Perang Gerilya

 


Setelah Agresi Militer II, Jenderal Sudirman memerintahkan APRI untuk melancarkan perang gerilya. Salah satu bentuk pelaksanaan perang gerilya adalah serangan terhadap kota Yogyakarta  yang dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret 1949.

Kata gerilya berasal dari istilah Spanyol guerrilla, yang artinya kecil, lahir dari perjuangan para petani Spanyol menghadapi invasi militer Perancis di bawah Napoleon. Serbuan “genjot dan mundur” (hit and run) unit-unit kecil ireguler Spanyol yang dibantu oleh pasukan Inggris dan Portugis  itu telah melahirkan serangkaian tipe tindakan peperangan baru (Sayogya, 2004 : 146).

Di Indonesia sendiri, taktik ini banyak digunakan oleh panglima-panglima seperti Jendral AH Nasution ketika ia memimpin Divisi Siliwangi. Sebelumnya, Jenderal Sudirman juga sudah menggunakan taktik ini untuk mengalahkan tentara kolonial Belanda.

Salah satu penggagas taktik perang ini di Indonesia yaitu Jenderal Sudirman. Taktik gerilya Jenderal Sudirman bertujuan untuk memecah konsenterasi Belanda. Hal ini dilakukannya dengan berpindah-pindah tempat dan menyeberangi sungai, gunung, lembah, dan hutan. Selain itu, dalam peperangan model ini para tentara juga bergabung dengan rakyat.

Saat melakukan taktik gerilya ini Sudirman harus melakukan taktik berpindah-pindah tempat dan melakukan perjalanan memasuki desa-desa kecil.

Sebelumnya Sudirman  sudah pernah melakukan latihan kemah Kepanduan Hizbul Wathan (HW) dengan menempuh 200 km jalan kaki dari Cilacap – Batur (Banjarnegara). Saat itu usia Jenderal Soedirman 24 tahun (Gerin Rio Pranata, tempo.co,  7 Juli 2023).

Wilayah yang dilalui Pak Dirman dalam perang gerilya sepanjang 1.009 km meliputi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur, meliputi kabupaten Sleman, Bantul (Kretek, Grogol, Panggang), Gunung Kidul (Paliyan, Playen, Ponjong, Karangmojo), Wonogiri (Tirtomoyo, Semanu, Pracimantoro) , Ponorogo (Bajulan, Salamjudek, Liman, Serang), Pacitan (Pringapus, Gebyur, Nawangan, Ngambari, Sobo, Pakis Baru, Tokawi), Kediri (Karangnongko, Jambu, Banyutuwo),  dan Nganjuk (Sukaramai) (Purwoko, 2004 : 293-296; Wahyuni, bangkapos.com, 15 Agustus 2021).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan