Persatuan Perjuangan

 

Menurut catatan Supeni, pada tanggal 4 Februari 1946, di Purwokerto, dilakukan sebuah konferensi yang dipromotori oleh Tan Malaka, dengan 143 organisasi sebagai anggota yang menghasilkan  “Persatuan Perjuangan”  yang beroposisi terhadap kabinet Sjahrir (2001:244).

Persatuan Perjuangan suatu organisasi massa yang merupakan realisasi dari visi revolusi Tan Malaka, yaitu keinginannya  menciptakan persatuan di antara organisasi-organisasi yang ada untuk mencapai kemerdekaan penuh.

Persatuan Perjuangan berhasil menghimpun 141 organisasi politik, laskar, dan partai politik yang berpengaruh, seperti Masyumi  dan PNI . Salah satu faktor yang menyebabkan banyaknya massa pendukungnya adalah kelambanan pemerintah Sjahrir menghasilkan diplomasi yang menguntungkan revolusi (Purwoko, 2004 : 136).

Beberapa hari setelah dibentuk , Persatuan Perjuangan mengadakan kongresnya di Solo. Dalam kongres tersebut dikeluarkan sebuah keputusan politik penting, yang dikenal dengan nama Minimum Program, berisi tujuh pasal. Minimum program ini pada hakikatnya mencerminkan visi revolusi Tan Malaka, yaitu :

1.       berunding dengan tujuan pengakuan kemerdekaan 100 %; 

2.       pemerintah rakyat (dalam arti kemauan tentara harus sesuai kemauan rakyat;

3.       tentara rakyat (dalam arti kemauan tentara harus sesuai dengan kemauan rakyat);

4.       menyelenggarakan tawanan Eropa;

5.       melucuti senjata Jepang;

6.       menyita hak dan milik musuh;

7.       menyita perusahaan (pabrik, bengkel, dll) dan pertanian (perkebunan, pertambangan, dll) dari musuh.

Dari ketujuh program tersebut, dapat diketahui bahwa Persatuan Perjuangan adalah organisasi yang revolusioner. Organisasi ni hanya mau berunding dengan Belanda apabila semua tentara asing dikeluarkan dari Indonesia. Hal ini dianggap mustahil oleh pemerintah Sjahrir yang terus menjalankan diplomasinya dengan pemerintah Belanda. Perbedaan pendapat ini menimbulkan perselisihan. Kelompok Persatuan Perjuangan menjadi oposisi terhadap Kabinet Sjahrir. Derasnya dukungan massa terhadap Persatuan Perjuangan memaksa Sjahrir meletakkan jabatan Perdana Menteri, meskipun ia diminta kembali membentuk kabinet baru.

Pada pertengahan tahun 1946, beberapa tokoh Persatuan Perjuangan, antara lain Tan Malaka, Muhammad Yamin, Ahmad Subardjo, dan Iwa Kusumasumantri  ditangkap. Mereka dituduh melakukan oposisi yang sudah menjurus ke tindakan tidak /kurang loyal, yang bertujuan melemahkan kedudukan pemerintah secara tidak bertanggungjawab (2004 : 136).

Tan Malaka kembali ke Indonesia dari pembuangan secara diam-diam sekitar tahun 1942 dan membuka jatidirinya di Jakarta. Saat itu ia telah meninggalkan ide-ide Stalinis  dan mendirikan apa yang dinamakan “komunisme nasional” namun ia tidak membentuk partai politik (Ricklefs, 2005 : 445).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan