Paku Alam VIII (1920-1998)



Gusti  Raden Mas  Sularso  Kuntosuranto yang dilahirkan tanggal 10 April 1910 dengan condrosengkolo “ Mumbul Tejaning  Manggala Yudha “ tahun Jawa 1870  adalah putra dari Paku Alam VII dengan permaisuri Gusti Raden Ayu Retno Purwoso  binti Paku Buwono X. Di tubuh beliau mengalir darah dari Kasunanan Surakarta dan darah dari Kasultanan Yogyakarta yang  kemudian menyandang gelar Kanjeng Gusti Adipati Aryo Prabu Suryodilogo sejak tanggal 4 September 1936. Selanjutnya pada tanggal  12 April 1937  beliau dinobatkan menjadi  KGPAA Paku alam VIII dan selisih 3 tahun kemudian yaitu pada 18 Maret 1940, penobatan Sri Sultan HB IX dan selanjutnya keduanya menjadi sosok “loro-loroning atunggal“ atau duet kepemimpinan KGPAA Paku Alam VIII dan Sri Sultan HB IX itu yang dikenal dengan Dwi Tunggal yang menentukan nasib masa depan negeri masing-masing akan tetap menjadi negara kerajaan dalam penjajahan Belanda (Humas DIY, 2009).

Pendidikan yang ditempuh adalah Europesche Lagere School Yogyakarta, Christelijk MULO Yogyakarta, AMS B Yogyakarta, Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta - sampai tingkat candidaat) (tirto.id)

Saat saat menjelang Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945 hubungan baik kedua belah pihak (negeri masing-masing) antara Kadipaten Pakualaman dengan Kasultanan Yogyakarta dikembangkan dengan mengajak Kadipaten Mangkunegaran dan Kasunanan Surakarto (catur sagatra), saat itu Paku Alam VIII diutus Hamengku Buwono IX untuk menjalin diplomasi politik antar empat kerajaan agar memiliki sikap politik yang sama dalam mendukung para pejuang kemerdekaan sambil  panahan disuatu tempat antara  Sragen – Mantingan (KPH Wijoyokusumo, 1999, dalam Wahyukismoyo, 2017)

Sehari setelah mendengar diproklamasikannya Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX bersama dengan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim telegram ucapan selamat dan pernyataan dukungan terhadap Republik Indonesia kepada Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan ex Ketua BPUPK, Dr. Radjiman Wedyodiningrat . Ketika Pemerintah RI membentuk Daerah Istimewa Yogyakarta yang setingkat dengan provinsi, Sri Sultan Hamengku Buwono IX ditetapkan sebagai kepala daerah, sedangkan Sri Paku Alam VIII sebagai wakilnya. Lalu lahirlah UU Nomor 3 Tahun 1950.

Paku Alam VIII dalam kedudukannya sebagai Adipati Pura Pakualam VIII merupakan pemimpin kerabat Pakualaman. Bagi penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta, Paku Alam VIII bersama Sri Sultan Hamengku Buwono merupakan “dwitunggal” daerah. Keduanya tergolong orang yang pendiam, tidak suka menonjolkan diri, dan aktif dalam organisasi keolahragaan serta kepramukaan. Selama bertahun-tahunh Sri Paku Alam VIII adalah pengurus organisasi olah raga panahan di Indonesia, dan duduk dalam kepengurusan KONI Pusat (Harsrinuksmo, 2004:49).

Jabatan yang dipangku selanjutnya adalah Wakil Kepala Daerah Istimewa, Wakil Ketua Dewan Pertahanan DIY (Oktober 1946), Gubernur Militer DIY dengan pangkat Kolonel (1949 setelah agresi militer II). Mulai tahun 1946-1978 Paku Alam VIII sering menggantikan tugas sehari-hari Hamengkubuwono IX sebagai kepala daerah istimewa karena kesibukan Hamengkubuwono IX sebagai menteri dalam berbagai kabinet RI.

Selain itu ia juga menjadi Ketua Panitia Pemilihan Daerah DIY dalam pemilu tahun 1951, 1955, dan 1957; Anggota Konstituante (November 1956); Anggota MPRS (September 1960) dan terakhir adalah Anggota MPR RI masa bakti 1997-1999 Fraksi Utusan Daerah (tirto.id).
Setelah Hamengkubuwono IX mangkat pada tahun 1988, Paku Alam VIII menggantikan sang mendiang menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sampai akhir hayatnya pada tahun 1998.
Pada 20 Mei 1998 ia bersama Hamengkubuwono X mengeluarkan Maklumat untuk mendukung Reformasi Damai untuk Indonesia. Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara yang disebut Pisowanan Agung. Beberapa bulan setelahnya ia menderita sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Sri Paduka Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).

Sri Paduka Paku Alam VIII wafat pada tanggal 11 September 1998 dan masyarakat DIY mengusulkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Pemerintah Pusat. Tim Penggagas Gelar Pahlawan Nasional Bagi Sri Paduka Paku Alam VIII mengawalinya  dengan melakukan ziarah/nyekar ke  Makam Paku Alam VIII dan makam Paku Alam V, VI dan Paku Alam VII serta Paku Alam IX di makam raja-raja Pakualaman Girigondo, Temon Kulonprogo (Humas DIY, jogjaprov.go.id, 01 September 2019 ).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan