La Mappanyuki
Banyak raja-raja di luar Jawa tidak tertarik pada Revolusi. Mereka tidak suka pada terhadap kepmimpinan di Jakarta yang mereka anggap radikal, bukan ningrat, dan kadang-kadang bersifat Islam. Mereka juga tidak suka kepada pemuda Republik di wilayah mereka yang menjadi kekuatan Revolusi setempat. Akan tetapi, di Sulawesi Selatan , Raja Bone (Arumpone) La Mappanyuki, menyatakan dukungannya kepada Rebublik (Ricklefs, 2004 : 432).
LA MAPPANYUKKI SULTAN IBRAHIM, MATINROE RI GOWA, 1931-1946
Menjelang proklamasi, ia juga bertindak sebagai penasihat BPUPKI. Setelah Indonesia merdeka, ia menyatakan bahwa Kerajaan Bone merupakan bagian dari Republik Indonesia. Pada masa Republik Indonesia Serikat, ia ikut menuntut peleburan Negara Indonesia Timur ke dalam RI. Keteladanan dan keteguhan hati beliau dalam berjuang dilkuti oleh putra-putranya, yaitu Andi Pangeran Petta Rani dan Andi Abdullah Bau Maseppe.
Riwayat Hidup La Mappanyukki dan Putra-putranya.
La Mappanyukki Datu Lolo ri Suppa juga dikenal dengan nama Datu Silaja. Ibu dari La Mappanyukki bernama We Cella atau We Bunga Singkeru’ atau We Tenri Paddanreng Arung Alitta. Ia anak La Parenrengi Matinroe ri Ajang Benteng dengan isterinya We Tenriawaru Pancaitana Besse Kajuara. Sedangkan ayahnya bernama I Makkulawu Karaeng Lembang Parang Somba di Gowa Tu Mammenanga ri Bundu’na, anak dari We Pada Arung Berru, anak We Baego Arung Macege dengan suaminya Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. We Baego adalah anak dari La Mappasessu To Appatunru Arumpone Matinro E ri Laleng Bata.
Pada masa Perang Gowa tahun 1906 M, ketika Karaeng ri Gowa berperang dengan Kompeni Belanda setahun setelah tertangkapnya La Pawawoi yang kemudian diasingkan ke Bandung, Kompeni Belanda mengalihkan perangnya dari Bone ke Gowa. Ketika itu La Mappanyukki menjadi Datu Lolo ri Suppa, dia bersaudara dengan La Panguriseng Datu Alitta. Karena ayahnya adalah Karaeng ri Gowa, sehingga Suppa dengan Alitta melibatkan diri pada Perang Gowa untuk membantu ayahnya.
Gowa diperangi oleh Kompeni Belanda, karena Belanda menyangka kalau Dulung Awang Tangka Arung Labuaja salah seorang Panglima Perang Bone pada masa pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri bersembunyi di Gowa. Selain itu Belanda berkeyakinan apabila kedua Bocco (Bone dan Gowa) telah ditaklukkan, maka daerah-daerah lain di Celebes Selatan akan mudah ditaklukkan. Makanya ketika pusat pemerintahan Gowa berhasil diduduki, Sombae ri Gowa mengungsi ke Ajattappareng bersama pengikutnya. Dia menetap di Suppa dan Alitta karena tempat itu merupakan akkarungeng kedua anaknya yaitu La Panguriseng di Alitta dan La Mappanyukki di Suppa.
Perang Gowa berakhir dengan gugurnya Karaenge ri Gowa dan putranya yang bernama La Panguriseng Datu Alitta. Oleh karena itu Karaenge ri Gowa dinamakan Tu Mammenanga ri Bundu’na. Sementara La Mappanyukki ditawan oleh tentara Belanda dan diasingkan ke Selayar. Itulah sebabnya La Mappanyukki dinamakan pula sebagai Datu Silaja.
La Mappanyukki diangkat menjadi Mangkau’ di Bone menggantikan pamannya yaitu sepupu satu kali ayahnya, karena jelas bahwa dia adalah cucu dari Mappajungnge. Dia sengngempali dari turunan La Tenritappu Matinroe ri Rompegading. Dengan demikian Adat Tujuh Bone dianggap tidak salah pilih dalam menentukan pengganti La Pawawoi Karaeng Sigeri sebagai Mangkau’ di Bone.Pada Kamis 12 April 1931 La Mappanyukki dilantik menjadi Mangkau’ di Bone. Pada waktu itu Pembesar Kompeni Belanda di Celebes Selatan bernama Tuan L.J.J. Karon serta raja Belanda di Nederland waktu itu bernama ...
Setelah dilantik menjadi Mangkau’ di Bone La Mappanyukki meminta kepada pembesar kompeni Belanda untuk diberikan kembali rumah (salassa) milik La Pawawoi Karaeng Sigeri yang diambil oleh Belanda pada saat diasingkannya La Pawawoi ke Bandung. Permintaan tersebut dipenuhi oleh Pembesar Kompeni Belanda. Rumah itulah yang ditempati Arumpone La Mappanyukki bersama seluruh anggota adat Tujuh Bone sebagai tempat untuk melaksanakan pemerintahannya.
Pada masa pemerintahan La Mappanyukki, La Pabbenteng Arung Macege anak dari Baso Pagilingi Abdul Hamid dengan isterinya We Cenra Arung Cinnong, membunuh sepupu satu kalinya yang bernama Daeng Patobo saudara dari La Sambaloge Daeng Manabba Sulewatang Palakka. Oleh karena itu dia dikeluarkan dan diberhentikan sebagai Arung Macege. Kemudian Arumpone La Mappanyukki memanggil anaknya yang bernama La Pangerang yang pada waktu itu menjadi Bestuur Assistent atau Lanshap di Gowa untuk menggantikan La Pabbenteng sebagai Arung Macege. Anaknya yang bernama La Pangerang itulah yang sering menggantikan ayahnya kalau bepergian jauh atau pada saat ayahnya tidak berkesempatan.
Perang Dunia II.
Pada masa pemerintahan La Mappanyukki di Bone, Perang Dunia II pecah dan melibatkan seluruh negara-negara besar di Eropa. Negeri Belanda diserbu oleh Jerman, Ratu Belanda Wilhelmina melarikan diri bersama seluruh keluarganya ke Inggeris untuk minta perlindungan.
La Mappanyukki yang dikenal patuh dalam melaksanakan syariat Islam, sehingga pada tahun 1941 M. ia mendirikan Masjid Raya Watampone. La Mappanyukki mengundang pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan Resident Boslaar untuk meresmikan masjid tersebut.
Pada tanggal 8 Desember 1941 dampak Perang Dunia II juga terjadi di Celebes Selatan dengan datangnya Jepang bersekutu dengan Jerman dan Italia untuk melawan Belanda dan Amerika. Kemudian tahun 1942 Belanda bertekuk lutut kepada Jepang dan Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta menyerah.
Pada masa pemerintahan Jepang, nama Mangkau diganti dengan Bahasa Jepang menjadi Sutyoo dan adat menjadi Sutyoo Dairi. Sedangkan Arung Lili disebut Guntyoo dan Kepala Kampung disebut Sontyoo. Kedudukan Controleur Petoro Belanda diganti dengan Bunken Kanrikan, sedang kedudukan Assistent Resident diganti dengan Ken Kanrikan.
Jepang memerintah selama tiga setengah tahun membuat penderitaan dan kesengsaran bagi penduduk negeri. Hampir seluruh penduduk mengalami kekurangan makanan dan pakaian. Terjadilah kelaparan di mana-mana, perampokan juga tidak bisa ditanggulangi. Karena Jepang merasa semakin terdesak dan tidak mampu lagi untuk memperkuat perlengkapan perangnya, kemudian membujuk penduduk pribumi untuk ikut memperkuat tentaranya dengan membentuk Heiho yang dikenal di Jawa sebagai Pembela Tanah Air (PETA).
Dalam tahun 1944 Jepang menjanjikan kemerdekan kepada Bangsa Indonesia. Datanglah Ir. Soekarno dari Jawa ke Celebes Selatan ( Ujungpandang) untuk menjelaskan kepada penduduk tentang maksud dan tujuan kemerdekaan itu. Setelah Ir. Soekarno kembali ke Jawa, Jepang juga mulai menarik diri dari kegiatan pemerintahan. Diangkatlah La Pangerang Arung Macege untuk menempati kedudukan Jepang yang disebut Ken Kanrikan.
Mendukung Republik.
Pada awal Kemerdekan Indonesia banyak orang yang ragu dan sulit untuk menentukan pendirian, dengan alasan sangat berbahaya dari tekanan Tentara Australia yang bernama NICA ( Nederland Indische Civil Administration). Namun bagi Arumpone La Mappanyukki dengan tegas menyatakan tetap berdiri di belakang Republik Indonesia yang di peroklamirkan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Adapun anaknya yang bernama La Pangerang yang pernah menjadi Arung Macege, pada masa pemerintahan Jepang diangkat sebagai Ken Kanrikan setingkat dengan Petoro Besar atau Assistent Residen di zaman Belanda. Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, ditunjuk bersama Dr. Ratulangi pergi ke Jakarta sebagai utusan Indonesia bagian timur dalam mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia. Tetapi setelah kembali dari Jawa, ia ditangkap oleh tentara NICA dan diasingkan ke Tanah Toraja bersama ayahnya La Mappanyukki.
Setelah proklamasi kemerdekan 17 Agustus 1945 dikumandangkan oleh Soekarno dan Hatta, La Pangerang dikembalikan ke Bone untuk menjadi Bupati Kepala Daerah Bone Lama yang meliputi Tellumpoccoe (Bone, Wajo, Soppeng) . Kemudian La Pangerang diangkat menjadi Residen bersama Karaeng Pangkajene yang bernama Burhanuddin, ketika Lanto Daeng Pasewang menjadi Gubernur Sulawesi. Setelah masa jabatan Lanto Daeng Pasewang berakhir, maka Pangerang yang nama lengkapnya Pangerang Daeng Rani menggantikannya menjadi Gubernur Sulawesi.
La Pangerang Daeng Rani kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama Petta Lebba, anak La Panguriseng saudara La Mappanyukki dengan isterinya I Puji. Dari perkawinannya itu, lahirlah: pertama Abdullah Petta Nyonri, kedua We Cina atau Mariama, ketiga We Ralle, keempat We Tongeng. Kelima I Kennang. Kemudian La Pangerang Daeng Rani kawin lagi dengan I Suruga Daeng Karaeng, anak Karaeng Parigi.
Sedangkan anak La Mappanyukki yang bernama Abdullah Bau Massepe, inilah yang menjadi Datu Suppa. Akan tetapi dimasa perang kemerdekan, Abdullah Bau Massepe dibunuh oleh serdadu Belanda yang bernama Westerling dalam peristiwa Korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan. Sebelumnya Abdullah Bau Massepe kawin dengan We Soji Petta Kanjenne. Anak La Mappanyukki dengan isterinya Besse Bulo adalah I Rakiyah Bau Baco Karaeng Balla Tinggi. Inilah yang menjadi Addatuang Sawitto. Kawin dengan La Makkulawu anak dari We Mappasessu Datu Walie, dengan suaminya yang bernama La Mappabeta.
Selanjutnya anak La Mappanyukki dari isterinya We Mannenne Karaeng Balangsari, yaitu We Tenri Paddanreng. Inilah yang kawin di Luwu dengan La Jemma atau La Patiware Pajung ri Luwu.
La Mappanyuki Menjadi Bupati Bone.
Ketika La Pangerang Daeng Rani menjadi Gubernur Sulawesi, pemerintah pusat membagi Sulawesi menjadi dua provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Utara.Kemudian kewedanan juga diubah menjadi kabupaten. Oleh karena itu Kabupaten Bone Lama (Bone, Wajo, Soppeng) dipecah menjadi tiga kabupaten, yaitu: 1. Kabupaten Bone dengan ibu kotanya Watampone. 2. Kabupaten Wajo dengan ibu kotanya Sengkang, dan 3. Kabupaten Soppeng dengan ibu kotanya Watang Soppeng. Pembagian wilayah itu merupakan realisasi dari UU No. 4 Tahun 1957 sebagai pembubaran Daerah Bone Lama meliputi Daerah Bone Baru, yang disebut Zelfbestuur (Swapraja Bone), sehingga menjadi Bone Baru dengan ibu kotanya Watampone.
Pada waktu itu, La Mappanyukki dikembalikan ke Bone untuk menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bone. Setelah sampai masa jabatan dan pensiun, maka kembalilah La Mappanyukki ke Jongaya. Pada tanggal 18 Februari 1967, La Mappanyukki meninggal dunia dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Panaikang Makassar (Teluk Bone, 11 April 2018).
Berdasarkan SK Presiden: Keppres No. 089/TK/2004, Tgl. 5 November 2004, Andi Mappanyuki diangkat sebagai pahlawan nasional (Wikipedia).
Komentar
Posting Komentar