Pemerintah Darurat Surakarta

Informasi mengenai Pemerintah Darurat Surakarta tidak saya temukan dalam buku-buku sejarah seperti karya Ricklefs misalnya. Dalam Sejarah Surakarta yang terdapat di ENI Vol. 15 bahkan tidak disebut sama sekali. Hanya ada pernyataan singkat sebagai berikut : “ Ketika terjadi pemberontakan PKI di Madiun, pemerintah di Surakarta mengalami keguncangan. Kedudukan pamong praja menjadi rebutan antara pihak-pihak yang yang bersengketa. Untuk menyelamatkan pemerintahan di daerah ini dibentuk pemerintahan bayangan oleh para pelajar dan pemuda. Dalam periode ini sistem pemerintahan yang berlaku di daerah ini adalah Kota Besar Surakarta” (2002 : 429).

Sebenarnya, Pemerintah Darurat Surakarta merupakan suatu dampak dari adanya Agresi Militer Belanda II yang menduduki Ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta. Pendudukan wilayah Republik Indonesia oleh pasukan Belanda ini membuat pemerintahan yang berlaku sebelum adanya Agresi Militer Belanda II menjadi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Berdasar atas inisiatif dari pihak militer, maka di wilayah kota Surakarta diupayakan untuk mendirikan suatu pemerintahan gerilya untuk menandingi atau bahkan melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Belanda yang menduduki wilayah kota Surakarta. Pemerintah Gerilya yang dibentuk oleh para pejuang dan pemuda di Kota Surakarta tersebut pada akhirnya mampu menjalankan tugas-tugas pemerintah gerilya sebagaimana mestinya yang diharapkan oleh pihak-pihak yang mendukung perjuangan rakyat Indonesia. Pemerintah Gerilya di kota Surakarta memiliki struktur dan aktivitas yang jelas dan berani untuk tetap mempertahankan wilayah dan harga diri bangsa Indonesia pada umumnya dan wilayah kota Surakarta pada khususnya  (Andi Nurma Utamawan, Abstrak, Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010).



Periode Pemerintah Darurat Militer

Dalam dokumen Terbentuknya Birokrasi Modern di Surakarta Tahun 1945-1950 disebutkan bahwa untuk menghadapi situasi di kota Surakarta yang sedang kacau, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah harian yang menyatakan bahwa APRI adalah alat negara dan penjamin kedaulatan negara. Serangan terhadap alat negara akan dianggap sebagai serangan terhadap kedaulatan negara, dan selanjutnya atas saran dari Panglima Besar kepada Presiden RI selaku panglima tertinggi, setelah berunding dengan Kepala Staf Operasi Kolonel A.H. Nasution pada tanggal 16 September 1948 malam bersama Komandan Gatot Soebroto memutuskan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan perang saudara di Surakarta adalah menempatkan pimpinan yang tegas. Presiden Soekarno menyetujui dan kemudian mengangkat Kolonel Gatot Soebroto sebagai Gubernur Militer Surakarta yang berwenang atas semua alat negara serta berhak sepenuhnya menjalankan tugas-tugas Dewan Pertahanan Negara.  

Bertepatan dengan kedatangan Gubernur Militer Kolonel Gatot Soebroto di Surakarta pada 18 September 1948, dan mulai terdesaknya pasukan FDR/PKI dalam pertempuran-pertempuran di Surakarta, PKI kemudian melakukan pemberontakan di Madiun. Pemberontakan itu selanjutnya memberikan kejelasan bagi Kolonel Gatot Soebroto bahwa insiden-insiden yang terjadi di Surakarta didalangi oleh PKI. Tindakan yang pertama kali dilakukan oleh Gubernur Militer adalah menginstruksikan semua kekuatan bersenjata di Surakarta untuk menghentikan tembak-menembak selambat-lambatnya tanggal 20 September 1948 jam 24.00, dan keesokan harinya semua komandan pasukan yang saling bermusuhan harus melaporkan diri, dan mereka yang tidak melapor akan dianggap pemberontak.

Keadaan di kubu FDR/PKI adalah melakukan perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Sumarsono, seorang pemuda pimpinan Pesindo, Kolonel Joko Suyono, Koman dan Brigade XXIX Letnan Kolonel Dachlan. Perebutan kekuasaan itu didukung oleh kesatuan-kesatuan dari Brigade XXIX, bagian TNI yang telah masuk ke dalam kekuatan tempur FDR/PKI. Pendukung tersebut mengangkat Gubernur Militer, Komandan Komando Militer Daerah, dan Residen baru yang berasal dari FDR/PKI.

Presiden Soekarno setelah itu menyatakan bahwa PKI Muso telah mengadakan coup dan mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun yang dipandang sebagai permulaan merebut seluruh Pemerintah RI dan Presiden.

Soekarno juga menginstruksikan untuk segera merebut Madiun dari perampasan FDR/PKI. Pernyataan tegas Presiden Soekarno tersebut disusul denagan instruksi Panglima Besar Soedirman tanggal 19 September 1948 yang berintikan menetapkan Kolonel Soengkono sebagai Gubernur Militer Jawa Timur, menunjuk Kolonel Gatot Soebroto sebagai Gubernur Militer Jawa Tengah, serta menugaskan Brigade Sadikin untuk menyerbu Madiun dan menghancurkan PKI Muso.

Adanya Pemerintah Kota Surakarta pada waktu itu merupakan Pemerintah Gerilya dalam kota yang diduduki Belanda dan bertindak pula sebagai Pemerintah Militer yang mengemban kekuasaan Negara RI yang berada dalam keadaan perang.

Mengingat di Surakarta, Belanda sudah mulai membentuk pemerintahan pre-federal termasuk Swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran, maka diputuskan untuk secepatnya membentuk pemerintahan RI di Kota Surakarta yang diduduki Belanda. Berdasarkan Surat Keputusan Mentri Dalam Negeri RI dr. Soekiman tanggal 24 Januari 1949, Soediro selaku Residen Surakarta yang ditugasi merangkap menjalankan tugas Walikota Surakarta yang kosong pada`waktu itu.  Karena Residen Soediro berkedudukan di luar Kota Surakarta, dengan persetujuan Mayor Achmadi sebagai Komandan SWK 106 Arjuna, maka berdasarkan Surat Keputusan Residen Surakarta No 3a/ Dar/ 1949 tertanggal 26 Januari 1949 diangkat Soedjatmo Hardjosoebroto sebagai fd Walikota Surakarta. Soedjatmo sendiri memiliki wewenang untuk membentuk dan melaksanakan tugas Pemerintah Republik Indonesia di dalam Kota Surakarta yang sedang diduduki Belanda. Untuk membantu pembentukan pemerintah yang dimaksudkan, Mayor Achmadi menugasi Soeharyo Soeryopranoto selaku PUT (Perwira Urusan Teritorial). Selain itu juga menugasi Rayon V yang dipimpin oleh Lettu RM. Hartono untuk menjadi pendukung Pemerintah RI Balaikota Surakarta .

Adanya sebutan “Balai Kota” pada Pemerintahan Surakarta masa itu karena untuk menampakkan suatu identitas dan eksistensi dari pembentukan pemerintahan di Surakarta yang pada masa itu sedang diduduki oleh Belanda. Maka dari itu tugas Pemerintah RI Balai Kota Surakarta di daerah pendudukan  Belanda itu memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan kota lain, baik dalam cara pelaksanaannya serta lingkup tugasnya.

Hal ini terlihat dari awal pembentukannya, dimana pemerintahan atau organisasi yang akan mengangkat seorang pejabat sudah memiliki kelengkapan atau kesiapan, tetapi tidak untuk pemerintah Balai Kota Surakarta. Setiap bagian dalam pemerintahan dibangun mulai nol dengan mengangkat seluruh pejabat mulai dari Lurah hingga ke Kepala Jawatan.

Pada awal pembentukannya Pemerintah Balai Kota Surakarta berbentuk organisasi sederhana yang baik secara horisontal maupun vertikal dapat melaksanakan tugasna dengan baik. Secara Horisontal struktur pemerintahan Surakarta yaitu terdiri dari : Walikota, Wakil Walikota I dan II, Sekretaris, Ajudan serta para Kepala Jawatan, Kepala Jawatan Pamong Praja dan Wakilnya, Kepala Jawatan Keuangan, Kepala Jawatan Kemakmuran, Koordinator Perekonomian (Koper), Kepala Jawatan sosial dan Kesehatan, Kepala Jawatan Penerangan, Kepala Jawatan Pekerjaan Umum (PU), Kepala Jawatan Pengawas Jawatan, Kepala Jawatan Pendidikan dan “Braintrust” yaitu suatu forum non -lembaga yang bertugas membantu dibidang perekonomian dan kemakmuran (https://123dok.com/article/periode-pemerintah-darurat-militer-struktur-pemerintahan-haminte-surakarta.yjopl1pz, 7 Juli 2023).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan