Jenderal Abdul Haris Nasution
Markas Besar Tentara (MBT) TKR membagi Komandemen I Jawa Barat menjadi tiga divisi sebagai berikut :
1. Divisi I, meliputi Karesidenan Banten dan Bogor berkedudukan di Serang, dipimpin oleh Kolonel K. H. Syam’un.
2. Divisi II, meliputi Karesidenan Cirebon dan Jakarta yang berkedudukan di Linggajati (Kuningan), dipimpin oleh Kolonel Asikin.
3. Divisi III, meliputi Karesidenan Priangan yang dipimpin di Bandung, dipimpin oleh Kolonel Arudji Kartawinata.
Pada 11 Oktober 1945, Kolonel Arudji Kartawinata dipindahkan ke Kementerian Pertahanan. Komandan Divisi III lalu diserahkan kepada Kolonel A.H. Nasution. Jabatan Kepala Staf Komandemen I Jawa Barat yang semula dipegang Kolonel Nasution diserahkan kepada Kolonel Hidayat. Dari sinilah karir militer A.H. Nasution terus meningkat.
Biografi Nasution
Nasution bersekolah di Hollands Inlandse School (HIS) di Kotanopan. Pada sore hari ia belajar di madrasah yang dipimpin ayahnya, H. Abdul Halim Nasution. Setamat HIS ia diteria di Holland Inlandse Kweekschool (HIK) di Bukittinggi, sekolah guru yang disebut “Sekolah Raja”. Di HIK Nasution boleh tinggal di asrama secara cuma-cuma. Pada tahun 1935 Nasution melanjutkan pelajarannya di HIK Bandung. Di Bandung Nasution kembali tinggal di asrama. Teman sekamarnya dari Cirebon dan Madura. Saat memasuki kelas 5 HIK Nasution mengikuti ujian AMS bagian B. Pada tahun 1937 ia mengantungi dua ijazah sekaligus. Meski demikian ia gagal melanjutkan ke perguruan tinggi dan juga gagal menjadi guru pemerintah. Ia kemudian menjadi guru HIS swasta di Bengkulu di mana untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Bung Karno. Dari Bengkulu kemudian ia menjadi Kepala Sekolah Muara Dua Palembang. Dari Palembang ia pindah menjadi guru di HIS Tanjung Raja sambil mengikuti kursus tertulis dari negeri Belanda untuk memperoleh ijazah guru menengah bidang tata negara.
Saat Belanda diduduki Jerman tahun 1940, orang Indonesia diberi kesempatan untuk ikut serta dalam pendidikan politik dan militer. Nasution pun diterima mengikuti pendidikan perwira cadangan atau CORO (Corps Opleiding Reserve Officieren) di Bandung.
Pada tahun 1942, Jepang memasuki Indonesia , Akademi Militer ditutup. Nasution sebagai taruna tahun kedua diangkat menjadi vaandrig (pembantu letnan calon perwira)dan ditempatkan pada kesatuan Batalion III Infanteri di Surabaya di mana untuk pertama kalinya ia ber perang melawan Jepang dan didesak mundur hingga Jember. Ia memisahkan diri secara diam diam dan mengungsi ke daerah pedesaan di Sukabumi dan menyamar menjadi petani.
Setelah ada pengumuman dari pemerintah pendudukan Jepang bahwa militer yang berkebangsaan Indonesia dibebaskan, Nasution kembali ke Bandung. Di sini ia memperoleh bantuan dari Gondokusumo, tokoh Parindra yang kelak menjadi mertuanya.
Pada tahun 1943 dibentuklah Barisan Pelopor. Nasution terpilih menjadi Wakil Komandan Batalion kota Bandung. Antara tahun 1944-1945 ia berkeliling di berbagai kota Jawa Tengah dan Yogyakarta membentuk Pemuda Pelopor.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Nasution disibukkan dengan pembentukan TNI. Olah Kepala Staf TKR, Oerip Soemohardjo, Nasution diperintahkan untuk menggalang TKR di Jawa Barat, dan ia sendiri diangkat menjadi Kepala Staf Komandemen TKR Jawa Barat. Masih di tahun 1945, Nasution diangkat menjadi Panglima Divisi III TKR menggantikan Kolonel Arudji Kartawinata. Ketika Nasution menduduki jabatan ini terjadilah peristiwa “Bandung Lautan Api” (Hisyam, 2004 : 37-39).
Sistem Teritorial.
Ketika memegang jabatan sebagai Panglima Divisi Siliwangi tahun 1946, Nasution mengembangkan pemikiran dalam strategi pertahanan mencakup strategi militer, pembinaan sosial politik, dan pembinaan daerah. Gagasan ini terkenal sebagai Sistem Teritorial. Dari sifat “ter” (teritorial) ini berkembang aspek-aspek tertentu seperti kekaryaan, operasi-operasi karya dan Hansip-Wanra yang kemudian menonjol di tahun 1960-an. TNI kemudian diakui sebagai satu kekuatan rakyat Indonesia, dan dari konsep ini doktrin-doktrin TNI seterusnya dikembangkan.
Saat bertugas sebagai Panglima Siliwangi, ia melamar Sunarti putri Gondokusumo, yang kemudian dinikahinya tanggal 30 Mei 1947. Nasution memiliki dua putri. Putri keduanya, Ade Irma Suryani Nasution, tewas pada usia lima tahun ketika terjadi serbuan tentara ke rumahnya pada dini hari 1 Oktober 1965.
Ketika terjadi Madiun Affair, Nasution menduduki jabatan wakil panglima besar dan kepala staf operasi. Meski Madiun Affair bisa diatasi oleh operasi Siliwangi, tapi Nasution merasa tidak berhasil mengefesienkan TNI saat melakukan perang gerilya dalam sistem Pertahanan Rakyat Total. Menurutnya TNI harus profesional. Untuk itu perlu dilakukan reorganisasi dan rasionalisasi (rera). Upayanya itu mendapatkan banyak tentangan dari para jenderal dan laksanama serta bawahannya yang merasa dirugikan karena adanya rera.
Setelah Agresi Militer II, Nasution selaku Panglima Teritorial Jawa mengumumkan berlakunya pemerintahan militer untuk seluruh Jawa. Pengumuman ini di kemudian hari menjadi sebab timbulnya konflik antara penguasa sipil dan militer.
Setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada RI, Nasution diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) RIS dalam pangkat Kolonel. Pada masa ini Nasution berada di Jakarta dan untuk pertama kalinya memperoleh kesempatan b erkunjung ke India mendampingi Presiden Sukarno untuk menyampaikan terima kasih atas dukungan dan bantuan bangsa Indonesia terhadap perjuangan RI.
Anti Gerilya.
Pada masa 1950-1960-an, Nasution memasuki masa yang disebutnya sebagai periode “anti gerilya” untuk menangkal pemberontakan DI, APRA, RMS, PRRI dan Permesta. Prinsipnya sama dengan masa perang gerilya yaitu sistem teritorial dan pertahanan rakyat total, tetapi medannya berbeda. Jika dulu medannya adalah desa kini medannya adalah kota. Pada tahun 1962, semua permberontakan berhasil dipadamkan. Saat itu Nasution sudah berpangkat Jendral dan menjabat pula sebagai Menteri Keamanan Nasional.
Akibat adanya usaha sentralisasi dan mobilisasi militer pada masa Kabinet Wilopo, TNI AD mengalami perpecahan. Nasution menyokong upaya ini. Usaha demobilisasi ini tidak didukung oleh kalangan militer di daerah yang kebanyakan berasal dari PETA. Presiden Sukarno condong pada faksi militer daerah, sehingga membuat kecewa kalangan militer di pusat. Pada tanggal 17 Oktober 1952, faksi militer pro demobilisasi mengadakan demonstrasi di halaman istana presiden, menuntut segera diatasinya krisis dalam AD ini. Akibatnya, Presiden mengganti beberapa pimpinan AD di pusat. Nasution termasuk dalam daftar pimpinan AD yang diskors, dan selama tiga tahun ia nonaktif dalam kepemimpinan AD. Ia diangkat kembali dalam jabatan KASAD pada tahun 1965.
Dwifungsi ABRI.
Menurut Nasution, kebijaksanaan politik harus dapat memberikan iklim untuk kemampuan militer sebesar-besarnya, sementara kebijaaksanaan militer harus memberi iklim bagi kemampuan politik setinggi-tingginya. Politik dan militer secara formal terpisah, tetapi pada hakikatnya tidak, karena masing-masing merupakan satu sisi dari benda yang sama. Militer bukanlah alat yang mati dan bisu di tangan politik, tetapi politik juga bukan bayangan yang jauh yang tidak dikenal oleh militer. Prinsip inilah yang mendasari pelaksanaan “Dwifungsi ABRI.
KOTI.
Pada tahun 1961, Presiden Sukarno menjadi panglima KOTI (Komando Operasi Tertinggi)dalam upaya memperjuangkan mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Indonesia. Nasution menjadi wakil panglima. Ahmad Yani diangkat menjadi KSAD. Operasi militer dilaksanakan oleh Komando Mandala yang dipimpin Suharto. Sementara itu PKI menggunakan kesempatan ini untuk meningkatkan pengaruhnya dalam masyarakat.
Angkatan Kelima
Saat konfrontasi dengan Malaysia, PKI mengusulkan pembentukan “angkatan kelima” dan mempersenjatai rakyat. Nasution yang populer di kalangan TNI dan anti PKI didudukkan sebagai Menteri Pertahanan Keamanan.
Pada 16 September 1965 Omar Dhani bertolak ke Cina secara rahasia. Cina mendukung angkatan kelima dan akan memberikan bantuan bom nuklir. Tanggal 27 September 1965 KSAD Letjen Ahmad Yani dengan tegas menolak angkatan kelima dan nasakomisasi militer untuk semua strukturnya.
Gestok
Pada malam 30 September – 1 Oktober 1965 terjadilah pembunuhan terhadap beberapa jenderal AD di bawah komando Letkol Untung. Jenderal Ahmad Yani tewas bersama lima jenderal lainnya, tetapi Nasution berhasil meloloskan diri dari peristiwa maut itu.
Dalam keadaan tidak adanya Ahmad Yani dan Nasution, Soeharto selaku Panglima Kostrad kemudian mengambil oper komando militer setelah memperoleh persetujuan dari para jenderal. Tindakan operasional dilakukan Soeharto setelah berkonsultasi dengan Nasution yang sedang sakit karena luka tembak.
Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, Nasution meninggalkan peranannya di militer dan menjadi ketua MPR S (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara). Jabatan terakhirnya dalam militer adalah Menteri Kordinator Bidang Pertahanan dan Keamanan dan Kepala Staf ABRI. Pada tahun 1972, setelah menyelesaikan tugas kekaryaan ABRI sebagai Ketua MPRS, Nasution dipensiunkan secara resmi pada usia 54 tahun. Ia memperoleh 34 bintang jasa, 24 dari pemerintah RI dan 10 buah dari luar negeri, antara lain dari pemerintah Thailand, Yugoslavia, Mesir, Filipina, Jerman Barat, Uni Soviet, Ethiopia, dan Belanda. Atas perestasinya di bidang akademik, Nasution juga memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu politik dan ilmu ketatanegaraan dari Universitas Islam Sumatra Utara (1962) dan Universitas Padjadjaran (1963).
Sebagai purnawirawan, Nasution mengisi waktunya dengan kegiatan di bidang sejarah. Ia menghabiskan waktunya menulis buku sejarah khususnya sejarah TNI. Ia memang sudah sering menulis sejak tahun 1948 di sela sela kesibukannya sebagai pemimpin TNI. Beberapa buku Nasution yang penting adalah Pokok-pokok Perang Gerilya, Catatan-catatan Sekitar Politik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Kekaryaan ABRI, Sekitar Perang Kemerdekaan (11 jilid). Ia juga menulis memoar dengan judul Memenuhi Panggilan Tugas (tujuh jilid). (Hisyam, ENI Vol 11, 3004 : 41).
Komentar
Posting Komentar