Setelah Peristiwa Madiun CIA Mengirim Arturo Campbell ke Indonesia
Keberhasilan Republik menumpas pemerontakan kaum komunis mengubah simpati samar-samar Amerika yang didasarkan atas sentimen-sentimen anti-penjajahan menjadi dukungan diplomatik yang didasarkan pada strategi global. Pemikiran strategi Amerika kini didominasi oleh ide bahwa “perang dingin” sedang berlangsung antara “dunia bebas” yang dipimpin Amerika dengan blok yang dipimpin Uni Sovyet. Di dalam kerangka ini, Republik Indonesia telah menunjukkan dirinya antikomunis dan patut mendapat dukungan Amerika. Ketika Belanda melaksanakan percobaan terakhir mereka menaklukkan Indonesia, Amerika Serikat memberikan dukungan diplomatik mereka kepada Indonesia (Ricklefs, 2005 : 462).
Keberhasilan itu menjadi semacam berita gembira, di mana sebuah negara yang baru merdeka telah mampu berdiri tegak melawan penyebaran komunisme. Hal itu meyakinkan para pejabat AS bahwa para pemimpin Republik bukanlah orang-orang yang berhaluan komunis. Peristiwa itu juga menunjukkan besarnya kekuasaan dan pengaruh Presiden Sukarno atas tentara dan atas rakyat Indonesia pada umumnya.
Pemerintah Truman menyambut penumpasan pemberontakan Madiun itu dengan penuh suka ciata. Di dalam suranya yang panjang kepada Menlu George Marshall, Konsul AS Jenderal Livengood memuji Republik karena telah berhasil menumpas pemberontakan komunis.
Keberhasilan para pemimpin Republik tersebut meyakinkan para pejabat pemerintahan Truman bahwa para pemimpin Indonesia bukanlah komunis, mereka justru antikomunis.
Segera setelah itu Central Intellegence Agency (CIA) mengirim agen pertamanya ke Yogyakarta guna membantu kampanye antikomunis yang dijalankan oleh para pemimpin Republik.
Meskipun demikian, dari surat menyurat diplomatik yang dipublikasikan dalam Foreign Relation of the United States belum menunjukkan adanya perubahan sikap tegas AS terhadap Indonesia. Pemerintah Truman tetap lebih memihak Belanda.
Belanda terus melanggar ketetapan-ketetapan perjanjian Renville. Pada tanggal 11 Desember 1948 para pejabat Belanda melaporkan buntunya negosiasi itu pada Komisi Jasa Baik.
Setelah mengabaikan usulan kompromis yang ditawarkan oleh pemerintahan Hatta, pada tanggal 17 Desember 1948 Belanda mengeluarkan ultimatum supaya pemerintah Republik menyetujui semua proposal yang diajukan Belanda dalam waktu delapan belas jam. Mereka sadar bahwa pemerintah Republik tidak akan mampu memberikan tanggapannya dalam waktu sesingkat itu (Wardaya, 2008 : 66-67).
Hatta tidak bersedia mengabulkan permintaan Belanda agar mereka bertanggungjawab atas keamanan di dalam negeri selama peralihan kemerdekaan atau agar tentara Republik diintegrasikan ke dalam tentara federal (Rickleffs, 2005 : 462).
Meskipun demikian Hatta pada tanggal 15 Desember 1948 mengirim surat kepada KTN yang menyatakan bahwa secara persoonlijk setuju untuk memulai perundingan lagi dengan Belanda dengan dasar mengakui souvereiniteit Belanda atas Indonesia selama masa peralihan ( Supeni, 2001 : 291).
Komentar
Posting Komentar