangkapnya Muso sampai masuknya Jepang ke Indonesia, harapan tersebut tidak terpenuhi. Bahkan Muso sendiri pada tahun 1936 sudah meninggalkan Indonesia lagi. Kegitan utama komunis disalurkan melalui Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang didalamnya duduk tokoh utama mereka, Amir Sjarifuddin (Sudiyono, Partai Komunis Indonesia, 2004: 206).

 

Front Demokrasi Rakyat

 

Pada tahun 1948 Muso kembali berhasil menyusup ke Indonesia dengan menyamar sebagai Suparto, sekretaris pribadi Suripno, diplomat Indonesia dari Praha.

 

Dalam suatu konferensi pers Muso secara samar mengemukakan niatnya menggantikan kepemimpinan Sukarno-Hatta yang dinilai terlalu lemah menghadapi Belanda. Muso melakukan self-koreksi yakni mengakui kesalahan langkah PKI sebelumnya yang mendukung perjanjian Linggajati dan Renville, karena dukungan itu dianggap Muso sebagai dukungan terhadap imperialisme. Muso sependapat dengan Tan Malaka bahwa perundingan dengan pihak penjajah tidak pernah boleh dilakukan, kecuali berdasarkan atas kemerdekaan 100%.

 

Muso memperkuat partainya dengan menyatukan berbagai partai yang sehaluan ke dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) dan mendapat dukungan dari berbagai pihak antara lain Amir Sjarifuddin dan beberapa satuan angkatan bersenjata.

 

Sebelum mencetuskan pemberontakan besar tanggal 18 September 1948, Muso menjalankan beberape kegiatan makar untuk menguji kekuatan. Ketika kekeruhan situasi memuncak Amir Sjarifuddin berbicara melalui corong radio Gelora Pemoeda di Madiun, menyatakan bahwa perjuangan FDR merupakan upaya mengoreksi jalannya revolusi. Presiden Sukarno melalui corong radio Yogyakarta menyatakan pemberontakan tersebut sebagai tragedi nasional, sekaligus mempersilakan rakyat memilih Sukarno-Hatta atau PKI-Muso.

 

Pemberontakan tersebut akhirnya dapat dipadamkan. Dalam usahanya melarikan diri dengan menyamar sebagai kusir dokar, Muso tertembak mati di Desa Dungus, Ponorogo pada 31 Oktober 1948. Beberapa bulan kemudian Belanda menyerbu Yogyakarta, sehingga tindakan hukum terhadap para pelaku pemberontakan Madiun tersebut tidak sempat terlaksana (Soebagijo I.N. dan Danan P., 2004 : 416).

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan