Amanat Bersama Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII

Sehari setelah mendengar diproklamasikannya Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX bersama dengan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim telegram ucapan selamat dan pernyataan dukungan terhadap Republik Indonesia.Tanggal 19 Agustus 1945, Sri Sultan dan Sri Paku Alam mengadakan sidang istimewa di gedung Sono Budoyo. Salah satu keputusan penting yang diperoleh dari sidang tersebut adalah dukungan penuh terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia, dan tunduk pada perintah dari Jakarta, sebagai pusat pemerintahan. Pada tanggal 20 Agustus 1945, Sri Sultan dan Sri Paku Alam mengirim surat ucapan selamat atas terpilihnya Soekarno dan Moh. Hatta sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Sri Sultan dan Sri Paku Alam juga menyatakan berdiri di belakang kepemimpinan mereka berdua. Pernyataan tersebut kemudian disusul dengan maklumat resmi berisi pernyataan penggabungan diri Kesultanan Yogyakarta ke dalam pemerintahan Indonesia, tertanggal 5 September 1945. Amanat terpisah ini kemudian diikuti oleh amanat bersama yang dikeluarkan pada tanggal 30 Oktober 1945.

“AMANAT

SRI PADUKA INGKENG SINUWUN KANGDJENG SULTAN HAMENGKU BUWONO IX DAN SRI PADUKA KANGDJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM VIII, KEPALA DAERAH ISTIMEWA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Mengingat:
1. Dasar-dasar jang diletakkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia ialah kedaulatan rakjat dan keadilan sosial.
2. Amanat Kami berdua pada tgl.28 Puasa, Ehe 1876 atau 5-9-1945
3. Bahwa kekuasaan-kekuasaan jang dahulu dipegang oleh Pemerintah djadjahan (dalam djaman Belanda didjalankan oleh Gubernur dengan kantornja, dalam djaman Djepang oleh Kōti Zimu Kyoku Tyōkan dengan kantornja) telah direbut oleh rakjat dan diserahkan kembali kepada Kami berdua.
4. Bahwa Paduka Tuan Komissaris Tinggi pada tanggal 22-10-1945 di Kepatihan Jogjakarta dihadapan Kami berdua dengan disaksikan oleh para Pembesar dan para Pemimpin telah menjatakan tidak perlunja akan adanja Sub-comissariat dalam Daerah Kami berdua.
5. Bahwa pada tanggal 19-10-1945 oleh Komite National Daerah Jogjakarta telah dibentuk suatu Badan Pekerdja jang dipilih dari antara anggauta-anggautanja, atas kehendak rakyak dan panggilan masa, jang diserahi untuk mendjadi Badan Legeslatif (Badan Pembikin Undang-undang) serta turut menentukan haluan djalannja Pemerintah Daerah dan bertanggung djawab kepada Komite National Daerah Jogjakarta,

maka Kami Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kangdjeng Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Kangdjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII, Kepala Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia, semufakat dengan Badan Pekerdja Komite Nasional Daerah Jogjakarta, dengan ini menjatakan:

Supaja djalanja Pemerintahan dalam Daerah Kami berdua dapat selaras dengan dasar-dasar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,

bahwa Badan Pekerdja tersebut adalah suatu Badan Legeslatif (Badan Pembikin Undang-undang) jang dapat dianggap sebagai wakil rakjat dalam Daerah Kami berdua untuk membikin undang-undang dan menentukan haluan djalanja Pemerintahan dalam Daerah Kami berdua jang sesuai dengan kehendak rakjat.

Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dari segala bangsa dalam Daerah Kami berdua mengindahkan Amanant kami ini.

Jogjakarta, 24 Dulkaidah, Ehe 1876 atau 30 Oktober 1945

HAMENGKU BUWONO IX
PAKU ALAM VIII”

( Sumber : Soedarisman Poerwokoesoemo,  Daerah Istimewa Yogyakarta, 1984)

Menanggapi amanat Sri Sultan dan Sri Paku Alam ini, presiden mengirim utusan khusus yang terdiri dari Menteri Negara Mr. Sartono, dan Menteri Keuangan Mr. Maramis. Melalui utusannya presiden mengucapkan terimakasih atas dukungan penguasa Yogyakarta. Para utusan juga memberikan piagam atas penyatuan Yogyakarta dengan pemerintah pusat. Selain itu, utusan tersebut memberi kepercayaan dan tanggung jawab pemerintah pusat kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII atas Yogyakarta.

Kebijakan penguasa Yogyakarta pasca kemerdekaan telah membawa banyak perubahan yang menyentuh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan sendi kehidupan di lingkungan keraton Yogyakarta yang sebelumnya berdasarkan sistem pemerintahan tradisional yang feodalistik, di bawah pengawasan penguasa kolonial atau pun Jepang, berubah menjadi bagian dari kekuasaan Republik Indonesia.

Apabila Keraton semula berfungsi sebagai pusat kekuasaan yang menduduki posisi penting pada generasi Mataram dan seterusnya, maka di masa Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII telah berubah menjadi daerah istimewa sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Namun rupanya pemerintah Belanda masih ingin menguasai nusantara dengan cara melakukan berbagai aksi militer. Keadaan ini membuat para pemimpin negara kesulitan menjalankan pemerintahan di Jakarta. Mensikapi keadaan itu, pada Januari 1946 Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengundang para pemimpin Republik Indonesia untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta. Dengan menaiki kereta api yang berjalan dalam gelapnya malam, rombongan pembesar negara mengungsi ke Yogyakarta.

Atas usul Sri Sultan Hamengku Buwono IX pula, Yogyakarta kemudian menjadi ibukota republik. Selama berada di Yogyakarta, seluruh biaya operasional, akomodasi, hingga gaji pejabat negara Indonesia ditanggung sepenuhnya oleh Keraton Yogyakarta (---, Menjadi Indonesia, kratonjogja.id, Selasa, 05 September 2017).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan