Peristiwa Westerling
Seperti sudah saya sampaikan pada tulisan terdahulu, pada tanggal 15 November 1946 delegasi Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian Linggajati. Hindia Belanda segera mengambil tindakan mengamankan wilayah Sulawesi Selatan yang bergolak. Pemerintah Hindian Belanda kemudian menugaskan Westerling dan pasukan khusus Belanda (Depot Speciale Troepen / DST) ke Makasar untuk membangtu de Vries, komandan pasukan untuk Timur Besar dan Borneo dalam mempertahankan kekuasaan Belanda.
Pada tanggal 5
Desember 1946, Westerling sudah sampai di Makasar. Ia tidak menerima petunjuk
khusus dalam pelaksanaan tugasnya dan
karena itu ia merasa menerima mandat
penuh untuk mematahkan teror yang berlangsung di Makasar. Berdasarkan suarat
kuasanya itu ia tidak perlu meminta persetujuan pusat terlebih dahulu dalam
menjalankan suatu kebijakan.
Staat van Orlog en Beleg (SOB)
Westerling segera mengumpulkan data tentang berbagai perlawanan rakyat dari Dinas Penerangan Militer dan Dinas Kesatuan Intelijen Belanda serta dari beberapa pegawai pemerintah. Dari data itu diketahui bahwa pusat perlawanan rakyat ada di Suppa, Pare-pare dan Polombangkeng, Makasar. Ia menggolongkan anggota perlawanan atas dua kelompok, yaitu kelompok nasionalis sejati dan kelompok ekstrimis. Kaum ekstrimis dianggapnya melakukan teror sangat keras, menurut “hukum darurat perang”. Saat itu pemerintah Hindia Belanda baru saja mengumumkan keadaan darurat perang (Staat van Oorlog en Beleg / SOB).
Pembunuhan Massal
Empat operasi DST terjadi di kampung kampung yang terletak di perbatasan kota Makasar dengan maksud memutus jaringan hubungan antara kota Makasar dan Polombangkeng yang merupakan pusat perlawanan. Antara bulan Desember 1947 – Januari 1947, Westerling melaksanakan operasi bersama DST di Takalar, Gowa dan Polombangkeng. Pada pertengahan bulan Februari 1947 operasi dilaksanakan di daerah Barru.
Westerling
mengirimkan sebagian DST ke Afdeling Pare-pare dan Afdeling Mandar pada
permulaan Januari 1947.
Aksi-aksi DST dan KNIL dilakukan dengan kejam. Perwira-perwira KNIL di daerah perlawanan itu menggunakan metode “peradilan lapangan” seperti yang dilakukan Westerling.
DST di bawah pimpinan wakil komandannya . Onderluitenant Vermeulen, yang tiba di Pare-pare pada tanggal 13 Januari 1947, bekerja sama dengan Batalion Infanteri ke-51 dari KNIL di Pare-pare yang berada di bawah komando Mayor Stufkens dan Kapten Rijborz. Di Pare-pare Vermeulen pergi ke penjara untuk menyeleksi sekelompok tawanan yang akan dieksekusi di pasar pada keesokan harinya. Pada hari selanjutnya operasi dilakukan di Onderafdeling Pinrang, Enrekang, Soppeng, Barru, Pare-pare dan Suppa.
Pada tanggal 1 Februari 1947 diadakan operasi di Galung-galung. Tawanan dibawa serta ke daerah operasi oleh Stufkens dan Vermeulen. Ketika operasi berlangsung terdengar kabar bahwa bahwa tiga orang pasukan DST diserang dan dibunuh. Terjadilah penembakan membabi buta terhadap kelompok-kelompok orang yang ada di sekitarnya. Karena perannya dalam aksi ini Vermeulen dipanggil ke Batavia pada tanggal 5 Februari 1947.
Pembunuhan massal tanpa proses ini masih dilanjutkan oleh Kapten Rijborz setelah Westerling ditarik ke Jakarta pada bulan Maret 1947. Aksi aksi Kapten Rijborz dari Batalion ke-51 di Pare-pare merupakan bukti kesewenang-wenangannya. Selanjutnya ia melakukan aksinya di Sindrap. Karena aksi-aksinya itu Rijborz ditarik ke Makasar.
Korban 40.000 Jiwa
Korban dari Peristiwa Westerling ini kemudian dikenal sebagai “Korban 40.000 jiwa” di Sulawesi Selatan. Peristiwa ini diperingati setiap 11 Desember sebagai hari berkabung oleh masyarakat Sulawesi Selatan.
Menurut kalangan Tentara Republik Indonesia (TRI), pembersihan yang dilakukan oleh Westerling bertujuan untuk menghentikan bantuan rakyat kepada pasukan TRI dan ALRI yang telah mendarat di Sulawesi Selatan. Operasi ini disebut sebagai “Operasi Doden-Mars”, yaitu operasi untuk menciptakan situasi panik dan ketakutan massal dengan jalan pembakaran rumah-rumah dan pembunuhan massal (Sudiyono, 2004 : 292-293).
Komentar
Posting Komentar