Kebijakan Gunting Syafruddin
Pada masa sistem pemerintahan federal (RIS), kabinet Hatta disibukkan dengan permasalahan-permasalahan yang muncul akibat perang kemerdekaan maupun masalah-masalah intern kehidupan suatu negara muda. Sebagai akibat dari perang kemerdekaan banyak prasarana yang hancur, keadaan ekonomi yang buruk, dan terdapat pula kerusakan mental di masyarakat.
Masalah Ekonomi
Di bidang ekonomi sendiri masalah utama adalah munculnya inflasi dan defisit dalam anggaran belanja. Untuk mengatasi masalah inflasi, pemerintah menjalankan suatu kebijakan dalam bidang keuangan yaitu mengeluarkan peraturan pemotongan uang pada tanggal 19 Maret 1950, yang dikenal dengan kebijakan gunting Syafruddin. Peraturan ini menentukan bahwa uang yang bernilai 2, 50 gulden atau Rp. 5 ke atas dipotong menjadi dua, sehingga nilainya tinggal setengah. Meskipun banyak pemilik uang yang terkena dampak peraturan ini, tetapi pemerintah mulai dapat mengendalikan inflasi agar tidak cepat meningkat. Di samping soal keuangan ini, ekonomi juga dapat diperbaiki, karena dengan meletusnya Perang Korea, perdagangan ke luar negeri meningkat, terutama untuk bahan mentah seperti karet. Dengan meningkatnya ekspor, maka pendapatan negara juga ikut meningkat (Fathoni, wawasansejarah.com).
Kebijakan Gunting Syafruddin
Syafruddin Prawiranegara adalah Menteri Keuangan pada periode 2 Oktober 1946 – 26 Juni 1947 dan periode 20 Desember 1949 – 27 April 1951. Syafruddin menjadi orang yang pertama kali mendesak Mohammad Hatta agar pemerintah RI segera menerbitkan mata uang sendiri sebagai atribut kemerdekaan Indonesia. Ia juga terkenal dengan kebijakan Gunting Syafruddin.
Menurut Arip Budiyanto, Kepala Seksi Kepatuhan Internal KPKNL Manado, Gunting Syafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950. Kebijakan itu dikenal sebagai kebijakan berani yang ditetapkan Pemerintah Indonesia dengan cara menggunting fisik uang kertas. Ketika itu, ada tiga jenis mata uang yang beredar di Indonesia. Ketiga mata uang tersebut adalah Oeang Republik Indonesia (ORI), mata uang peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank, serta mata uang yang digunakan ketika NICA (Belanda) berada di Indonesia pasca-kemerdekaan atau selama masa revolusi fisik.
Menurut kebijakan itu, "uang merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi. Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar tiga puluh tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. "Gunting Syafruddin" itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia).
Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk, utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung. Dengan kebijaksanaan yang kontroversial itu, Sjafruddin bermaksud sekali pukul menembak beberapa sasaran: penggantian mata uang yang bermacam-macam dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dan dengan demikian menurunkan harga barang, dan mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 miliar.
Sebagai bentuk penghargaan bangsa ini, Syafruddin Prawiranegara mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 8 November 2011 yang dianugerahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Nama Syafruddin Prawiranegara juga diabadikan sebagai nama Gedung di Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. (Budiyanto, kemenkeu.go.id)
Komentar
Posting Komentar