Jalannya Peristiwa Tiga Daerah.

Pada tanggal 10 Oktober 1945 camat Adwerna yang sedang berpidato di Lemahduwur dibunuh oleh salah satu gerombolan. Toko Oei Tjung Lam yang terletak di desa Warung Pring, Pemalang, dibakar.  Revolusi sosial bermula.

 

Pada tanggal 19 Oktober 1945, bupati Pemalang, Sosro Adikusumo ditawan oleh gerombolan. Mereka juga membakar dan merampok rumah lurah dan camat. Rumah para priyayi yang dituduh melakukan korupsi diserang. Demikian juga dengan para polisi karena dianggap melindungi para birokrat. Kelompok Hizbullah dan Gerakan Pemuda Arab  juga turut terlibat.


 

Pemerintahan revolusioner dibentuk. Supangat sebagai bupati baru. Tindakan kekerasan mereda.

Di Tegal, gerombolan melancarkan serangan terhadap asrama polisi. Mereka juga membunuh orang-orang Indo. Rumah bupati Tegal, Sunarjo, juga tak luput dari serangan. Istri bupati diarak keliling kota dengan menggunakan pakaian karung goni. Mereka pun meminta agar  bupati diadili.

Sajuti Melik, sekretaris pribadi Sukarno mengangkat pejabat setempat. Pada tanggal 6 November 1945 K.H. Abu Suja’i terpilih menjadi bupati Tegal. Keadaan relatif tenang.

Di Brebes, para pejuang revolusioner bergabung dengan gerombolan untuk menyingkirkan semua pangreh praja . Wedana dan patih Brebes diculik. Orang kerutunan Cina dan Indo dibunuh.

Tokoh lambang teror waktu itu adalah Kutil, seorang tukang cukur, yang membentuk AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) di Talang. Anggotanya terdiri dari para pedagang, penjahit, petani, tukang besi dan penjual jamu. Kutil memerintahkan kepada para anggotanya untuk mencari sisa-sisa tentara Jepang dan melucuti persenjataannya. Mereka menumpas orang yang dicurigai sebagai agen NICA. Mereka pun mebakar rumah-rumah bekas pegawai Belanda dan melakukan pembuhuhan.

TKR bekerja sama dengan laskar Hizbullah dan Sabilillah menangkap  para aktivis gerombolan dan menjebloskan mereka ke dalam penjara. Bupati Tegal dan Brebes yang berasal dari kalangan santri dibiarkan tetap menjadi bupati. Supangat yang berhaluan kiri, melarikan diri ke Banyumas dan digantikan oleh K.H. Maksum pada tanggal 30 Desember 1945.

Pada bulan Desember 1945, sekitar 1600 orang ditangkap dan dipenjarakan. Saat terjadi aksi militer Belanda tanggal 21 Juli 1947, sebagaian besar mendapat amnesti dari Presiden. Kutil dihukum mati pada 5 Mei 1951 (Purwoko, 2004 : 81-83).

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan