Madiun Affair


Pada tanggal 26  Mei 1948, Radio Moskow mengumumkan bahwa Uni Sovyet mengakui Republik Indonesia.  Van Boetzelaer  meminta keterangan kepada Duta Besar Uni Sovyet mengenai pengakuan Uni Sovyet terhadap Indonesia tersebut. Sementara itu di Indonesia memanggil Suripno untuk mengetahui lebih jauh mengenai pengakuan Uni Sovyet tersebut.

Pada tanggal 11 Agustus 1948, Suripno tiba di Yogyakarta bersama dengan seorang yang mengaku bernama Suparto, sebagai sekretaris Suripno. Sehari kemudian Suripno menghadap presiden untuk memberi laporan tentang pekerjaannya di Praha dan tentang kabar bahwa Rusia telah mengakui Republik Indonesia.

Kedatangan Muso

Suparto, sekretaris Suripno, ternyata adalah Muso. Pada tanggal 13 Agustus 1948, Muso menghadap presiden dan wakil presiden.

Muso dalam rapat umum di Yogyakarta pada tanggal 22 Agustus 1948 menuntut supaya perundingan dengan Belanda dihentikan dan supaya Indonesia lekas mengadakan pertukaran duta besar dengan Rusia.

Dengan kedatangan Muso ini partai-partai yang tergabung dalam FDR (Front Demokrasi Rakyat) mengalami masa baru dalam tahap perkembangan kepartaiannya. Atas anjuran Muso partai-partai yang tergabung dalam FDR yakni PKI, Partai Sosialis, PBI dan Pesindo dan juga Barisan Tani Indonesia (BTI) serta Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) melakukan self correction.  Self correc
tion menghasilkan pernyataan bahwa langkah perundingan dengan Belanda dan menyetujui persetujuan Linggajati dan  Renville adalah keliru. Karena itu sekarang mereka menolak persetujuan-persetujuan tersebut dan menolak tiap-tiap tindakan politik kompromis dengan penjajah.

Pada tanggal 31 Agustus 1948, Dewan Pimpinan Partai Sosialis memutuskan akan berfusi dengan PKI. Pernyataan senada dikeluarkan oleh PBI, Pesindo dan PKI. Berhubung dengana keputusan itu, maka susunan CC PKI diubah dan ditambah dengan tenaga-tenaga dan partai-partai yang menggabungkan diri itu.

Pada tanggal 4 September 1948, Muso menerangkan bahwa jika pecah perang antara Amerika Serikat dengan Uni Sovyet, maka Indonesia tidak mungkin tinggal diam (Supeni, 2001 : 285-289).

Dukungan Kaum Muda

Pada tanggal 1 September 1948, Muso yang Stalinis, membentuk suatu polit biro baru PKI yang beranggotakan beberapa kaum muda seperti D.N. Aidit, M.H. Lukman, Njoto dan Sudisman.

Kini PKI mendorong dilakukannya demonstras-demontrasi dan pemogokan-pemogokan oleh kaum buruh dan petani. Kaum tani di daerah Surakarta, dan kemudian di daerah-daerah lainnya, didorong supaya mengambil alih ladang-ladang milik para tuan tanah mereka. Para tuan tanah, para kepala desa, kaum birokrat, pimpinan pusat Republik, dan kekuatan-kekuatan militer pro pemerintah, menyadari bahwa mereka menghadapi tantangan serius. Pemerintah membebaskan Tan Malaka dengan harapan dia dapat menjauhkan kaum kiri dari Muso, namun harapan ini tinggal harapan (Rickleffs, 2004 : 459).

Kekacauan dan Penculikan

Pada tanggal 14 September 1948 di Surakarta terjadi kekacauan-kekacauan dan pertempuran-pertempuran antara TNI dan beberapa gerombolan.  Penculikan-penculikan pun mulai terjadi.

Pada tanggal 18 September 1948, PKI Muso merebut kekuasaan di Madiun dan mendirikan pemerintahan sendiri.  Pemerintah RI di Yogyakarta bertindak. TNI digerakkan untuk merebut kembali Madiun dan tempat-tempat lain yang diduduki golongan FDR.

Pemerintah bertindak.

Sehubungan dengan keadaan yang semakin memanas di Surakarta, pada tanggal 15 Agustus 2022 Panglima Besar Sudirman memberikan amanat bahwa Angkatan Perang tetap berkewajiban melindungi kedaulatan negara.

Pada tanggal 17 September 1948, daerah Solo diumumkan dalam keadaan bahaya.  Kolonel Gatot Subroto diangkat menjadi Gubernur Militer  Semarang, Pati, Solo dan Madiun ( Supeni : 2001 : 285-289).

Divisi Siliwangi berhasil memukul mundur para pendukung PKI dari kota itu. Mereka mundur ke Madiun. Di sana mereka bergabung dengan satuan-satuan pro PKI lainnya. Pada tanggal 18 September 1948, mereka merebut Madiun, membunuh tokoh-tokoh pro pemerintah, dan mengumumkan melalui radio bahwa suatu pemerintahan Front Nasional yang baru telah dibentuk. Muso dan Amir bergegas ke Madiun untuk menangani kudeta yang prematur ini. Sudirman terjepit dalam posisi yang sulit. Dia bersimpati dengan satuan-satuan pro PKI dan kurang mendukung tindakan pemerintah, tapi dia juga menentang setiap usaha yang dilakukan Muso dan PKI untuk memperoleh pengaruh dan Sudirman juga tidak menghendaki adanya perang saudara (Rickleffs, 2004 : 459).

Pada tanggal 25 September 1948, TNI merebut kembali Sarangan dan Walikukun. Sementara Ngawi masih dikuasai oleh Muso. dan pertempuran terjadi di Ponorogo dan Magetan.

Pada tanggal 26 September 1948, Pandakan dan Purwodadi berada dalam tangan laskar Muso, sementara Magetan dan Ngrambe dorebut kembali oleh TNI.

Pada tanggal 29 September 1948, Pati, Semarang, Surakarta dan Madiun dijadikan daerah militer. Dr. Leimena, Mayor Harjono dan peninjau KTN pergi ke Sarangan, untuk menyaksikan kerusakan-kerusakan di daerah pertempuran. J.J. Singh, ketua Lembaga India di New York menyatakan bahwa komunisme berkembang di beberapa daerah karena Belanda  mencoba hendak meruntuhkan Dungus.

Pada tanggal 30 September 1948, Madiun, Magetan dan Wonogiri direbut kembali oleh TNI. Muso dan laskarnya lari ke jurusan Dungus.  Yogyakarta, Kedu dan Banyumas dijadikan daerah militer ( Supeni : 2001 : 285-289).

Tragedi Nasional

Pada tanggal 19 September 1948, sekitar 200 orang anggota PKI dan pemimpin golongan kiri lainnya yang masih ada di Yogyakarta ditangkap. Sukarno mengecam para pemberontak Madiun melalui radio dan mengimbau bangsa Indonesia agar bergabung dengan dirinya dan Hatta daripada dengan Muso.

Muso membuat kesalahan yang menimbulkan bencana dengan menjawab melalui radio Madiun bahwa dia akan berperang sampai titik darah penghabisan.

Banyak satuan militer yang pada dasarnya bersimpati kepada pihak anti-pemerintah memutuskan untuk menjauhkan diri. Organisasi-organisasi FDR (Front Demokrasi Rakyat) di Banten dan Sumatra menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan gerakan Madiun (Rickleffs, 2004 : 460-461).

Dalam pidatonya di depan corong radio pada tanggal 1 Oktober 1948, Presiden Sukarno mengatakan pemberontakan Muso dan kawan-kawan adalah suatu tragedi nasional. Suripno sebagai duta Republik dipecat terhitung mulai tanggal 18 September 1948, demikian juga pegawai tinggi yang lainnya yang tersangkut dalam pemberontakan Madiun.  Pada tanggal 2 Oktober 1948 keluar Peraturan Pemerintah yang melarang memberikan pernyataan setuju kepada pemberontak ( Supeni : 2001 : 285-289).

Muso Tewas

Pasukan TNI dipelopori Divisi Siliwangi bergerak menuju Madiun. Di Madiun ada sekitar 10.000 tentara pro PKI. Ketika  terdesak mundur, para pemberontak mulai membunuh para pejabat pemerintah dan para  pemimpin dari Masyumi dan PNI. Di desa-desa mulai terjadi pembunuhan-pembunuhan.

Pada tanggal 30 September 1948, kaum pemberontak meninggalkan kota Madiun dan terus dikerjar hingga ke pedesaan. Aidit dan Lukman melarikan diri ke Cina dan Vietnam.  Pada tanggal 31 Oktober 1948, Muso tewas saat melarikan diri dari tahanan yang mengakhiri karirnya sebagai pimpinan PKI yang hanya berlangsung 80 hari.  Amir Sjarifuddin dan gerombolan tentara sejumlah 300 orang ditangkap pasukan Siliwangi pada 1 Desember 1948.  Amir kelak ditembak mati bersama-sama para pemimpin terkemuka PKI lainnya.

Dalam aksi penangkapan yang dilakukan setelah pemberontakan Madiun tersebut, sekitar 35.000 orang ditangkap. Diduga sekitar 8000 orang tewas.

Petani santri di Surakarta melakukan pembalasan dengan membunuh kaum abangan pendukung PKI di sana (Rickleffs, 2004 : 461).

Menurut Supeni, pada 1 Oktober 1948 Cepu diserang PKI Muso . Pada tanggal 2 Oktober 1948 Dungus dan Ponorogo kembali ke tangan Republik,  tanggal 8 Oktober 1948  TNI kembali menguasai Cepu. Pada tanggal 21 Oktober 1948, Kudus kembali dikuasai TNI dari tangan PKI Muso.  Pada tanggal 30 Oktober  1948 Muso meninggal dunia dalam suatu pertempuran dengan TNI di kampung Sumandang, Ponorogo. Menurut pengumuman pemerinah, 159 TNI tewas dan luka-luka dalam membersihkan Madiun dan wilayah lainnya (Supeni, 2001 : 285-289).

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan