Petisi Sutardjo
Pada bulan Juli 1936 Sutardjo Kartohadikusumo dan beberapa rekannya mengajukan usulan pada sidang Volksraad. Usulan itu disebut Petisi Sutardjo. Pada saat itu Sutardjo menjabat Ketua Persatuan Pegawai Bestuur / Pamongpraja Bumiputra (PPBB). Usul tersebut berisi permohonan agar diadakan suatu musyawarah (konferensi) antara wakil-wakil Indonesia dengan negara Belanda, yang anggota-anggotanya mempunyai hak yang sama dan sederajat. Tujuan konferensi adalah membicarakan kemungkinan pemberian kepada Hindia Belanda (Indonesia), suatu pemerintahan otonom dalam kerangka konstitusi Belanda dalam jangka waktu 10 tahun mendatang.
Landasan hukum yang diajukan Petisi Sutardjo adalah Konstitusi Pasal 1 UUD Kerajaan Belanda, yang menyebutkan bahwa kerajaan Belanda meliputi wilayah Belanda (Nederland), Hindia Belanda (Indonesia), Suriname, dan Kurasao. Menurut Sutardjo, keempat wilayah itu di dalam Kerajaan Belanda
mempunyai derajat yang sama. Oleh karena itu wajarlah bila ia melontarkan gagasan untuk membicarakan kemungkinan pemberian hak otonomi bagi Indonesia untuk menyelenggarakan pemerintahan yang berdiri sendiri.
Petisi tersebut segera menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Sikap pro dab kontra terhadap petisi tersebut tidak hanya terjadi di kalangan pergerakan nasional Indonesia saja, tetapi juga di pihak Belanda.
Dalam surat kabar Tjahaja Timoer, 3 Agustus 1936 disinggung adanya orang-orang Belanda yang menyetujui Petisi Sutardjo. Akan tetapi dari kalangan masyarakat Belanda banyak yang tidak menyetujui petisi tersebut, seperti golongan Vanderlandse Club (VC). VC berpandangan Indonesia belum matang untuk berdiri sendiri atau mendapat hak otonomi.
Di pihak Indonesia juga timbul sikap pro dan kontra terhadap Petisi Sutardjo. Tetapi banyak organisasi pergerakan yang mendukung petisi tersebut.
Paguyuban Pasundan pada kongresnya yang ke-23 menyatakan membantu mengumpulkan tanda tangan rakyat guna menguatkan petisi Sutardjo. Di luar Paguyuban Pasundan masih banyak lagi yang mendukung Petisi. Adapun golongan yang menolak adalah PSII dan Parindra. Mereka tidak memberikan dukungan karena yakin petisi tersebut akan ditolak pemerintah Belanda.
Pers Belanda seperti Preanger Bode, Het Bataviasch Niuwsblad, menuduh Petisi Sutardjo sebagai suatu "permainan yang berbahaya", revolusioner, belum waktunya dan tidak sesuai dengan keadaan. Beberapa pers Indonesia pro Petisi Sutardjo, di antaranya Pemandangan, Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli, dan Suara Katholik.
Pada perdebatan di Volksraad yang diselenggarakan tanggal 29 September 1936, Petisi Sutardjo mendapat 26 suara setuju dan 20 suara menolak. Pada tanggal 1 Oktober 1936, Petisi Sutardjo ditetapkan menjadi Petisi Volksraad dan dikirim kepada ratu, staaten general, dan menteri jajahan di negeri Belanda.
Pada bulan Februari 1938, Petisi Sutardjo dibicarakan di Tweede Kamer Belanda. Welter, menteri jajahan berpendapat bahwa jalan terbaik untuk perubahan Hindia Belanda adalah menjalankan asas desentralisasi, yakni memberi otonomi pada pemerintah daerah, dan meminta agar Petisi Sutardjo tidak dibicarakan lagi di dalam Tweede Kamer.
Gubernur Jenderal Belanda, Tjarda, memberi saran pada Welter untuk menolak petisi tersebut, sehingga konferensi (musyawarah) yang diusulkan Sutardjo tidak perlu diadakan.
Pada tanggal 16 November 1938, Ratu Belanda secara resmi menolak petisi tersebut dengan alasan bahwa bangsa Indonesia belum mampu memikul tanggungjawab sendiri.
Penolakan Petisi Sutardjo oleh Ratu Belanda merupakan pukulan hebat bagi kaum pergeralan nasional khususnya yang moderat. Kaum pergerakan kemudian menyusun barisan dalam wadah GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang menuntut "Indonesia Berparlemen" (Purwoko, ENI Vol. 13, 2003: 209-210).
Landasan hukum yang diajukan Petisi Sutardjo adalah Konstitusi Pasal 1 UUD Kerajaan Belanda, yang menyebutkan bahwa kerajaan Belanda meliputi wilayah Belanda (Nederland), Hindia Belanda (Indonesia), Suriname, dan Kurasao. Menurut Sutardjo, keempat wilayah itu di dalam Kerajaan Belanda
mempunyai derajat yang sama. Oleh karena itu wajarlah bila ia melontarkan gagasan untuk membicarakan kemungkinan pemberian hak otonomi bagi Indonesia untuk menyelenggarakan pemerintahan yang berdiri sendiri.
Petisi tersebut segera menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Sikap pro dab kontra terhadap petisi tersebut tidak hanya terjadi di kalangan pergerakan nasional Indonesia saja, tetapi juga di pihak Belanda.
Dalam surat kabar Tjahaja Timoer, 3 Agustus 1936 disinggung adanya orang-orang Belanda yang menyetujui Petisi Sutardjo. Akan tetapi dari kalangan masyarakat Belanda banyak yang tidak menyetujui petisi tersebut, seperti golongan Vanderlandse Club (VC). VC berpandangan Indonesia belum matang untuk berdiri sendiri atau mendapat hak otonomi.
Di pihak Indonesia juga timbul sikap pro dan kontra terhadap Petisi Sutardjo. Tetapi banyak organisasi pergerakan yang mendukung petisi tersebut.
Paguyuban Pasundan pada kongresnya yang ke-23 menyatakan membantu mengumpulkan tanda tangan rakyat guna menguatkan petisi Sutardjo. Di luar Paguyuban Pasundan masih banyak lagi yang mendukung Petisi. Adapun golongan yang menolak adalah PSII dan Parindra. Mereka tidak memberikan dukungan karena yakin petisi tersebut akan ditolak pemerintah Belanda.
Pers Belanda seperti Preanger Bode, Het Bataviasch Niuwsblad, menuduh Petisi Sutardjo sebagai suatu "permainan yang berbahaya", revolusioner, belum waktunya dan tidak sesuai dengan keadaan. Beberapa pers Indonesia pro Petisi Sutardjo, di antaranya Pemandangan, Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli, dan Suara Katholik.
Pada perdebatan di Volksraad yang diselenggarakan tanggal 29 September 1936, Petisi Sutardjo mendapat 26 suara setuju dan 20 suara menolak. Pada tanggal 1 Oktober 1936, Petisi Sutardjo ditetapkan menjadi Petisi Volksraad dan dikirim kepada ratu, staaten general, dan menteri jajahan di negeri Belanda.
Pada bulan Februari 1938, Petisi Sutardjo dibicarakan di Tweede Kamer Belanda. Welter, menteri jajahan berpendapat bahwa jalan terbaik untuk perubahan Hindia Belanda adalah menjalankan asas desentralisasi, yakni memberi otonomi pada pemerintah daerah, dan meminta agar Petisi Sutardjo tidak dibicarakan lagi di dalam Tweede Kamer.
Gubernur Jenderal Belanda, Tjarda, memberi saran pada Welter untuk menolak petisi tersebut, sehingga konferensi (musyawarah) yang diusulkan Sutardjo tidak perlu diadakan.
Pada tanggal 16 November 1938, Ratu Belanda secara resmi menolak petisi tersebut dengan alasan bahwa bangsa Indonesia belum mampu memikul tanggungjawab sendiri.
Penolakan Petisi Sutardjo oleh Ratu Belanda merupakan pukulan hebat bagi kaum pergeralan nasional khususnya yang moderat. Kaum pergerakan kemudian menyusun barisan dalam wadah GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang menuntut "Indonesia Berparlemen" (Purwoko, ENI Vol. 13, 2003: 209-210).
Komentar
Posting Komentar