Soemarsono Orang Ketiga dalam Peristiwa Madiun
Soemarsono yang lahir di Kutoarjo tahun 1921 adalah Gubernur Militer Madiun dan menjadi orang ketiga setelah Amir Sjarifoedin dan Muso saat terjadi pemberontakan Madiun tahun 1948.
Saat itu ia berpangkat Kolonel. Soemarsono adalah tokoh kedua setelah Bung Tomo dalam peristiwa 10 November 1945. Dialah pelaku perobekan bendera Belanda di hotel Yamato. Apabila Bung Tomo diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional, tidak demikian dengan Soemarsono. Dia menjadi buron dalam Madiun Affair, meskipun berhasil lolos dengan memasuki wilayah tentara Belanda.
Saat Aidit menjadi Ketua PKI tahun 50-an Soemarsono dihukum buang oleh Aidit selama 14 tahun dan dia pun dilarang mengaku sebagai anggota PKI. Selama pembuangannya itu dia menyamar sebagai guru di Pematang Siantar sebelum ditangkap penguasa Orde Baru setelah terjadinya peristiwa Gestok tahun 1965.
Pada suatu kesempatan dia berhasil lolos ke Australia dan menjadi warga negara Australia. Setelah reformasi dia berkunjung ke Indonesia sebagai orang asing untuk bersaksi atas Madiun Affair.
Dahlan Iskan yang 17 anggota keluarganya menjadi korban Madiun Affair menulis tiga artikel serial di blog pribadinya mengenai peran dan jasa Soemarsono.
Hasta Mitra menyebutnya sebagai PKI yang konsisten tapi Soemarsono sendiri mengakui dirinya adalah pengikut setia Sukarno meski tidak tanpa reserve.
Soemarsono dan Red Drive Proposals
Berikut ini pengakuan Soemarsono tentang adanya pertemuan Sarangan yang menghasilkan Red Drive Proposals sebagaimana termuat pada laman YPKP 65, tertanggal 21 Juli 2019 yang ditulis Martin L.
“…Salah satu kejelekan dari Mohammad Hatta, kalau berunding dengan musuh, dia itu suka bikin perundingan tertutup. Bikin perundingan dengan imperialis yang hasilnya tidak diumumkan ke publik. Tidak seperti Bung Amir yang perundingannya terbuka, semua orang tahu isinya apa..
Tanggal 21 Juli 1948, Hatta memimpin pertemuan tertutup dengan utusan-utusan Amerika dan Belanda. Berunding di Hotel Huize Hansje di Sarangan. Sarangan itu sebuah danau tempat wisata di kaki Gunung Lawu, tidak jauh dari Madiun. Di pihak Indonesia ada Hatta, Bung Karno, Natsir, Sukiman, Mohammad Roem dan Kapolri Jenderal Soekanto. Di pihak Amerika ada Merle Cochran dan Gerald Hopkins. Mereka ini penasehat politik Presiden AS, Harry Truman. Di pihak Belanda ada Menteri Luar Negeri. Namanya Dirk Stikker.
Pertemuan Sarangan dirancang untuk menyingkirkan orang-orang Kiri di Indonesia. Si Stikker kelihatan sekali ngotot mau menyingkirkan kami. Dia kasih lijst 80 nama pimpinan Kiri sama Hatta. Nama Bung Amir ada di bagian paling atas. Saya di bagian tengah. Maksudnya, supaya Belanda mau mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara de jure, Hatta harus menyingkirkan kami yang 80 orang ini.
Kedaulatan yang diakui juga bukan kedaulatan negara kesatuan, tapi Republik Indonesia yang harus membentuk federasi dengan negara-negara boneka lalu ikut Commonwealth dengan Belanda. Hatta dan orang-orang Masyumi antusias sekali waktu itu. Nafsu mereka untuk menghabisi orang-orang kiri kelihatan betul. Bung Karno ndak bisa berbuat apa-apa. Dia diam terus. Mukanya merah. Bung Karno pulang sebelum pertemuan selesai. Dia ndak bisa ngomong sebab dia ndak punya kuasa. Hatta yang pegang kuasa.
Hatta setuju sama maunya Stikker.
Usulan
pembasmian orang-orang Kiri ini disebut Red Drive Proposals. Pemerintahan Hatta
mendapat biaya 56 juta Dolar dari Amerika untuk menjalankan politik pembasmian
orang-orang Kiri. Saya ngomong tentang Red Drive Proposals begini karena ada
dokumennya. Ada saksinya lagi. Dulu saya pernah minta tolong sama kawan saya,
si Ismail Hasan. Supaya dia menanyakan langsung sama Natsir. Si Ismail Hasan
ini dekat sama Natsir.
Dia nanya ke Natsir, apa benar Red Drive Proposals itu ada? Natsir mengangguk. Ismail Hasan juga pernah nanya sama Soekanto. Katanya Pertemuan Sarangan itu memang ada. Waktu si Ismail Hasan meninggal, saya ketemu sama Natsir. Kami sama-sama melayat ke rumah Ismail Hasan waktu itu. Saya tanya langsung Natsir, apa benar Red Drive Proposals itu ada? Natsir cuma manggut-manggut tapi dia tidak mau ngomong lebih lama.
Dia bilang, itu masa lalu dan sudah terjadi. Saya juga sudah pernah nanya langsung ke Soekanto. Soekanto menjawab memang dulu ada Perundingan Sarangan. Laporan perundingan itu ada di dokumen kepolisian, kok. Soekanto yang mengatakan begitu.
Isteri saya pernah menemui Sjahrir. Kejadiannya menjelang KMB diteken. Sebelum KMB, semua tawanan perang dibebaskan. Tapi saya ndak ikut dibebaskan. Karena belum juga dibebaskan, isteri saya menemui Sjahrir di Jakarta. Maksudnya mau minta tolong supaya Sjahrir ngurus saya ke Panitia Pembebasan Tawanan Perang. Sjahrir ndak bisa membantu isteri saya. Katanya, nama saya masuk dalam lijst yang 80 orang. Sjahrir bilang sama isteri saya:
“Sorry. Ik kan jij niet helpen.
Kowe punya suami ada dalam daftar 80 orang yang mau dihabisi sama Belanda. Your
husband must be killed.”
Artinya Sjahrir juga tahu tentang Red Drive Proposals ini.
Bung Amir juga tahu tentang Red Drive Proposals. Dia dapat laporan dari adiknya. Saya lupa namanya. Adiknya ini pernah jadi menteri Kabinet Dwikora. Dia bukan orang politik. Ahli stenografie dia. Nulisnya cepat jadi sering dipakai jadi notulen sidang-sidang. Rupanya waktu di Sarangan itu, orang tidak memperhatikan stenografist-nya itu adiknya Bung Amir.
Banyak orang yang ngotot bilang kalau Red Drive Proposals itu cuma karangan orang-orang Kiri saja. Sejarawan Asvi Warman Adam juga ndak mau mengakui Red Drive Proposals ini. Memang haknya untuk bilang Red Drive Proposals tidak ada. Tapi dia ndak bisa membantah kalau Hatta memang benar-benar melakukan pembasmian terhadap orang-orang Kiri. Hatta tidak mau menyelesaikan persoalan di Madiun dengan baik-baik. Malah ngajak perang saudara.”
Baskara T. Wardaya, SJ, penulis buku Indonesia melawan Amerika Konflik Perang dingin 1953-1968, menulis sebagai berikut :
“Pada pagi-pagi sekali tanggal 18 September 1948, kekuatan PKI yang dipimpin oleh Sumarsono menangkap para pemimpin pemerintah setempat, serta merebut pusat-pusat komunikasi dan berbagai barak militer. Begitu mendengar mengenai inisiatif Sumarsono tersebut, Musso dan Amir segera kembali ke Madiun, dan setelah secara singkat diberitahu tentang hal-hal seputar peristiwa itu, keduanya bergabung dengan kelompok Sumarsono” (2008 : 63).
Namun demikian Wardaya tidak sedikit pun menulis mengenai adanya Pertemuan Sarangan dan Red Drive Proposals tersebut.
Soemarsono wafat pada Selasa (8/1/2019) di Sidney, Australia, dalam usia 97 tahun.
Komentar
Posting Komentar