Sikap Para Raja


Saat saat menjelang Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945 hubungan baik kedua belah pihak (negeri masing-masing) antara Kadipaten Pakualaman dengan Kasultanan Yogyakarta dikembangkan dengan mengajak Kadipaten Mangkunegaran dan Kasunanan Surakarto (catur sagatra), saat itu Paku Alam VIII diutus Hamengku Buwono IX untuk menjalin diplomasi politik antar empat kerajaan agar memiliki sikap politik yang sama dalam mendukung para pejuang kemerdekaan sambil  panahan disuatu tempat antara  Sragen – Mantingan (KPH Wijoyokusumo, 1999, dalam Wahyukismoyo, 2017).

Sikap empat raja di Jawa (catur sagatra) menyatakan dukungan pada Republik. Akan tetapi banyak raja-raja di luar Jawa tidak tertarik pada Revolusi. Mereka tidak suka pada terhadap kepemimpinan di Jakarta yang mereka anggap radikal, bukan ningrat, dan kadang-kadang bersifat Islam. Mereka juga tidak suka kepada pemuda Republik di wilayah mereka  yang menjadi kekuatan Revolusi setempat. Akan tetapi, di Sulawesi Selatan , Raja Bone (Arumpone) La Mappanyuki, menyatakan dukungannya kepada Rebublik. Menurut Ricklefs, kebanyakan raja-raja dari suku Makasar dan Bugis mengikuti jejak La Mappanjuki mengakui kekuasaan Gubernur Sulawesi G.S.S.J. Ratulangie, seorang Manado beragama Kristen yang ditunjuk oleh pemimpin nasional di Jakarta. Raja-raja Bali juga mengakui kekuasaan Republik. Akan tetapi, di banyak wilayah lainnya, raja-rajanya memilih menentang Revolusi sehingga sering kali menjadi korbannya (2004 :432).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

B.M. Diah

PSII di Zaman Jepang

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)