Pengakuan Belanda Terhadap Kemerdekaan Indonesia

 

 
Setelah Vatikan, negara Eropa selanjutnya yang mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Belanda. Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda terjadi setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 23 Agustus 1949 hingga 2 November 1949. Dalam KMB, Belanda bersedia mengakui kedaulatan RI secara penuh. Indonesia juga sepakat untuk membentuk Uni Personal dengan Kerajaan Belanda (Rahman, Nansy, 2020).

Pada tanggal 23 Desember 1949, Delegasi Indonesia berangkat ke Belanda untuk timbang terima penyerahan kedaulatan. Delegasi diketuai oleh Drs. Moh. Hatta, dengan anggota Sultan Hamid II, Sujono Hadinoto, Dr. Suparmo, Dr. Mr. Kusumaatmaja dan Prof. Dr. Mr. Soepomo.

Pada tanggal 27 Desember 1949 dilakukan upacara penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada RIS di Amsterdam. Pada hari yang sama juga dilakukan penyerahan kedaulatan di Indonesia.

Upacara penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Hindia Belanda kepada RIS dilakukan di  Yogyakarta dan Jakarta. Di Jakarta upacara diadakan di Istana Gambir. Bendera Triwarna diturunkan dan Sang Dwiwarna dikibarkan. Sesudah upacara, Wakil Agung Mahkota Belanda, Lovink, terbang ke Belanda.

Mr. Asaat, ketua KNIP dilantik di Istana Kepresidenan Yogyakarta sebagai pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia.

Pada tanggal 28 Desember 1949, pukul 10.00 WIB, Presiden Sukarno beserta keluarga terbang dengan pesawat Garuda Indonesia Airways dari Yogyakarta menuju Jakarta, dan tiba pada pukul 11.40 di bandar udara Kemayoran. Presiden Sukarno disambut oleh lautan manusia di sepanjang jalan Kemayoran menuju Istana.

Pada tanggal 29 Desember 1949, Presiden Sukarno dan nyonya mengadakan resepsi di Istana yang dihadiri oleh 2000 tamu dari segala bangsa dan lapisan masyarakat.

Pada tanggal 30 Desember 1949, Komisaris Tinggi Belanda yang pertama Dr. Hirschfeld menyerahkan surat-surat kepercayaan kepada Presiden RIS.

Pada tanggal 1 Januari 1950, pemangku jabatan Presiden RI Mr. Asaat mengucapkan pidato tahun baru di Yogyakarta (Supeni, 2001 : 305-306).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan