Bijeenkomst voor Federale Overleg (BFO)

 


Bijeenkomst voor Federale Overleg atau yang disingkat BFO adalah sebuah komite yang didirikan oleh Belanda, pada 7 Juli 1948 di Bandung. Komite ini dipimpin oleh 15 negara bagian dan daerah otonom dalam RIS yang masing-masing negaranya memiliki satu suara (Adryamarthanto dan Nailufar, Kompas.com, 13 April 2021).

Latar Belakang Berdirinya BFO atau Majelis Permusyawaratan Federal ini didasari oleh adanya pembentukan negeri federasi di Indonesia. Pejabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Mook, berencana membentuk negara federasi di Indonesia yang mengharuskan dirinya mengubah ketatanegaraan di Indonesia. Namun rencana untuk mengubah ketatanegaraan ini mengalami kendala karena di Indonesia telah berdiri Republik Indonesia.

Van Mook kemudian mengawali rencana pembentukan negara federal melalui sebuah konferensi yang digunakan untuk menyebarluaskan federalisme di Indonesia. Tetapi rencana Van Mook kembali gagal karena hal tersebut bertentangan dengan keinginan Belanda yang juga ingin RI masuk dalam persemakmuran di bawah Belanda.

Van Mook menggelar konferensi di Malino pada 15 Juli sampai 25 Juli 1946 dan menghasilkan keputusan bahwa peserta konferensi menyetujui pengubahan ketatanegaraan di Indonesia menjadi federasi. Setelah Konferensi Malino, Van Mook juga mengadakan konferensi Pangkal Pinang dan Denpasar. Konferensi tersebut menjadi pemicu awal pembentukan negara federal di Indonesia, yaitu Negara Indonesia Timur, sebagai negara bagian yang pertama berdiri.

Fungsi Fungsi dibentuknya BFO oleh Van Mook yaitu untuk mengelola Republik Indonesia Serikat (RIS) selama Revolusi Nasional Indonesia (1945-1949). Komite ini bertanggung jawab untuk membentuk pemerintahan sementara pada tahun 1948 dan digunakan sebagai bentuk perwakilan negara-negara bagian yang sudah menjadi negara sendiri di atas binaan Belanda.

Para anggota BFO memulai sidang pertama mereka pada tanggal 7 Juli 1948 di Bandung.

15 Juli sampai 18 Juli 1948 BFO kembali melakukan konferensi selama tiga hari untuk membicarakan rancangan pemerintah peralihan yang disebut Pemerintah Federal Interim (FIR). Perundingan tersebut membahas tentang ikut sertanya RI dalam susunan FIR. Jika RI tidak bersedia, maka FIR akan tetap dibentuk guna menyiapkan negara serikat yang terdiri dari orang-orang Indonesia saja. Begitu FIR terbentuk akan kembali diadakan sebuah perundingan untuk mengupayakan RI menjadi bagian dari FIR.

27 Juli 1948 BFO mengumukan resolusinya pada konferensi pers di Gedung Indonesia Serikat, Jakarta. Resolusi tersebut berisikan enam dasar, salah satunya yaitu berisi tentang konsep pemerintahan yang berbentuk federal dan beranggotakan sekurang-kurangnya tiga orang Indonesia.

21 Januari 1949 Dilakukan pertemuan delegasi antara BFO, Mr. Djumhana, dan dr. Ateng dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pertemuan tersebut dilakukan untuk membahas rencana pembicaraan antara wakil republiken dan Belanda. Delegasi Republik Mohammad Roem mengatakan bahwa RI bersedia berunding dengan BFO jika diawasi oleh pihak Komisi PBB.

14 April 1949 Pertemuan antara RI, Belanda, dan BFO diselenggarakan di Hotel Des Indes, Jakarta. Hasil dari pertemuan ini adalah : Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya, Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB), Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta, Serta Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang.

22 Juni 1949 Kembali diadakan perundingan antara RI, BFO, dan Belanda. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan, yaitu kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat seperti pada Perjanjian Renville 1948. Kemudian Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan atas dasar sukarela dan persamaan hak serta Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia  (Adryamarthanto dan Nailufar, Kompas.com, 13 April 2021).

Sebagai pembanding saya sampaikan catatan Supeni.


Supeni  menulis  :

1.       Pada tanggal 8 Juli 1948 pemimpin-pemimpin ‘negara’ dari daerah pendudukan berkonferensi di Bandung atas usaha anak Agung Gde Agung dan Adil Puradiredja.”

2.       Pada tanggal 17 Juli 1948 Konferensi Bandung menghasilkan sebuah keputusan yang isinya : Berdirinya Negara Republik Indonesia Serikat pada tanggal 1 Januari 1949, pembentukan pemerintah interim federal , pembentukan sebuah Direktorium terdiri dari tiga orang yang melakukan kekuasaan presiden, dan sebuah senat terdiri dari utusan utusan dari negara-negara bagian. Keputusan konferensi ini disampaikan kepada Pemerintah Republik, pemerintah Belanda dan KTN.

3.       Pada tanggal 24 Juli 1948 Delegasi Konferensi dari Bandung pergi ke Yogyakarta untuk menyampaikan resolusinya. Dikirim juga Delegasi ke Nederland berangkat pada 2 Agustus.

4.        Pada tanggal 30 Agustus 1948 Republik tidak mengakui adanya pemerintahan Federal Sementara ala Van Mook. Karena itu Pemerintah Republik menerangkan : “Pemerintah” tersebut tidak berhak sama sekali mengusir pegawai-pegawai Republik Indonesia dari Jakarta. Diminta perhatiannya KTN.

5.       Pada tanggal 31 Oktober 1948 Misi Republik ke NIT terdiri dari ketua : Mr. Sartono, dan sebagai anggota-anggotanya ialah : Latjuba, Adam Malik, Subadio, Ir. Tambunan, Mardjuki dan I.R. Lobo.

6.       Pada tanggal 1 November 1948 Van Mook diberhentikan dengan hormat atas permintaannya sendiri demikian juga Abdul Kadir.

7.       Pada tanggal 3 November 1948 timbang terima kekuasaan antara Dr. van Mook dan Dr. Beel.

8.       Pada tanggal 15 Januari 1949 Sidan BFO memutuskan untuk melakukan perhubungan dengan orang-orang terkemuka dari Republik

9.       Pada tanggal 6 Februari 1949 Anak Agung Gde Agung dan Dr. Ateng Kartarahardja selaku penghubung BFO pergi ke Bangka untuk melakukan perundingan dengan Moh. Hatta.

10.   Pada tanggal 3 Maret 1949 Sidang BFO mengambil resolusi yang menyetujui tuntutan Republik supaya pada tingkat permulaan pemerintah Republik Indonesia dipulihkan di Yogyakarta. Resolusi tersebut disampaikan kepada Dr. Beel.

11.   Pada tanggal 26 Maret 1949 Sultan Hamid atas nama BFO meminta perantaraan Belanda supaya dalam perundingangn antara Republik dan Belanda yang akan berlangsung itu BFO bisa ikut serta sebagai pihak ketiga.

12.   Pada tanggal 7 Mei 1949 BFO mengeluarkan komunike yang isinya menyatakan setuju dengan hasil yang didapat antara pihak Republik dan Belanda.

13.   Pada tanggal 17 Juni 1949 satu delegasi terdiri dari wali-wali “Negara” Sumatra Timur, Sumatra Selatan, Madura dan Jawa Timur, Kepala Daerah Kalimantan Barat, para Perdana Menteri dari Indonesia Timur dan Pasundan berkunjung ke Bangka untuk mengadakan perhubungan dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Moh. Hatta dan lain-lain (2001 : 280-300).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan