Serangan Umum Surakarta
Sebagaimana sudah saya sampaikan pada tulisan terdahulu, pada tanggal 3 Agustus 1949 pukul 20.00 Presiden Sukarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia melalui RRI memerintahkan penghentian tembak menembak di seluruh Indonesia( Supeni, 2001 : 299-302). Gencatan senjata diumumkan tanggal 1 Agustus 1949 dan mulai berlaku di Pulau Jawa pada tanggal 11 Agustus 1949 dan di Pulau Sumatra pada tanggal 15 Agustus 1949 (Ricklefs, 2005:466).
Kabar mengenai penghentian tembak menembak atau gencatan senjata (cease fire) yang masih simpang siur membuat semangat TP (Tentara Pelajar) dan Tentara Republik di kota Surakarta goyah. Kemudian Mayor Achmadi memanggil Komandan-komandan Rayon se-SWK (Sub Wehr Kreise-Sub Medan Perang Gerilya) Arjuno 106 untuk mengadakan Rapat Komando di Markas Jengkrik pada tanggal 3 Agustus 1949 dan menghasilkan keputusan untuk melakukan serangan secara besar-besaran ke dalam Kota Solo mulai tanggal 7 Agustus 1949 guna mendapatkan posisi lapangan apabila cease fire dilakukan.
Serangan dimulai pada tanggal 7 Agustus 1949 pukul 06.00, serentak terhadap kedudukan tentara Belanda di Kota Solo. Kekuatan pasukan yang digerakkan memasuki kota Solo pada hari pertama adalah pasuka-pasukan dari Sub Wehrkreise Arjuna 106 yang terdiri dari 26 Regu Kesatuan TP Det. Brig. 17, tiga Regu dari MB (Mobil Brigade) Polisi dan tiga regu TNI Brig. V. Jumlah seluruhnya mencapai 2000 orang prajurit, tersebar di seluruh kota dengan diperlengkapi aneka senjata yang dimiliki. Serangan Umum dipimpin sendiri oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi.
Kota Solo dikepung dari empat jurusan oleh para gerilyawan yang sejak pagi buta sudah menyusup memasuki kota. Kompi Prakoso melakukan serangan dari arah Utara , Kompi Suhendro melakukan serangan dari arah Selatan, Kompi Soemarto melakukan serangan dari arah Timur dan Kompi Abdul Latif bersama dengan Pasukan SA (Sturm Abteilung)-CSA (Corps Sturm Abteilung) Muktio menyerang ke arah Barat dan Selatan.
Serangan mendadak dengan menggunakan brengun, stengun, nitlaliur, mortir dan lain-lain membuat Tentara Belanda terkejut dan bertahan di markas masing-masing. Tentara Belanda. Sekitar pukul 15.00 WIB mereka meluncurkan serangan balasan dengan menurunkan enam pesawat temput yang mengadakan pengeboman secara membabi buta sehingga membuat rakyat menjadi korban. Laweyan yang terletak di bagian barat Kota Solo menjadi sasaran lima pesawat pembom Tentara Belanda. Kota Solo bagian Utara dihujani peluru dari dua Mustang, tank, overvalwagen (kendaraan tempur).
Pertempuran berlangsung sampai larut malam hingga hari berganti. Tentara Belanda bertahan di Benteng dan daerah Mangkunegaran. Pertempuran terus berlanjut sampai puncaknya tanggal 10 Agustus 1949 pukul 00.00 WIB. Ini dikarenakan sudah diterimanya perintah cease fire dari Presiden Sukarno melalui radio.
Setelah gencatan senjata dilakukan serah terima kekuasaan dari Pemerintah Kerajaan Belanda yang diwakili oleh Kolonel Van Ohl kepada Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili Brigade 17 dan Letkol Slamet Riyadi di Stadion Sriwedari (Rahmawati, Muntholib, Romadi, journal.unnes.ac.id , 2016 : 65-76).
Komentar
Posting Komentar