Tan Malaka Gugur

 

 

Pada saat Sudirman dan para pejuang  melakukan perang gerilya, Tan Malaka juga melakukan hal yang sama . Ia mempraktikkan  perang gerilya sesuai konsep yang ditulisnya dalam Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi). Bahkan nampaknya perang gerilya dilakukan terlebih dahulu oleh Tan Malaka karena menghendaki Merdeka 100%. Ironisnya ia gugur dalam perang gerilya tersebut justru di tangan prajurit TRI yang merupakan bangsanya sendiri.

 

Sebagaimana diketahui  Tan Malaka ditahan tanpa proses peradilan oleh pemerintah republik sejak Maret 1946 karena dianggap melakukan kudeta dan ia dibebaskan pada bulan September 1948 karena tidak terbukti. Ada juga yang mengatakan ia dibebaskan untuk mengimbangi Muso yang melakukan kudeta di Madiun dan sekitarnya.

Sebelum itu Tan Malaka yang tidak mau berdamai dengan pemerintah kolonial Belanda membuatnya mendirikan Persatuan Perjuangan, yang menjadi alternatif pada saat itu terhadap pemerintah moderat yang mengambil sikap kooperatif terhadap penjajah.

Saat  PKI dibubarkan pascaperistiwa Madiun 1948 dan dilarang pemerintah, kondisi itu merupakan peluang bagi Tan Malaka untuk membuat partai baru pengganti PKI, yaitu Partai Murba. Mengapa tidak menggunakan nama Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Marxis-Leninis, melainkan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) karena ia menilai Komintern  sudah tidak ada lagi dan  PKI dalam tahun 1926 dan 1948 di bawah pimpinan tidak bertanggungjawab, dan memperlihatkan tidak bisa realistis dalam memperhitungkan keadaan obyektif dan subyektif. PKI, menurut Tan Malaka, menempuh jalan dogmatis dan penuh petualangan (avonturisme). Tan Malaka memang berseberangan dengan kebijakan PKI ketika 1926 dan 1948, yang tidak setuju kudeta dilakukan pada saat itu. Selain itu, Tan Malaka juga berpandangan, untuk menggandeng kekuatan Islam dalam revolusi Indonesia dan gagasan ini ditolak kalangan pengikut Komintern dan PKI. Tan Malaka menginsyafi bahwa revolusi tidak berhasil jika tanpa pengaruh Islam.

Dalam buku karya Ruth T. McVey berjudul “Kemunculan Komunisme Indonesia” disebutkan pernyataan Tan Malaka di sat koran Belanda yang menekankan dukungannya terhadap Pan-Islamisme di kawasan, khususnya Indonesia melawan imperialisme dan kolonialisme. “Berdampingan dengan bulan sabit, bintang-bintang dari Soviet akan menjadi lambang pertempuran besar dari sekitar 250 juta Muslim di Sahara, Arab, Hindustan, dan Hindia kita,” kata Tan Malaka. Bahkan, Tan Malaka memberikan perhatian utama pencabutan celaan Pan-Islamisme oleh kongres kedua Komintern pada Juli 1920.

Di sisi lain Tan Malaka tidak berambisi menjadi Ketua Partai Murba, namun berambisi menjadi presiden Indonesia karena tidak senang dengan politik diplomasi.

Sayangnya Partai Murba tidak bisa berkembang dengan baik karena peristiwa Agresi Militer Belanda.

Kematian Tan Malaka tidak lepas dari adanya persekutuan antara Tan Malaka dengan Sabarudin yang merupakan pimpinan Batalyon 38  yang kemudian menyebabkan rangkaian peristiwa hingga tertembaknya Tan Malaka. Tan Malaka  ditembak di dekat Sungai Brantas, Jawa Timur. Rahasia kematian Tan Malaka, dikemukakannya, baru terungkap pada 1990.

Sejarahwan Belanda Harry Poeze dalam sebuah diskusi di Jakarta menyatakan bahwa ia menemukan Tan Malaka ditembak oleh Soekotjo di Desa Selopanggung, di Lereng Gunung Wilis, Kediri, Jawa Timur, pada 21 Februari 1949. Sesudah Tan Malaka ditembak, ada perjanjian antara Soekotjo dan Brigade Surachmad untuk merahasiakan kematian Tan Malaka karena takut pengikut Murba dendam (Priyambodo, ANTARANews, 2014).

Dalam catatan saya masih ada satu lagi korban dalam perang gerilya yakni Supeno, Menteri Pembangunan dan Pemuda pada Kabinet Hatta I. Ia tewas ditembak Belanda ketika tertangkap di Sawahan, Nganjuk (Supeni, 2001 : 295). Info yang lain mengatakan bahwa ia ditembak tentara Belanda ketika sedang mandi di sebuah pancuran di Dusun Ganter, Desa Ngliman, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk pada tanggal 24 Februari 1949. Jenazah Soepeno dimakamkan di Dusun Ganter. Belakangan jenazahnya dimakamkan di TMP Nasional Kusuma Negara di Yogyakarta (regional.kompas.com). Ketika itu ia ikut bergerilya bersama menteri yang lain seperti Susanto Tirtoprojo (koran-jakarta.com).

Ketika gugur usia Supeno 33 tahun. Ia gugur bersama enam orang lainnya, salah satunya adalah Mayor Samudro yang merupakan ajudan Supeno (merdeka.com, 22 Oktober 2014).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Muhammad Yamin

B.M. Diah

PSII di Zaman Jepang