Ibukota Pindah ke Yogyakarta

 

Pada bulan Oktober, November dan Desember 1945 Jakarta mulai menjadi ajang kekerasan dan teror, menyebabkan keresahan penduduk sepanjang waktu. Tentara NICA memang selalu memancing insiden dimana-mana dan kapan saja, sehingga ribuan orang menjadi korban. Saat melakukan patroli keliling kota tentara NICA terkadang melakukan kamuflase dengan menggunakan kendaraan patroli palang merah.

Menurut pengakuan Presiden Soekarno sendiri dalam buku otobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams, selama tiga bulan itu telah jatuh korban orang Indonesia yang tak berdosa, tak kurang dari 8.000 orang. NICA juga mendapat perintah dari atasannya untuk membunuh para pemimpin Republik sehingga terutama Soekarno dan Hatta terpaksa tidur berpindah-pindah rumah, sementara keluarga mereka selalu diliputi kecemasan yang amat sangat.

Situasi ini seperti konflik bersenjata, penggeledahan dan pemberlakuan jam malam membuat pemerintah Republik Indonesia melalukan protes kepada sekutu yang dianggap tidak menghormati kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia serta telah mengingkari kesepakatan awal yang hanya ingin membebaskan para tawanan perang dan pemulangan dan pelucutan senjata tentara Jepang.

Korban penembakan dan pembunuhan bukan saja menimpa rakyat dan pemuda pejuang saja, namun para pemimpin dan pejabat penyelenggara negara pun tak luput dari sasaran pasukan NICA. Seperti kejadian yang menimpa Mr. Moehammad Roem selaku Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat, terkena tembakan pada kakinya pada 21 November 1945 yang mengakibatkan harus dirawat di rumah sakit. Selain itu pula adanya upaya pembunuhan terhadap Menteri Penerangan Amir Syarifuddin di Pegangsaan Timur pada 28 Desember 1945. Teror juga menimpa Perdana Menteri Sutan Syahrir dari percobaan pembunuhan sebanyak dua kali, yang pertama pada 26 Desember 1945 dan kedua pada 2 Januari 1946.

Melihat kondisi tersebut Jakarta sebagai ibukota tidak mungkin dapat menjalankan fungsinya dengan lancar. Selain itu, kondisi keamanan yang tidak stabil tersebut dapat mengancam jiwa para pemimpin negara. Oleh karena itu, diadakan Sidang Kabinet pada 3 Januari 1946 yang memutuskan untuk mencari wilayah yang relatif kondusif dari sisi keamanan agar roda pemerintahan dapat dijalankan dengan baik.

Saat senja, sederetan gerbong kereta api yang kosong perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara, ditarik oleh lokomotif dari Stasiun Manggarai lalu berhenti di rel Pegangsaan Timur, tepat di belakang rumah Presiden Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56. Sebuah gerbong sengaja dipisah, untuk memberi kesan seolah-olah sebuah gerbong paling belakang yang dianggap tak penting dibandingkan gerbong lainnya. Namun justru di gerbong terpisah itulah terdapat Presiden, Wakil Presiden serta pemimpin penting lainnya beserta anggota keluarga berada. Hampir sama sekali tak membawa barang apa-apa. Di kegelapan malam yang sunyi diliputi suasana tegang pada 4 Januari 1946 itu berpindahlah Republik Indonesia dari pusat pemerintahannya ke Yogyakarta yang kemudian disambut oleh Sejak saat itulah upaya untuk menegakkan kembali Negara Proklamasi diperjuangkan di ibukota yang baru, Yogyakarta. Meskipun demikian, Perdana Menteri Syarir tetap berkantor di Jakarta untuk menjaga komunikasi dengan pihak internasional untuk kepentingan perjuangan (Sumber :  Museum Perumusan Naskah Proklamasi,  ).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan