Mohammad Hatta (2)
Maklumat 3 November 1945 atau Maklumat No. X ini dikeluarkan pada tanggal 3 November 1945 oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta di Jakarta. Karena daftar urutan maklumat wakil presiden tidak dibawa oleh Mr. Gafar (sekretaris negara), untuk sementara nomor urut itu tidak diisi, dan hanya ditulis Maklumat Wakil Presiden No.X untuk kemudian diganti dengan urutan yang sebenarnya. Tetapi pihak sekretaris negara tidak mengganti nomor urutnya, sehingga maklumat tersebut dapat disebut juga Maklumat No. X.
Walaupun membenci fasisme, Hatta bersama Sukarno tidak mungkin menolak tawaran kerjasama dengan Jepang. Mereka berdua memilih tampil secara terbuka selama masa pendudukan Jepang.
Pada tahun 1943 Hatta diangkat menjadi salah seorang pimpinan Putera. Pada bulan Mei 1945, ia menjadi pimpinan BPUPKI. Pada 7 Agustus 1945 ia diangkat sebagai Wakil Ketua PPKI. Pada dinihari tanggal 16 Agustus 1945 ia bersama Sukarno dibawa oleh para pemuda ke Rengasdengklok.
Pada dinihari tanggal 17 Agustus 1945 ia bersama Sukarno menyusun teks Proklamasi dan menandatanganinya. Pada pukul 10.00 pada hari yang sama ia mendampingi Sukarno membacakan teks proklamasi. Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 secara aklamasi memilih Sukarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Nampaknya sejak saat itulah muncul istilah Dwitunggal.
Masa Awal Republik
Posisi Hatta dan Sukarno pada masa awal republik cukup sulit. Di mata sekutu, mereka dianggap kolaborator dan pemerintahan yang mereka pimpin dicap sebagai produk Jepang. Penghargaan pemuda di sekitar Jakarta kepada mereka agak menurun karena peristiwa di sekitar proklamasi. Pemerintah Belanda menolal untuk berhubungan dengan mereka walaupun sikap itu tidak diikuti secara utuh oleh van Mook yang mewakili pemerintah Belanda di Indonesia.
Untuk menyelamatkan RI, Hatta memengeluarkan beberapa keputusan yang intinya mengurangi kekuasaan yang bertumpuk di tangan Sukarno-Hatta. Maklumat X yang dikeluarkan oleh Hatta pada tanggal 16 Oktober 1945 memberikan kekuasaan legislatif dan wewenang untuk menentukan garis-garis besar haluan negara kepada KNIP. Untuk memperbaiki gambaran luar negeri, terutama Belanda, tentang Indonesia, Hatta mengeluarkan Maklumat Politik 1 November 1945. Dalam maklumat itu Hatta menginsyaratkan bahwa sengketa antara RI dan Belanda mengenai kedaulatan akan diselesaikan melalui cara-cara diplomasi. Maklumat itu juga menyebutkan kesediaan pemerintah untuk menanggung semua hutang Hindia |Belanda sebelum penyerahan Jepang. Konsesi lain yang akan diberikan RI adalah mengembalikan semua milik asing, kecuali yang diperlukan oleh negara, kepada yang berhak; dan pemerintah akan memberikan ganti rugi kepada semua milik asing yang dikuasai pemerintah. Dalam upaya menumbuhkan demokrasi, pada tanggal 3 November 1945 Hatta mengeluarkan maklumat yang membuka peluang bagi rakyat untuk mendirikan parti-partai politik.Maklumat 3 November 1945 itu mengakibatkan terjadinya perubahan prinsipil dalam pemerintahan Republik Indonesia. Dengan berdirinya partai-partai dan adanya pelimpahan kekuasaan legislatif kepada KNIP, RI meninggalkan sistem kabinet presidensial dan beralih ke sistem kabinet parlementer.
Pada tanggal 14 November 1945 terbentuk kabinet parlementer pertama di bawah kepemimpinan Sjahrir. Secara teori, kekuasaan presiden dan wakilnya menjadi berkurang dan mereka hanya berfungsi menjadi simbol. Dalam kenyataannya, Sukarno dan Hatta tetap berperanan penting dalam mengatasi berbagai krisis yang menimpa RI.
Diplomasi
Berbagai langkah diplomasi yang dijalankan Kabinet Sjahrir membawa pihak RI dan Belanda ke meja perundingan, walaupun mendapat tentangan keras dari kelompok Tan Malaka dari Persatuan Perjuangan. Pada bulan November 1946 delegasi RI dan Belanda menandatangani persetujuan Linggajati yang ternyata mendapat kecaman keras dari partai-partai besar yang menguasai KNIP. Unruk menyelamatkan perjanjian itu, dalam sidang KNIP bulan Februari 1947 Hatta mengeluarkan truf politik : bila KNIP tidak menyetujui perjanjian Linggajati, presiden dan wakilnya akan mengundurkan diri dan KNIP diminta mencari presiden dan wakil presiden baru. KNIP mengalah dan pada tanggal 25 Maret 1947 perjanjian Linggajati diratifikasi.
Hatta menangkap tanda-tanda Belanda akan melancarkan serangan militer dengan mengesampingkan persetujuan Linggajati dan menafsirkan sendiri perjanjian itu seperti nampak dari kebebasan mereka mendirikan negara federal dan ketidakbolehan RI membuka perwakilan di luar negeri. Karena itu Hatta berangkat ke Sumatra untuk lebih mempersatukan tenaga perjuangan di pulau itu. Ia juga berangkat ke India mengunjungi Nehru dan Gandhi untuk mencari dukungan politik serta persenjataan. Hatta kembali ke tanah air di bulan Juli 1947 pada saat Belanda sudah melancarkan agresi militer. Selama agresi itu berlangsung dan beberapa bulan sesudahnya, Hatta berkedudukan di Bukittinggi dan dari tempat itu ia memimpin perjuangan untuk seluruh Sumatra.
Hatta kembali ke Yogya pada saat krisis kabinet akibat diterimanya perjanjian Renville (17 Januari 1948). Dua partai besar, PNI dan Masyumi menarik para menteri mereka dari kabinet yang mengakibatkan jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin pada tanggal 23 Januari 1948. Enam hari kemudian, 29 Januari 1948, terbentuk kabinet presidensial dengan Hatta sebagai Perdana Menteri merangkap menteri pertahanan. Usaha Hatta untuk membentuk kabinet koalisi dengan mengikutsertakan golongan kiri di dalam kabinet tidak berhasil, sebab golongan kiri menuntut setidak-tidaknya delapan kursi, mencakup posisi posisi kunci seperti menteri pertahanan, menteri luar negeri dan menteri dalam negeri (Imran, ENI Vol. 6, 2004 : 362-370).
FDR
Selaku Ketua Kabinet Hatta mencanangkan empat program, dua diantaranya melanjutkan perundingan dengan Belanda atas dasar perjanjian Renville dan melaksanakan rasionalisasi ke dalam khususnya di tubuh angkatan perang yang dikenal dengan Rera (reorganisasi dan rasionalisasi). Golongan kiri yang tidak terwakili dalam kabinet ini, mengadakan fusi dengan membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin. FDR menuntut supaya Renville dibatalkan dan kabinet presidensial diganti dengan kabinet parlementer – padahal arsitek perjanjian Renville adalah Amir Sjarifuddin.
Reorganisasi dan Rasionalisasi (Rera)
Program rasionalisasi angkatan perang didasarkan atas keadaan nyata keuangan negara yang tidak mungkin membiayai jumlah tentara yang terlalu banyak (460.000 personal). Dengan rasionalisasi, angkatan perang yang kecil namun efektif dan efisisen diharapkan terbentuk. Anggota yang terkena rasionalisasi dikembalikan ke pekerjaan mereka terdahulu, ke tengah-tengah masyarakat, atau disalurkan ke berbagai pekerjaan yang produktif.
Rera sebenarnya sudah dimulai sejak kabinet Amir Sjarifuddin, berdasarkan mosi yang diajukan golongan kiri dalam KNIP bulan Desember 1947. Amir menggunakan rera untuk menempatkan angkatan perang langsung di bawah kekuasaannya dan menyingkirkan para tokoh yang dianggapnya sebagai penghalang ambisinya untuk menguasai angkatan perang seperti Jenderal Soedirman dan Jenderal Oerip Soemohardjo. Sebaliknya Hatta menggunakan rera untuk menghilangkan atau setidak-tidaknya memperkecil pengaruh kiri dalam tubuh angkatan perang. Hatta antara lain menghapus TNI Masyarakat, yakni badan yang dibentuk Amir dalam Kementrian Pertahanan dan dikuasai golongan kiri.
Oposisi Golongan Kiri
Oposisi golongan kiri semakin meningkat setelah kembalinya Muso, tokoh komunis kawakan, dari Rusia. Dalam konsepsinya, “Jalan Baru untuk Republik Indonesia,” Muso menegaskan bahwa RI harus memihak poros Rusia. Hatta menjawab konsepsi ini dengan menggariskan politik bebas aktif, artinya tidak memihak kepada blok manapun baik AS maupun US.
Pada tanggal 18 September 1948 PKI melancarkan pemberontakan di Madiun dengan memproklamasikan berdirinya “Sovyet Republik Indonesia”. Pemerintah Hatta menjawabnya dengan melancarkan operasi militer dan dalam waktu singkat pemberontakan itu dapat ditumpas. Usaha Hatta untuk menggiring orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan itu ke dalam pengadilan terhalang oleh agresi militer Belanda yang kedua pada bulan Desember 1948. Dalam masa RIS, Hatta meminta Jaksa Agung Tirtawinata supaya menyidangkan para pelaku pemberontakan Madiun. Usaha ini pun tidak berhasil karena pemberontakan Madiun adalah masalah RI bukan masalah RIS.
Perang Saudara.
Selain menghadapi oposisi, Hatta harus mencurahkan perhatiannya pada “perang saudara” yang terjadi di antara berbagai kesatuan tentara di Tapanuli, Sumatra Utara. Panglima Sumatra, Mayor Jendral Soehardjo Hardhowardojo, ternyata kurang berwibawa untuk menyelesaikannya. Pada bulan November 1948 Hatta pergi ke Tapanuli, dan ia berhasil mendamaikan pasukan yang bersengketa. Untuk menghadapi kemungkinan agresi militer Belanda, Hatta menempatkan beberapa perwira Divisi Siliwangi yang dinilainya lebih berpengalaman daripada perwira-perwira Sumatra di Sumatra. Mayjen Soehardjo ditarik ke Yogyakarta dan digantikan oleh Kolonel Hidayat.
KTN
Perundingan dengan Belanda yang diawasi oleh KTN yang dibentuk Dewan Keamanan PBB tidak menunjukkan kemajuan. Belanda mengancam akan membentuk pemerintahan sementara tanpa RI di dalamnya. Sekalipun Hatta menyatakan kesediaan RI menerima kedaulatan Belanda selama masa peralihan (sebelum terbentuknya RIS), mesin perang Belanda sudah siap untuk digerakkan.
Agresi Militer II
Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda memulai agresi militer kedua. Sidang Kabinet RI yang diadakan pada hari itu memutuskan bahwa pimpinan negara tidak akan meninggalkan ibukota Yogyakarta dengan alasan (1) tidak ada pasukan yang cukup untuk mengawal mereka ke luar kota Yogya, dan (2) supaya dapat terus berhubungan dengan KTN sehingga perundingan dengan Belanda dapat dibuka kembali. Pada hari itu juga presiden Sukarno, wakil presiden Hatta, dan beberapa pejabat tinggi pemerintahan ditawan Belanda. Tiga hari kemudian, 22 Desember 1948, mereka diasingkan ke Sumatra. Presiden Sukarno diasingkan ke Parapat dan Hatta diasingkan ke Bangka.
Resolusi Dewan Kemanan
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi agar Belanda menghentikan agresi militernya dan membebaskan semua tahanan politik. Pada mulanya Belanda menolak, namun setelah serangan-serangan gerilya TNI semakin meningkat, sikap Belanda mulai berubah. Tanggal 14 April 1949 perundingan antara delegasi Indonesia dan Belanda dimulai. Berkat campur tangan Hatta, perundingan yang semula berjalan lamban itu berhasil mencapai persetujuan yang dikenal dengan Roem-Roijen Statement, 7 Mei 1949. Sesuai dengan persetujuan itu, akhir Juni 1949 daerah Yogyakarta dikosongkan dari pasukan Belanda, dan pada tanggal 6 Juli 1949, Sukarno, Hatta dan pimpinan lainnya kembali ke Yogyakarta.
KMB
Pada pertengahan Agustus 1949, Hatta berangkat ke Belanda, memimpin delegasi Indonesia untuk menghadapi Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan sebelumnya diadakan penyatuan pendapat dengan negara-negara federal dalam Konferensi Inter Indonesia. Masalah yang cukup lama diperdebatkan dalam KMB ini adalah status Irian Barat. Hatta menuntut supaya Irian Barat dimasukkan ke dalam RIS yang akan dibentuk; Belanda menolak. Karena ada jaminan PBB bahwa Irian Barat akan dibicarakan setahun kemudian, maka Hatta mundur dari pendiriannya.
Semua hasil KMB disahkan KNIP pada tanggal 14 Desember 1949. Tiga hari kemudian Sukarno dilantik sebagai Presiden RIS, dan pada tanggal 20 Desember 1949 Hatta diangkat sebagai Perdana Menteri. Dalam kedudukan itu, Hatta menandatangangi naskah pengakuan kedaulatan di Amsterdam pada tanggal 27 Desember 1949.
Revolusi
Sejak kembali kepada jabatan wakil presiden RI pada Agustus 1950, Hatta berusaha menata kehidupan bernegara yang rusak parah akibat perang sebagai sesuatu yang harus dilakukan setelah revolusi selesai. Dalam hal ini Hatta berbeda pendapat dengan Sukarno yang menganggap revolusi belum selesai. Hatta berpendapat bahwa rwvolusi adalah letusan masyarakat yang sekonyong-konyong, yang melakukan umwertung alle werte. Revolusi tidak boleh dibiarkan terlalu lama, tidak boleh lebih dari beberapa minggu atau beberapa bulan. Sesudah itu revolusi harus dibendung dan selanjutnya dilakukan konsolidasi untuk merealisasikan hasil-hasilnya. Hatta mengatakan, bukan revolusinya tetapi usaha merealisasikan cita-cita revolusi itulah yang belum selesai. Usaha perealisasian ini dapat berlangsung lama, mungkin berpuluh tahun. Sesuai dengan jalan pikiran itu, Hatta beranggapan bahwa berbagai pemberontakan yang terjadi pada tahun 1950-an, perpecahan, anarki politik, dan avonturisme serta kekacauan ekonomi adalah akibat dari tidak terbendungnya revolusi pada waktu yang tepat.
Mundur.
Pada tanggal 1 Desember 1957, Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil presiden.Namun ia tetap memperhatikan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan bangsa dan sedapat mungkin menyampaikan saran-saran untuk mengatasi berbagai kemelut. Hatta ikut dalam Musyawarah Nasional (Mumas) dan Musyawarah Masional Pembangunan (Munap) dalam usahanya meredakan hubungan yang tegang antara pemerintah pusat dan daerah. Pada waktu Dewan Banteng mengultimatum pemerintah pusat pada 10 Februari 1958, ia menyarankan Presiden Sukarno agar (1) kembali kepada status quo sebelum 1 Februari 1958. Dengan demikian, ultimatum Dewan Banteng tidak berlaku, juga hukum yang diambil berdasarkan ultimatum itu; (2) membentuk kabinet presidensial dengan persetujuan parlemen. Hatta menyatakan, bila saran-saran itu bisa diterima, ia bersedia kembali menjabat wakil presiden. Pada mulanya Presiden Sukarno setuju. Namun kemudian ia memutuskan untuk melancarkan operasi militer.
Demokrasi Kita.
Hatta berusaha mengerem tindakan tindakan Presiden Sukarno yang dipandangnya menjurus ke arah diktator. Dalam tulisannya, Demokrasi Kita, Hatta mengatakan bahwa pelaksanaan sistem demokrasi terpimpin merupakan upaya Sukarno untuk meraih semua kekuasaan ke dalam tangannya. Hatta meramalkan bahwa sistem itu tidak akan berumur panjang, paling lama hanya selama Sukarno hidup.
Orde Baru.
Dalam masa Orde Baru, Hatta berusaha mendirikan partai Islam, namun gagal. Ia kemudian mendapat kepercayaan dari pemerintah untuk membentuk sebuah panitia yang dikenal sebagai Panitia Lima yang bertugas membahas masalah Pancasila dan menempatkannya pada tempat sebenarnya.
Hatta menulis banyak karangan di berbagai majalah yang sudah dimulainya sejak ia aktif dalam PI. Tulisannya membahas baik politik maupun ekonomi. Ia juga memberi kuliah di berbagai universitas dan memperoleh gelar doktor kehormatan. Menjelang akhir hayatnya, Hatta menulis otobiografi yang tidak sempat ia selesaikan.
Mohammad Hatta wafat di Jakarta pada tanggal 14 Maret 1980. Sesuai dengan amanatnya untuk dikuburkan di tengah tengah rakyat, ia pun dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Hatta meninggalkan seorang istri, Rahmi Hatta, dan tiga orang anak yang semuanya wanita. Pemerintah menganugrahinya gelar Pahlawan Proklamator (Imran, ENI Vol. 6, 2004 : 371).
Komentar
Posting Komentar