Ratifikasi Persetujuan Linggajati

 

Setelah naskah Persetujuan Linggajati ditandatangani, muncul reaksi pro dan kontra, baik di lingkungan bangsa Indonesia maupun Belanda. Di kalangan bangsa Indonesia, beberapa partai menyatakan menentang, yakni Masyumi, PNI, Partai Wanita, Angkatan Komunis Muda (Acoma), Partai Rakyat Indonesia, Laskar Rakyat Jawa Barat, Partai Rakyat Jelata. Pada tanggal 12 Desember 1946, mereka membentuk badan oposisi bernama Benteng Republik Indonesia.

Partai-partai yang mendukung adalah PKI, Pesindo, BTI, Laskar Rakyat, Partai Buruh, Parkindo, dan Partai Katolik. Pertentangan pendapat mengenai Persetujuan Linggajati ini berjalan terus, dan karena itu banyak hambatan dalam pelaksanaannya.

Ratifikasi

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, yang bertujuan untuk meredakan sikap pro dan kontra ini melalui penyempurnaan susunan KNIP guna memperolah dukungan untuk meratifikasi.  Sesudah debat panjang lebar, pada tanggal 17 Januari 1947 Badan Pekerja KNIP membatalkan Peraturan Presiden  Nomor 6 Tahun 1946 tersebut (Supeni, 2001 : 257).

Parlemen Belanda memberikan persetujuan pada tanggal 20 Desember 1946. Pada tanggal 27 Maret 1947, naskah Persetujuan Linggajati yang ditandatangani oleh kedua delegasi yang mewakili pemerintah masing-masing (Masyhuri, 2004 : 394-395).

 

Sementara itu pada tanggal 5 Januari 1947 Komisi Jenderal Belanda datang lagi ke Indonesia. Pada tanggal 22 Januari perundingan antara Delegasi Indonesia dengan Komisi Jenderal dimulai lagi (Supeni, 2001 : 257).

 

Pelanggaran Gencatan Senjata.

Meski sudah menandatangani persetujuan, Belanda secara terang-terangan melanggar gencatan senjata yang telah diumumkan tanggal 27 Februari 1947. Pada tanggal 27 Mei 1947, Komisi Jendral menyampaikan nota kepada pemerintah RI sebagai berikut : (1) membentuk pemerintahan peralihan bersama: (2) mengadakan garis demiliterisasi dan menghentikan pengacauan –pengacauan di daerah yang bergabung dalam Konferensi Malino, seperti NIT, Kalimantan, Bali dsb.; (3) mengadakan pembicaraan bersama mengenai pertahanan negara; (4) membentuk alat kepolisian bersama yang dapat melindungi kepentingan dalam dan luar negeri; (5) mengadakan pengawasan bersama atas hasil-hasil perkebunan dan devisa.

Pada tanggal 8 Juni 1947 pemerintah RI menegaskan bahwa Indonesia bersedian mengakui Negara Indonesia Timur, sekalipun pembentukannya tidak selaras dengan Persetujuan Linggajati.  Status Borneo dibicarakan bersama oleh RI dan Belanda. Dalam bidang militer, pemerintah RI menyetujui demiliterisasi daerah demarkasi dengan menyerahkan penjagaan zona bebas militer itu kepada polisi. Peta demarkasi dikembalikan pada situasi tanggal 24 Januari 1947. Tentara kedua belah pihak diundurkan dari daerah demarkasi ke kota garnisun masing-masing. Penyelenggaraan Pasal 16 tentang pertahanan Indonesia Serikat adalah urusan Indonesia Serikat sendiri sebagasi kewajiban nasional dan harus dilakukan oleh tentara nasional sendiri. Pembentukan alat kepolisian bersama ditolak.

Pada tanggal 14-15 Juli 1947 diadakan perundingan untuk mendekatkan kedua belah pihak, akan tetapi mengalami kegagalan. Pada tanggal 20 Juli 1947 Letnan Gubernur Jenderal van Mook menyampaikan secara tertulis kepada pemerintah RI bahwa pemerintah Belanda telah menempuh segala usaha untuk dapat bekerjasama dengan Indonesia, akan tetapi bangsa Indonesia tidak berniat bekerjasama secara damai dan sungguh-sungguh . Oleh sebab itu Belanda merasa tidak legi terikat dengan Persetujuan Linggajati. Malam hari tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda bergerak dan menggampur pemerintah RI, dan meletuslah Aksi Poliisionil Belanda yang pertama (Masyhuri, 2004 : 394-395).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan