Peristiwa Tiga Daerah
Kedatangan pasukan Sekutu meningkatkan ketegangan di Jawa dan Sumatra. Ketegangan sosial di wilayah pesisir utara Jawa mencapai puncaknya pada bulan Desember 1945. Di tiga kabupaten , yaitu Brebes , Pemalang dan Tegal yang merupakan bagian dari karesidenan Pekalongan, terjadi apa yang terkenal sebagai Peristiwa Tiga Daerah. Dalam peristiwa ini, seluruh aparat birokrasi, baik pangreh praja (residen, bupati, wedana, dan camat) maupun sebagian kepala desa, “didaulat” dan diganti oleh aparat pemerintah baru yang dipandang berkenan di hati rakyat. Pergolakan rakyat di tiga daerah ini dapat disebut sebagai revolusi sosial.
Rakyat menilai bahwa aparat birokrasi setempat bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Mereka telah lama memendam rasa benci kepada pangreh praja yang dinilai mendukung penjajah, baik pada masa kolonial maupun pada masa pendudukan Jepang. Pada masa kolonial Belanda, para pangreh praja menangani soal sewa tanah, penarikan pajak, dan kerja paksa untuk kepentingan Belanda. Demikian juga pada masa pendudukan Jepang, para pangreh praja dan kepala desa berperan sebagai tuan-tuan tanah dan pemungut pajak dari para petani. Menjelang tahun 1944, terjadi pembunuhan terhadap seorang camat yang sedang melakukan penyelidikan dari rumah ke rumah untuk mencari petani yang menyembunyikan hasil panennya dan bukan menyerahkannya kepada pemerintah sebagai pajak.
Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, para pangreh praja di tiga daerah tersebut pada masa Jepang tetap menjadi aparat birokrasi. Keadaan ini tentu saja tidak disukai rakyat. Kebencian rakyat itu dimanfaatkan oleh para lenggaong (jagoan) untuk membalas dendam atas perlakukan para pangreh praja terhadap pada lenggaong semasa pendudukan Jepang (Purwoko, ENI Jilid 13, 2004 : 81).
Komentar
Posting Komentar