Sri Sultan Hamengkubuwono IX Mendukung Republik
“Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, pertama-tama saya adalah dan tetap seorang Jawa.” (Pidato Sultan pada penobatannya, 18 Maret 1940).
Yogyakarta menyatakan berada di belakang Republik sejak awal berdirinya. Untuk mengenang Sri Sultan dan Sri Paduka, saya sampaikan biografi singkat keduanya. Kali ini Sri Sultan terlebih dahulu.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1912-1988).
Hamengkubuwono IX dilahirkan dengan nama kecil Gusti Raden Mas Dorodjatun pada hari Sabtu Pahing tanggal 12 April 1912 di Yogyakarta. Waktu ia dilahirkan, ayahnya belum dinobatkan menjadi Sultan Hamengku Buwono VIII. Ibunya adalah Raden Ayu Kustilah atau Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom (putri Pangeran Mangkubumi), yang telah mempunyai kedudukan resmi sebagai garwa padmi (istri utama) meskipun kemudian hidup terpisah dari suaminya.
Di Luar Keraton.
Sejak usia empat tahun Dorojatun dididik di luar lingkungan keraton, sesuai dengan kehendak ayahnya. Semua saudara laki-laki Dorojatun juga dititipkan pada keluarga Belanda di luar keraton oleh sang ayah. Tujuan ayahnya ialah agar semua anak laki-lakinya memperolah pengalaman hidup wajar, tidak termanja. Mula-mula Dorojatun dititipkan pada keluarga Mulder, kepala sekolah NHJJS (Neutral Holland Javaanse Jongen School). Di dalam keluarga ini Dorodjatun mendapatnama panggilan berbau Belanda : Henki.
Dorodjatun memulai pendidikan formalnya di sekolah Froebel, dan pada usia enam tahun ia memasuki sekolah dasar Eerste Eropese Lagere School B (ELS) di Secodiningratan. Setahun kemudian ia pindah ke ELS di Pakemweg (sekarang Jalan Kaliurang), dan indekosnya pun pindah ke keluarga Cock. Setelah menamatkan pendidikan dasarnya, Dorodjatun melanjutkan pelajarannya di HBS (Hogere Burger School) di Semarang. di kota itu ia mondok pada keluarga Voskuil, kepala penjara di Mlaten. Tetapi ketika Dorodjatun baru setahun menempuh sekolahnya di HBS di Semarang, ayahnya (Sri Sultan Hamengku Buwono VIII), memindahkannya ke Bandung karena udara Semarang dinilai tidak cocok untuk kesehatannya. Di HBS Bandung Dorodjatun mondok di keluarga De Boer, seorang letnan kolonel. Belum juga sempat menamatkan HBS, ayahnya memutuskan agar ia melanjutkan sekolah di Belanda.
Sekolah ke Belanda.
Pada tahun 1930 Dorodjatun bersama kakaknya, B.R.M. Tinggarto (Pangeran Prabuningrat), berangkat ke negeri Belanda. Di Belanda Dorodjatun memasuki sekolah Gymnasium di Haarlem, dan mondok di rumah direktur sekolah itu, Ir. W.C.G. Maurik Broekman. Setamat dari sekolah ini pada tahun 1934, Dorodjatun melanjutkan studinyaa ke Rijksuniversiteit di Leiden. Ia mengambil jurusan Indologi, yakni gabungan antara ilmu ekonomi dan hukum. Jurusan ini biasanya menjadi pilihan mereka yang akan terjun ke dunia pemerintahan di Hindia Belanda. Konon Dorodjatun sangat menyukai kuliah hukum tata negara. Tetapi ia tidak sempat menyelesaikan skripsinya dalam bidang studi itu karena dipanggil pulang ke Jawa oleh ayahnya yang mulai sakit-sakitan. Sultan Hamengkubuwono VIII mengkhawatirkan keselamatan kelima putranya di Belanda, karena memanasnya situasi polkam di Belanda menjelang PD II.
Pusaka Joko Piturun.
Dengan menumpang kapal barang Dempo, pada tanggal 18 Oktober 1939 Dorodjatun tiba kembali di Tanjung Priok, Jakarta. Ayahnya sengaja menyambut kedatangannya di Batavia. Ia langsung menghadap ayahnya yang menginap di Hotel Des Indes. Di hotel inilah Dorojatun menerima keris pusaka Joko Piturun dari ayahnya. Pemberian keris pusaka keraton ini merupakan isyarat bahwa sultan yang berkuasa telah memilih calon penggantinya.
Sultan mangkat.
Rombongan Sultan dan keluarganya kembali ke Yogyakarta dengan berkereta api. Dalam perjalanan pulang itu Sultan Hamengkubuwono VIII jatuh sakit. Dari Stasiun Tugu Yogya, Sultan langsung dibawa ke rumah sakit Onder de Bogen (R.S. Panti Rapih). Penyakit diabetes yang diderita sultan itu ternyata sudah sangat parah. Pada hari Minggu Kliwon 22 Oktober 1939 Sultan Hamengkubuwono VIII mangkat.
Kontrak Politik.
Dorodjatun yang ketika itu baru berusia 27 tahun ditunjuk oleh Gubernur Dr. Lucian Adam menjadi ketua panitia pemerintahan keraton, menjelang pengangkatan sultan baru. Seperti halnya para calon sultan terdahulu, Dorodjatun juga membuat perjanjian politik yang baru dengan penjajah Belanda. Dalam perundingan itu pemerintah Belanda diwakili oleh Dr. Lucian Adam, gubernur daerah Yogyakarta. Ternyata perundingan itu berjalan sangat alot. Ada tiga tuntutan Adam yang tidak dapat diterima oleh Dorojatun. Pertama, kedudukan patih yang diusulkan Belanda harus mengemban dwikesetiaan, kepada Sultan dan pemerintah Belanda. Dorodjatun menghendaki patih yang hanya setia pada keraton. Kedua, separo anggota dewan penasihat harus ditentukan Belanda dan separo lagi oleh Sultan, tetapi harus disetujui oleh pemerintah Belanda. Dorojatun menganggap persetujuan dari pemerintah Belanda tidak perlu. Ketiga, bahwa prajurit keraton merupakan bagian dari tentara Hindia Belanda (KNIL), tetapi dibayar oleh pihak kesultanan. Ini dianggap tidak adil oleh Dorojatun.
Akhirnya setelah empat bulan berunding, Dorojatun tiba-tiba bersedia menandatangani kontrak itu. Konon, pada saat itu ia hampir berputus asa itu ia mendapat wisik (bisikan halus) dari leluhurnya yang memeberitahukan agar perjanjian itu ditandatangani saja, sebab Belanda tidak lama lagi akan pergi.
Penobatan
Kontrak politik pun langsung ditandatangani dalam suatu upacara resmi tanggal 12 Maret 1940. Meski pada saat itu Dorodjatun belum dinobatkan menjadi sultan, naskah perjanjian itu mencantumkan Sultan Hamengkubuwono IX. Seminggu setelah penandatanganan itu, pada hari Senin Pon 18 Maret 1940 upacara penobatan Sultan Hamengkubuwono IX diselenggarakan dengan segala kebesarannya. Dr. Lucian Adam atas nama pemerintah Belanda pada hari itu melakukan dua kali penobatan. Pertama ia menobatkan Gusti Raden Mas Dorodjatun menjadi putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram. Lima menit kemudian Adam menobatkan putra mahkota menjadi Sultan Yogyakarta dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Inggalogo Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalipatullah Ingkang Kaping IX.
Zaman Jepang.
Ketika Perang Pasifik mulai berkobar dan kedudukan pemerintahan Hindia Belanda mulai terancam, Sultan dengan tegas menolak bujukan Gubernur Dr. Lucien Adam untuk mengungsi ke Australia. Kepada pimpinan balatentara Jepang yang ada di Yogyakarta, Sultan juga bersikap tegas. Ia menyatakan bahwa segala sesuatu menyangkut Kesultanan Yogyakarta harus dibicarakan terlebih dahulu . Ia pun mulai membersihkan sisa-sisa kekusaan pemerintah Hindia Belanda di kepatihan. Pepatih Dalem yang sebelumnya adalah pegawai pemerintah Hindia Belanda diperintahkan untuk selanjutnya bertindak atas perintah Sultan. Jepang pun kemudian mengakui kekuasaan Sultan itu dan mengukuhkan kedudukannya sebagai Sultan Yogyakarta. Pengukuhan itu dilakukan oleh Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang di Jakarta pada 1 Agustus 1942. Dalam kedudukan sebagai kepala pemerintahan daerah istimewa (kachi), Sultan dapat menjalankan pemerintahan secara lebih aktif dan langsung di wilayahnya sendiri. Berbagai perubahan dilakukan terutama terhadap struktur kepatihan dan desa.
Dalam penjajahan Jepang yang lebih kejam daripada Belanda, rakyat Yogyakarta lebih beruntung di banding rakyat di daerah lain. Sultan melakukan berbagai cara untuk melindungi rakyatnya. Sultan bahkan melakukan manipulasi statistik mengenai jumlah penduduk, keadaan alam maupun hasil pertanian dan peternakan untuk menggambarkan penduduk Yogyakarta benar-benar miskin hingga tidak bisa diperas kekayaannya. Sultan bahkan mendapat bantuan untuk membangun proyek irigasi dengan tujuan untuk meningkatkan hasil pertanian agar bisa disumbangkan kepada pemerintah Jepang. Tujuan sultan yang sesungghunya adalah agar rakyat sibuk bekerja keras membangun proyek irigasi di daerah sendiri dan tidak bisa dijadikan romusha.
Dalam masa pendudukan Jepang itu dua proyek irigasi berhasil diselesaikan. Pertama, dibuat saluran dan bangunan pintu-pintu air untuk mengatur air hujan dari daerah tergenang air ke laut selatan di daerah Adikarto. Kedua, diselesaikan saluran dan bangunan terkait saluran dari Sungai Progo untuk mengairi daerah kering di wilayah Sleman, yang dikenal dengan nama Selokan Mataram.
Proklamasi.
Sehari setelah mendengar diproklamasikannya Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX bersama dengan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim telegram ucapan selamat dan pernyataan dukungan terhadap Republik Indonesia kepada Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan ex Ketua BPUPK, Dr. Radjiman Wedyodiningrat . Tanggal 19 Agustus 1945, Sri Sultan dan Sri Paku Alam mengadakan sidang istimewa di gedung Sono Budoyo. Salah satu keputusan penting yang diperoleh dari sidang tersebut adalah dukungan penuh terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia, dan tunduk pada perintah dari Jakarta, sebagai pusat pemerintahan. Pada tanggal 20 Agustus 1945, Sri Sultan dan Sri Paku Alam mengirim surat ucapan selamat atas terpilihnya Soekarno dan Moh. Hatta sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Sri Sultan dan Sri Paku Alam juga menyatakan berdiri di belakang kepemimpinan mereka berdua. Pernyataan tersebut kemudian disusul dengan maklumat resmi berisi pernyataan penggabungan diri Kesultanan Yogyakarta ke dalam pemerintahan Indonesia, tertanggal 5 September 1945 atas persetujuan Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta. Amanat terpisah ini kemudian diikuti oleh amanat bersama yang dikeluarkan pada tanggal 30 Oktober 1945.
Sikap tegas Sultan Yogya itu disambut Presiden Sukarno dengan mengirimkan dua orang menterinya ke Yogyakarta untuk menyampaikan piagam kepercayaan republik terhadap Sultan Hamengkubuwono IX. Sultan juga selalu menjalin kontan dengan militer sejak ia memberikan dukungan kepada republik. Pada waktu itu Urip Sumohardjo dan kawan-kawan mempersiapkan markas tentaranya di Yogyakarta, karena Jakarta tidak aman. Sultan menawarkan Bangsal Kepatihan di lingkungan keratonnya menjadi markas.
Ibukota Negara Pindah ke Yogyakarta.
Pemimpin rebublik di Jakarta memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946. Presiden, wakil presiden, dan para pemimpin republik lainnya datang ke Yogyakarta dengan berkereta api. Mereka disamput oleh sultan di Stasiun Tugu Yogyakarta. Mulai saat itu Yogyakarta menjadi ibukota Republik.
Sultan Hamengku Buwono IX untuk pertama kalinya menjadi anggota kabinet dengan menjabat sebagai Menteri \Negara Urusan Keamanan dalam Kabinet Sjahrir III Tahun 1946. Sejak saat itu ia hampir tidak pernah absen dalam dalam berbagai jabatan kabinet hingga akhirnya menjadi Wakil Presiden mendampingi Presiden Suharto pada tahun 1973.
Kesetiaan Pada Republik.
Sultan banyak membantu dana untuk mendukung pemerintah Republik Indonesia. Tidak sedikit kekayaan keraton Yogyakarta yang disumbangkannya, untuk membiayai belanja para pegawai RI agar mereka setia kepada Republik.
Sementara itu Belanda dengan berbagai cara berusaha membujuk Sultan agar mau bekerja sama. Belanda menjanjikan akan menambah wilayah kesultanan dengan daerah Kedu dan Banyumas. Waktu suapan ini tidak berhasil, Belanda menawarkan seluruh Pulau Jawa dan Madura dengan Sultan sebagai “wali negara”. Seorang direktur Bank dikirimkan untuk membujuk Sultan dengan imbalan berapa pun yang dikehendaki Sultan untuk keperluan keraton. Sejumlah saham KLM juga ditawarkan, tetapi semuanya ditolak. Namun semua bujukan itu gagal.
Serangan Umum 1 Maret 1949.
Setelah mendengar bahwa di akhir Februari 1949 masalah Indonesia akan dibicarakan oleh PBB, Sultan menyadari perlunya membangkitkan semangat rakyat dan menarik perhatian dunia. Ia lalu mengirim kurir menemui Panglima Besar Angkatan Bersenjata, Jenderal Sudirman, guna meminta persetujuan melaksanakan siasatnya dan menemui komandan gerilya. Dalam salah satu ruangan keraton, Sultan berunding dnegan komandan gerilya Letkol Soeharto, yang berhasil memasuki keraton dengan menyamar sebagai abdi dalem. Pertemuan itu terjadi pada tanggal 13 Februari 1949. Dalam pertemuan itu Sultan menanyakan kesanggupan Soeharto untuk mempersiapkan serangan umum dalam waktu dua minggu.
Serangan umum dilakukan pada tanggal 1 Maret 1949. Dalam serangan itu gerilyawan Republik berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam. Keberhasilan ini sangat penting artinya, karena membuktikan pada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih ada. Tetapi akibatnya, siang hari tanggal 1 Maret 1949 itu deretan tank-tank Belanda berbaris dari utara menuju keraton yang pintu gerbangnya tertutup rapat , sesuai dengan instruksi Sultan. Gubernur Militer Van Langen dan Residen Stok datang ke keraton dan menuduh bahwa keraton terlibat dalam serangan umum. Setelah itu Jenderal Mayer datang menemui Sultan pada tanggal 3 Maret 1949.
Mayer langsung menuduh bahwa keraton telah menjadi sarang ekstrimis. Ia juga mengatakan akan menggeledah keraton untuk mencari gerilyawan yang diduga bersembunyi di dalamnya. Sultan tidak gentar, bahkan ia balik mempertanyakan penggeledahan itu, “dan sekarang hal yang sama bisa pula tuan lakukan terhadap keraton saya, karena tuan bersenjata lengkap sedangkan saya tidak. Tetapi sebelum tuan melakukannya, tuan harus membunuh saya terlebih dulu,” kata Sultan. Jawaban tegas dan tenang itu membuat Mayer mundur.
Upaya Diplomatik.
Sementara gerilyawan melancarkan perangnya, upaya diplomatik terus digarap. Perundingan demi perundingan terus ditempuh hingga akhirnya titik keberhasilan tercapai. Tentara Belanda harus mundur dari ibukota RI Yogyakarta, dan pelaksanaann penarikan mundur itu selesai pada tanggal 30 Juli 1949. Sejak saat itu pula tanggung jawab pemerintahan dan keamanan di Yogyakarta dipegang kembali oleh Sultan Hamangku Buwono IX.
Penyerahan Kedaulatan
Pada tanggal 6 Juli 1949 Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta serta para pemimpin Republik lainnya kembali dari pengasingan mereka di Bangka. Sidang kabinet yang pertama setelah kembali ke Yogya oada tanggal 13 Juli 1949 itu memutuskan mengangkat Sultan menjadi Menteri Pertahanan sekaligus bertugas sebagai Perdana Menteri. Konferensi Meja Bundar di Den Haag diadakan dan persetujuan dicapai. Sebagai kelanjutan dari persetujuan itu, pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Upacara penyerahan kedaulatan dilakukan di Amsterdam , pihak Indonesia diwakili oleh Muhammad Hatta; dan pada saat yang bersamaan di Indonesia upacara yang sama diwakili oleh Sultan Hamengku Buwono IX.
Sasaran Penculikan.
Pada tahun 1949, semasa menjadi Menteri Pertahanan dalam Kabinet Hatta, Hamengku Buwono IX menjadi sasaran utama penculikan yang dilakukan oleh Angkatan Perang Ratu Adil pimpinan Kapten Raymond Westerling. Waktu komplotan makar ini digulung, otak penculikan itu ternyata Sultaan Hamid II dari Pontianak , yang di masa kecil sebenarnya merupakan salah seorang sahabat Sultan sendiri.
Sultan mengundurkan diri dari jabatan Menteri Pertahanan karena ia tidak setuju dengan kebijakan Presiden Sukarnodalam penyelesaian masalah Peristiwa 17 Oktober 1952. Dalam peristiwa yang melibatkan Kolonel A.H. Nasution itu sebenarnya Sultan perpihak pada tentara, dan menganggp peristiwa itu bukan suatu kudeta melainkan protes.
Pramuka.
Sejak duduk di Sekolah Dasar, sebelum menjadi Sultan, Hamengku Buwono IX , sudah menjadi pandu Nederland Indische Padvinders Club. Sejak tahun 1950 ia mulai aktif pada organisasi kepanduan. Waktu itu jumlah organisasi kepanduan di Indonesia lebih dari 100. Bersama tokoh kepanduan lainnya Sultan berusaha mempersatukan semua organisasi tersebut. Maka terbentuklah federasi organisasi kepanduan putra dan putri. Sultan menjadi Ketua Ikatan Pandu Putra Indonesia (Ippindo).
Pada tahun 1960 Presiden Sukarno memerintahkan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Ir. Priyono, untuk merancang bentuk kepanduan nasional. Oleh sebagian besar tokoh kepanduan, langkah-langkah yang diambil Priyono dianggap tak sesuai untuk kepanduan nasional. Priyono, misalnya, merencanakan nama Pionir Muda Indonesia, yang serupa benar dengan kepanduan di negara-negara komunis. Ia juga merencanakan mengganti syal pandu dengan warna merah, seperti yang dipakai oleh pandu-pandu negara komunis.
Untuk mencegah terlaksananya rencana Priyono tersebut, Ippindo pun membuat rencana ke arah perwujudan suatu kepanduan nasional. Rencana inilah yang akhirnya terlaksana, dan terbentuklah organisasi kepanduan bernama Pramuka. Kata Pramuka diambil dari kata poro muko, yakni sebutan bagi pasukan terdepan dalam suatu pertempuran, dan diusulkan oleh Hamengku Buwono IX. Kepanjangan Praja Muda Karena tercetus kemudian, setelah nama Pramuka disepakati bersama.
Orde Baru.
Pada akhir tahun 1966, ketika Letnan Jenderal Soeharto menjabat sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera, Sultan Hamengku Buwono IX menjabat Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan . Jabatan itu merupakan bidang tugas yang berat, kerana pada masa itu ekonomi Indonesia nyaris bangkrut . Tugas utama Hamengku Buwono IX dalam jabatannya itu adalah mencari danaa dari luar negeri. Saat itu Indonesia sendang dimusuhi negara-negara komunis blok Timur karena membubarkan PKI. Di pihak lain Blok Barat pun saat itu tidak menyukai Indonesia karena ucapan Presiden Sukarno “go to hell with your aids” setahun sebelumnya. Keterpencilan Indonesia diperparah dengan keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB, IMF serta Bank Dunia.
Pada bulan Mei 1966 Sultan pergi ke Jepang dan berhasil mendapat pinjaman 30 juta dolar AS. Wnam bulan kemudian ia pergi ke negara-negara Eropa Barat dengan misi yang sama. Hasilnya pinjaman 170 juta dolar AS.
Dalam merintis pertumbuhan hubungan yang wajar antara Indonesia dan Belanda, perang Sultan amat besar. Waktu itu Menteri Luar Negeri Belanda , Joseph Luns, menilai masalah keuangan dalam protokol pemulihan kedaulatan RI tahun 1949 belum beres. Luns juga menuntut ganti rugi atas beberapa perusahaan Belanda yang dinasionalisasikan oleh Indonesia dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat, sebesar dua miliar gulden. Sultan yang memimpin delegasi itu saat itu hanya bersedia membayar 200 juta gulden saja. Ia memperlihatkan sikap keras di meja perundingan namun luwes dalam lobi. Sikapnya ini aknhirnya membuahkan kesepakatan angka 650 juta gulden, yang akan dibayat oleh Indonesia selama 30 tahun.
Hasil perundingan itu selain memuaskan kedua negara, juga membuka lembaran batu dalam hubungan baik antara bekas negara penjajah dan bekas jajahannya. Belanda akhirnya malah menjadi negara utama IGGI (Inter-governmental Group for Indonesia), kelompok negara donor bagi Indonesia.
Sekitar tahun 1977 Sultan menyatakan keinginannya mundur dari pencalonannya sebagai wakil presiden kedua kalinya. Banyak kalangan mendesak ia tidak meninggalkan jabatan tersebut, namun tampaknya ia memegang prinsip “sabda pandita ratu,” sekali diikrarkan pantang dicabut kembali. Dan pada tahun 1978 ketika jabatannya sebagai wakil presiden berakhir, ia pun beristirahat dari tugas-tugas dalam pemertintahan nasional.
Mangkat.
Sultan Hamengku Buwono IX mangkat karena serangan jantung pada hari Senin Wage, 3 Oktober 1988, sewaktu hendak memeriksakan kesehatan matanya di AS. Rasa haru merata di setiap pelosok. Sekitar sejuta orang mengantar jenazahnya ke kompleks pemakaman Raja Mataram di Imogiri. Sultan meninggalkan lima istri dan 22 orang putra putri. Rakyat Indonesia mengenangnya bukan hanya sebagai Sultan yang bijak melanikan juga sebagai pemimpin bangsa yang patut diteladani karena kesederhanaan dan kejujurannya.
Sultan mempunyai perhatian besar pada bidang seni tari. Selain sebagai penari yang baik, ia juga menciptakan tari Golek Menak.
Saya sempat berjumpa Sultan dan Bu Norma di Istana Gebang Blitar sekitar tahun 1982. Beliau berkeliling kota naik becak berdua.
Sumber : (1) Hisyam dalam ENI Vol. 6, 2004 : 317-319; (2) ---, Majalah Tempo, Hari-hari Hamengkubuwono IX, 1988; (3) Room dkk., Tahta Untuk Rakyat.Editor : Atmakusumah, 19
Komentar
Posting Komentar