Rapat Raksa Di Lapangan Ikada
Pada tanggal 11 dan 17 September 1945, rapat-rapat raksasa diadakan diselenggarakan di Surabaya. Pada tanggal 19 September 1945 rapat raksasa diadakan di Jakarta (Ricklefs, 2004 : 433). Mengenai rapat raksasa di Surabaya tanggal 11 dan 17 September 1945 belum saya temukan informasinya meski seingat saya saya sempat menuliskannya. Adapun mengenai rapat raksasa di Lapangan Ikada cukup banyak informasi yang bisa didapatkan.
19 September 1945. Rapat Raksasa di Lapangan Ikada Jakarta. Presiden Sukarno menjelaskan kepada militer Jepang bahwa dia harus menentramkan rakyat yang sejak pagi menanti kedatangannya. Kalau dia dihalangi maka bisa saja akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan menyulitkan tentara Jepang sendiri. Ahirnya rombongan diizinkan melanjutkan perjalanan menuju lautan manusia yang mengelu-elukan para pemimpin mereka. Lautan manusia ini dilengkapi ribuan bendera Merah Putih yang berkibar dengan megahnya yang tidak terbayangkan pada saat sebelumnya pada masa pendudukan Jepang. Tampak beberapa spanduk besar bertuliskan antara lain “ Kalaoe ada orang bertanya berapakah jumlah moe, maka jawablah : kami satoe" (dari berbagai sumber).
Rombongan Presiden lebih dahulu menuju tribune utama. Dan pada saatnya sebagaimana harapan rakyat maka naiklah Presiden Sukarno ke atas podium kayu setinggi kurang lebih tiga meter dikawal ajudan dan seorang anggota polisi. Ketika itulah terdengarlah teriakan “Merdeka..Merdeka…Merdeka,” yang sambung menyambung. Maka Presiden pun berpidato dimuka lautan rakyat yang mulai senyap tanpa bersuara. Antara lain beliau berkata : “Kita sudah memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi ini tetap kami pertahankan, sepatahpun tidak kami cabut. Tetapi dalam pada itu, kami sudah menyusun suatu rancangan. Tenang, tentram, tetapi tetap siap sedia menerima perintah yang kami berikan. Kalau saudara-saudara percaya kepada Pemerintah Republik Indonesia yang akan mempertahankan proklamasi kemerdekaan itu walaupun dada kami akan robek karenanya, maka berikanlah kepercayaan kepada kami dengan tunduk kepada perintah-perintah kami dengan disiplin. Sanggupkah saudara-saudara? “
Kerumunan rakyat menjawab serentak, “Sangguuup”.
Lalu Presiden melanjutkan, “Perintah kami hari ini, marilah sekarang pulang semua dengan tenang dan tenteram, ikutilah perintah Presidenmu sendiri tetapi dengan tetap siap sedia sewaktu-waktu. Saya tutup dengan salam nasional….. Merdeka !” .
"Merdekaaaaa" sahut rakyat membahana.
Menurut Dzulfaroh dan Weshaswary, sekitar 300.000 orang berkumpul di Lapangan Ikada (sekarang Monas). Mereka yang berkumpul di Lapangan Ikada memiliki satu tekad bulat, yaitu mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru berumur satu bulan. Mantan Wakil Presiden Indonesia, Adam Malik, dikutip dari Harian Kompas, 21 September 1979, menganggap rapat raksasa itu sebagai genderang perang melawan tentara Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan. Hal itu bukan tanpa alasan. Rapat tersebut mampu membakar semangat rakyat Indonesia, sehingga perang melawan Belanda pun tak terhindarkan di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Peristiwa 10 November di Surabaya (kompas.com)
Latar belakang
Dikutip dari Harian Kompas, 20 September 1996, pada hari itu, Lapangan Ikada bak lautan manusia, dengan balutan warna-warni merah putih. Sebanyak 300.000 orang berkumpul di lapangan itu. Sebagai perbandingan, jumlah penduduk Jakarta waktu sekitar 400.000 jiwa.
Rapat tersebut diinisiasi oleh para pemuda yang cemas dan khawatir ketika tentara Sekutu akan membentuk markas besar di Jakarta. Tak hanya itu, para pemuda ini juga marah ketika mengetahui kapal berbendera Sekutu akan berlabuh di Tanjung Priok.
Soebagijo Ilham Notodidjojjo dalam Harian Kompas, 17 September 1976, menyebutkan, tak ada perubahan yang terjadi setelah sebulan sejak Proklamasi Kemerdekaan RI. Meski kabinet telah dibentuk dan tak ada lagi lagu Kimigayo setiap pagi, tetapi perubahan lainnya belum terasa. Berkumpulnya ratusan ribu orang itu berkat kabar yang beredar dari mulut ke mulut. Awalnya, rapat direncanakan pada 17 September 1945, tepat satu bulan setelah kemerdekaan. Akan tetapi, karena adanya ancaman dari tentara Jepang dan Sekutu, rapat raksasa di Lapangan Ikada pun akhirnya diundur menjadi 19 September 1945. Meski larangan mengadakan rapat raksasa telah dikeluarkan oleh tentara Jepang, namun rakyat tetap membanjiri Lapangan Ikada dengan penuh semangat.
Mereka berasal dari berbagai wilayah Jakarta da sekitarnya, seperti Penjaringan, Tanjungpriok, Mangga Besar, Senen, Tanahabang dan Jatinegara. Bahkan banyak dari mereka yang berasal Bekasi, Bogor, Tangerang, dan Banten Sebagian besar peserta datang menggunakan kereta api dan berhenti di Stasiun Gambir. Mereka datang dengan membawa poster-poster dan bendera merah putih. Tentara Jepang pun melakukan penjagaan ketat dengan senjata lengkap. Suasana yang tegang dan mencekam itu tak mampu membuat rakyat gentar. Mereka menunjukkan satu semangat yang sama kepada dunia, yaitu Bangsa Indonesia sudah merdeka dan berdaulat!
19 September 1945. Rapat Raksasa di Lapangan Ikada Jakarta. Presiden Sukarno menjelaskan kepada militer Jepang bahwa dia harus menentramkan rakyat yang sejak pagi menanti kedatangannya. Kalau dia dihalangi maka bisa saja akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan menyulitkan tentara Jepang sendiri. Ahirnya rombongan diizinkan melanjutkan perjalanan menuju lautan manusia yang mengelu-elukan para pemimpin mereka. Lautan manusia ini dilengkapi ribuan bendera Merah Putih yang berkibar dengan megahnya yang tidak terbayangkan pada saat sebelumnya pada masa pendudukan Jepang. Tampak beberapa spanduk besar bertuliskan antara lain “ Kalaoe ada orang bertanya berapakah jumlah moe, maka jawablah : kami satoe" (dari berbagai sumber).
Rombongan Presiden lebih dahulu menuju tribune utama. Dan pada saatnya sebagaimana harapan rakyat maka naiklah Presiden Sukarno ke atas podium kayu setinggi kurang lebih tiga meter dikawal ajudan dan seorang anggota polisi. Ketika itulah terdengarlah teriakan “Merdeka..Merdeka…Merdeka,” yang sambung menyambung. Maka Presiden pun berpidato dimuka lautan rakyat yang mulai senyap tanpa bersuara. Antara lain beliau berkata : “Kita sudah memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi ini tetap kami pertahankan, sepatahpun tidak kami cabut. Tetapi dalam pada itu, kami sudah menyusun suatu rancangan. Tenang, tentram, tetapi tetap siap sedia menerima perintah yang kami berikan. Kalau saudara-saudara percaya kepada Pemerintah Republik Indonesia yang akan mempertahankan proklamasi kemerdekaan itu walaupun dada kami akan robek karenanya, maka berikanlah kepercayaan kepada kami dengan tunduk kepada perintah-perintah kami dengan disiplin. Sanggupkah saudara-saudara? “
Kerumunan rakyat menjawab serentak, “Sangguuup”.
Lalu Presiden melanjutkan, “Perintah kami hari ini, marilah sekarang pulang semua dengan tenang dan tenteram, ikutilah perintah Presidenmu sendiri tetapi dengan tetap siap sedia sewaktu-waktu. Saya tutup dengan salam nasional….. Merdeka !” .
"Merdekaaaaa" sahut rakyat membahana.
Menurut Dzulfaroh dan Weshaswary, sekitar 300.000 orang berkumpul di Lapangan Ikada (sekarang Monas). Mereka yang berkumpul di Lapangan Ikada memiliki satu tekad bulat, yaitu mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru berumur satu bulan. Mantan Wakil Presiden Indonesia, Adam Malik, dikutip dari Harian Kompas, 21 September 1979, menganggap rapat raksasa itu sebagai genderang perang melawan tentara Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan. Hal itu bukan tanpa alasan. Rapat tersebut mampu membakar semangat rakyat Indonesia, sehingga perang melawan Belanda pun tak terhindarkan di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Peristiwa 10 November di Surabaya (kompas.com)
Latar belakang
Dikutip dari Harian Kompas, 20 September 1996, pada hari itu, Lapangan Ikada bak lautan manusia, dengan balutan warna-warni merah putih. Sebanyak 300.000 orang berkumpul di lapangan itu. Sebagai perbandingan, jumlah penduduk Jakarta waktu sekitar 400.000 jiwa.
Rapat tersebut diinisiasi oleh para pemuda yang cemas dan khawatir ketika tentara Sekutu akan membentuk markas besar di Jakarta. Tak hanya itu, para pemuda ini juga marah ketika mengetahui kapal berbendera Sekutu akan berlabuh di Tanjung Priok.
Soebagijo Ilham Notodidjojjo dalam Harian Kompas, 17 September 1976, menyebutkan, tak ada perubahan yang terjadi setelah sebulan sejak Proklamasi Kemerdekaan RI. Meski kabinet telah dibentuk dan tak ada lagi lagu Kimigayo setiap pagi, tetapi perubahan lainnya belum terasa. Berkumpulnya ratusan ribu orang itu berkat kabar yang beredar dari mulut ke mulut. Awalnya, rapat direncanakan pada 17 September 1945, tepat satu bulan setelah kemerdekaan. Akan tetapi, karena adanya ancaman dari tentara Jepang dan Sekutu, rapat raksasa di Lapangan Ikada pun akhirnya diundur menjadi 19 September 1945. Meski larangan mengadakan rapat raksasa telah dikeluarkan oleh tentara Jepang, namun rakyat tetap membanjiri Lapangan Ikada dengan penuh semangat.
Mereka berasal dari berbagai wilayah Jakarta da sekitarnya, seperti Penjaringan, Tanjungpriok, Mangga Besar, Senen, Tanahabang dan Jatinegara. Bahkan banyak dari mereka yang berasal Bekasi, Bogor, Tangerang, dan Banten Sebagian besar peserta datang menggunakan kereta api dan berhenti di Stasiun Gambir. Mereka datang dengan membawa poster-poster dan bendera merah putih. Tentara Jepang pun melakukan penjagaan ketat dengan senjata lengkap. Suasana yang tegang dan mencekam itu tak mampu membuat rakyat gentar. Mereka menunjukkan satu semangat yang sama kepada dunia, yaitu Bangsa Indonesia sudah merdeka dan berdaulat!
Komentar
Posting Komentar