Perubahan di Yogyakarta

 

Seiring dengan proklamasi kemerdekaan RI dan berpindahnya ibukota , di Yogyakarta terjadi beberapa perubahan atas prakarsa keraton. Pada bulan Agustus 1945, patih dari keraton Yogyakarta meningal dunia dan sultan Hamengkubuwono IX  tidak mengangkat penggantinya. Demikian juga ketika patih dari Pakualaman meninggal, Sri Pakualam VIII tidak mengangkat penggantinya.

Pada awal tahun 1946 muncul beberapa peraturan perundang-undangan yang memperbanyak jumlah orang yang berhak memilih dewan-dewan dan kepada desa dan yang menghapus pajak kepala. Pemerintahan desa di Yogyakarta menjadi yang paling maju di Indonesia. Kekuasaan birokrasi istana dikurangi dan penghasilannya dibiarkan tetap kecil. Sultan menghapus praktik Belanda dan memberikan peranan yang lebih terbatas namun lebih berarti kepada elite istana. Mereka kini menjadi pengawal tradisi kerajaan.

Bahasa Indonesia menggantikan bahasa Jawa sebagai bahasa resmi, sehingga mengurangi tingkat-tingkat hierarki sosial di kalangan pejabat pemerintahan. Sultan membentuk laskar rakyat yang setia kepadanya. Dia pun berperan militer dan diakui sebagai perwira militer oleh para para panglima tentara Republik (Ricklefs, 2005 : 442-443).


Pada tahun 1946, Universitas Gajah Mada dibuka di Yogyakarta. Sultan menyediakan bagian depan istana sebagai tempatnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan