Perundingan Roem-Royen

 

Menjelang pertengahan 1949, posisi Belanda semakin terjepit. Dunia internasional mengecam serangan militer Belanda. Sedang di Indonesia,pasukannya tidak pernah berhasil berkuasa penuh. Ini memaksa Belanda menghadapi RI di meja perundingan.

Belanda memilih berunding dengan utusan Soekarno-Hatta yang saat itu statusnya tawanan. Perundingan itu menghasilkan persetujuan  Roem-Royen. Hal ini membuat para tokoh PDRI tidak senang, Jendral Sudirman mengirimkan kawat kepada Sjafruddin, mempertanyakan kelayakan para tahanan maju ke meja perundingan. Tetapi Sjafruddin berpikiran kepada mendukung dilaksanakannya kontrak Roem-Royen (p2k.unkris.ac.id, 13 Januari 2023).

Perundingan Roem-Royen dilakukan antara Indonesia yang diwakili Mr. Mohammad Roem dan Belanda yang diwakili oleh van Royen. Perundingan ini  berlangsung di Jakarta dari tanggal 14 April sampai 7 Mei 1949. Perundingan menghasilkan dua versi rancangan, satu dari pihak Indonesia dan satu lagi dari pihak Belanda yang kemudian dikenal dengan sebutan Persetujuan Roem-Royen.

Versi Indonesia berupa rancangan yang akan dilakukan pemerintah RI apabila telah tiba kembali di Yogyakarta, yakni : (1) akan memerintah para pejuang gerilya menghentikan permusuhan dan mengadakan gencatan senjata; (2) akan membantu menggalang kembali perdamaian ; (3) akan ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, yang akan menyerahkan kedaulatan sepenuhnya kepada Negara Indonesia Serikat.

Sedangkan Belanda menjanjikan beberapa hal yakni  : (1) menyerahkan kembali Republik ke Yogyakarta ; (2) menghentikan tembak menembak dan membebaskan tawanan politik ; (3) tidak lagi menggalang daerah-daerah / negara-negara boneka yang sebelum Aksi Militer II berada di bawah kekuasaan Republik; (4) tetap menjalankan tugas-tugas pemerintahan di daerah-daerah, meskipun di situ tidak ada kesatuan-kesatuan militer; (5) membentuk badan-badan perwakilan bagi selutuh rakyat Indonesia, yang sepertiga jumlah anggotanya terdiri dari atas kaum Republikan (Yeti, 2004 : 236-237).

Kronologi

Pada tanggal 2 April 1949, Mr. Mohammad Roem mengirimkan surat kepada Komisi Tiga Negara (KTN terdiri dari Australia, Belgia dan AS) dan menyatakan bersedia untuk melangsungkan perundingan pendahuluan di Jakarta. Pada tanggal 11 April 1949, Sri Sultan Hamengkubuwana IX mengunjungi Jakarta untuk kepentingan perundingan.  Pada tanggal 12 April 1949 Dr. van Royen, wakil Belanda dalam Dewan Keamanan PBB tiba di Jakarta selaku ketua baru delegasi Belanda beserta penasihat-penasihatnya.  Pada tanggal 14 April 1949 dilakukan perundingan pendahuluan antara Indonesia dan Belanda diketuai oleh Merie Cochran. Tanggal 15 April 1949, Sudarpo press attace Republik Indonesia di Lake Succes, tiba di Jakarta untuk kemudian menuju Bangka guna menyampaikan pelbagai keterangan kepada Presiden Sukarno. Pada tanggal 21 April 1949, Dr. van Royen menerangkan bahwa pemerintah Belanda bersedia untuk memulihkan pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta. Pada tanggal 24 April 1949, Mohammad Hatta tiba di Jakarta atas permintaan delegasi Indonesia. Sehari kemudian, Sri Sultan Hamengkubuwana IX tiba juga di Jakarta. Pada tanggal 29 April 1949, Mohammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwana IX bertolak ke Bangka untuk membicarakan kelanjut pemulihan pemerintah Republik dengan Presiden Sukarno.

Memasuki bulan Mei, pada tanggal 2 Mei 1949, Mr. Mohammad Roem bertolak ke Bangka untuk berunding dengan pembesar Republik mengenai prosedur perundingan selanjutnya.  Pada tanggal 3 Mei 1949, diadakan pertemuan yang kedua antara Sri Sultan Hamengkubuwana IX  dengan Dr. van Royen mengenai praktik penyelenggaraan pemulihan  pemerintahan Republik ke Yogyakarta. Pada tanggal 4 Mei 1949, Mohammad Natsir meletakkan jabatannya sebagai penasihat delegasi Republik, karena ia tidak setuju dengan kebijakan perundingan. Pada tanggal 5 Mei 1949 dilakukan perundingan informal antara Delegasi Republik dan Delegasi Belanda dengan dihadiri oleh Merle Cochran. Pada tanggal 7 Mei 1949 di Jakarta telah tercapai persetujuan antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda yang kemudian terkenal dengan nama Persetujuan Roem-Royen. BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) mengeluarkan komunike yang isinya menyatakan setuju dengan hasil yang didapat antara pihak Republik  Indonesia dengan Kerajaan Belanda (Supeni, 2001 : 297-298).

Pengembalian Mandat

Setelah Kontrak Roem-Royen, M. Natsir meyakinkan Prawiranegara untuk  datang ke Jakarta, menyelesaikan dualisme pemerintahan RI, yakni PDRI yang dipimpinnya, dan Kabinet Hatta, yang secara resmi tidak dibubarkan.

Setelah Persetujuan Roem-Royen ditandatangani, pada 13 Juli 1949, diadakan sidang  PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Pada sidang tersebut, Pemerintah Hatta mempertanggungjawabkan peristiwa 19 Desember 1948. Wakil Presiden Hatta menjelaskan tiga soal, yakni hal tidak menggabungkan diri kepada kaum gerilya, hal hubungan Bangka dengan luar negeri dan terjadinya Persetujuan Roem-Royen.

Alasan Sukarno-Hatta tidak ke luar kota pada tanggal 19 Desember 1948 sesuai dengan rencana perang gerilya, adalah sesuai pertimbangan militer, karena tidak aman cukup pengawalan, sedangkan sepanjang yang diketahui dewasa itu, semua kota telah dikepung oleh pasukan payung Belanda. Lagi pula pada saat yang genting itu tidak jelas tempat-tempat yang telah diduduki dan arah-arah yang diikuti oleh musuh. Dalam rapat di istana tanggal 19 Desember 1948 selain KSAU Suryadarma mengajukan peringatan pada pemerintah, bahwa pasukan payung biasanya membunuh semua orang yang dijumpai di jalan-jalan, sehingga jika para pemimpin itu ke luar haruslah dengan pengawalan senjata yang kuat.

Pada sidang tersebut, secara formal Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya, sehingga dengan demikian, M. Hatta, selain sebagai Wakil Presiden, kembali menjadi Perdana Menteri. Setelah serah terima secara resmi pengembalian Mandat dari PDRI, tanggal 14 Juli, Pemerintah RI menyetujui hasil Persetujuan Roem-Royen, sedangkan KNIP baru mengesahkan persetujuan tersebut tanggal 25 Juli 1949.  (p2k.unkris.ac.id, 13 Januari 2023)

Mr Moh Roem  ketua delegasi perundingan Republik Indonesia, dibantu Mr Ali Sastroamidjojo sebagai Wakil ketua. Kedua tokoh ini sejak akhir Desember 1948 diasingkan di Mentok-Bangka bersama Ir Sukarno, Drs Moh Hatta, H Agus Salim, Mr Assa’at, Mr AG Pringgodigdo, dan Komodor Suryadarma, hingga tanggal 6 Juli 1949 baru kembali lagi ke ibukota Republik Indonesia pada masa itu; Yogyakarta (kutementok.com, 6 September 2021).

Dukungan Militer

Saputra dalam tesisnya menulis bahwa setelah mengetahui PDRI berdiri di Sumatra, pihak TNI yang telah memulai perjuangan gerilya di Jawa dibawah Panglima Besar Jendral Sudirman, segera menyesuaikan diri, dengan "bersatu paham, tekad, sikap, dan tindak dengan PDRI." PDRI pun dapat mengkonsolidasikan pemerintahan, dengan membentuk Pemerintahan Militer yang menyatukan kekuatan sipil dan militer untuk memperkuat pertahanan menghadapi Belanda. Pemerintahan Militer yang berjalan secara mobil itu memiliki dua corak kepemimpinan: di Jawa dipimpin oleh pejabat militer dengan membawahi orang sipil, sedangkan di Sumatra pejabat sipil diberi kedudukan militer dengan membawahi orang militer.

Dengan sistem Pemerintahan Militer yang memiliki hirarki dari atas sampai ke bawah menurut struktur pemerintahan sebelumnya, rakyat yang sudah dihadapkan pada situasi perang pun dapat dimobilisir untuk menghadapi Belanda. Dukungan rakyat kongkrit -bukan rakyat abstrak sebagaimana biasa diatasnamakan oleh partai politik karena peran partai-partai politik tidak tampak pada saat itu - langsung didapat dari partisipasi rakyat sendiri dalam perjuangan gerilya menghadapi Belanda, baik di garis depan dengan ikut memanggul senjata, maupun di belakang dengan menyediakan perbekalan logistik.

Dengan berdirinya PDRI, perjuangan di luar negeri pun dapat diteruskan. Melalui Konferensi Asia untuk Indonesia di New Delhi yang diprakarsai India, yang diikuti oleh Menteri Luar Negeri PDRI beserta perwakilan-perwakilan RI di berbagai negara, berhasil disampaikan resolusi kepada Dewan Keamanan PBB untuk segera menyelesaikan persoalan Indonesia-Belanda. Dewan Kemanan PBB lalu mengeluarkan resolusi yang sesuai dengan tuntutan Konferensi Asia untuk Indonesia. Belanda yang tidak langsung mematuhi resolusi Dewan Keamanan PBB, akhirnya karena tekanan Amerika di satu pihak, dan karena telah merasa kewalahan menghadapi serangan balik Republik di pihak lain, memprakarsai perundingan.

Dalam perundingan itu Belanda mengajukan syarat hanya mau berunding dengan pemimpin Republik yang ditawan di Bangka, bukan dengan PDRI. Di sinilah muncul dilema di kalangan pemimpin-Republik, dalam memutuskan yang berhak mewakili Indonesia dalam perundingan: pemerintah yang sah (PDRI) atau pemimpin yang ditawan? Karena pertimbangan dukungan dari Sekutu Barat. terutama Amerika, pemimpin yang ditawan di Bangka lalu melaksanakan perundingan, walapun ada keberatan dari pihak PDRI dan TNI, karena alasan legalitas di satu pihak dan karena pertimbangan strategi gerilya yang hampir mencapai kemenangan di pihak lain. Perundingan itu menghasilkan Pernyataan Roem Royen berhasil mengembalikan pemimpin yang ditawan ke Yogyakarta serta disepakatinya rencana Konferensi Meja Bundar (KMB). Selanjutnya, dalam sidang kabinet luar biasa, mandat PDRI dikembalikan, dan Kabinet Hatta II terbentuk. Tidak lama kemudian melalui KMB di Den Haag, kedaulatan RI dipulihkan tanggal 22 Desember 1949 (Saputra, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam mempertahankan kedaulatan RI 1945-1949, Tesis, 1997, lib.ui.ac.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan