Westerling dan APRA

 



Westerling lahir di Istanbul (Turki) pada tahun 1919, dari ayah Belanda dan ibu bangsa Turki. Ia menjadi relawan dalam tentara pemerintah pelarian Belanda di Mesir dan kemudian diperbantukan di kesatuan-kesatuan Inggris.

Setelah menamatkan pendidikan militer di Kanada, ia diangkat sebagai instruktur. Pada masa peperangan melawan Nazi  (1944) ia diterjunkan di daerah Belgia – yang telah dikuasi Jerman – dengan tugas menyusun gerakan bawah tanah untuk melumpuhkan pasukan musuh. Ia dinilai sukses menjalankan tugas itu.

Letnan Westerling kemudian ditugaskan ke Indonesia dengan jabatan Kepala Dinas Kontra Spionase Tentara Kerajaan Belanda. Pada masa akhir kekuasaan Jepang di Indonesia ia diterjunkan di Medan dengan tugas mempersiapkan pendaratan pasukan sekutu di Sumatra. Selanjutnya, dengan pangkat kapten, bersama sekitar 150 anggta Depot Speciale Troepen (Pasukan Khusus) ia ditugaskan ke Sulawesi untuk melumpuhkan pasukan pejuang kemerdekaan di daerah itu, 5 Desember 1946. Ketika itulah, ia bersama pasukannya melakukan pembuhunan  massal terhadap penduduk setempat. Menurut beberapa pihak, jumlah korban mencapai 40.000 orang, namun pihak lain menyangsikan hal itu (Purwoko, 2004 :293). Peristiwa itu dikenal sebagai Peristiwa Westerling.

Peristiwa Westerling akan kami ungkapkan pada tulisan terpisah.

Setelah itu, sekitar 1.200 prajurit di bawah komandonya ditempatkan di Jawa Barat. Di daerah itu, pasukannya kembali  melakukan pembunuhan terhadap penduduk. Westerling kemudian dikeluarkan dari dinas militer. Tetapi ternyata hanya sandiwara.

APRA.

Setelah berhenti dari dinas militer, Westerling bergerak di Jawa untuk mewujudkan impiannya menjadi Ratu Adil. Dengan menggunakan simbol Ratu Adil, ia berhasil menarik simpati rakyat. Sejak bulan Maret 1949 ia menghimpun modal dan pasukan. Angota pasukannya terdiri atas serdadu Belanda pelarian dan anggota pasukan bersenjata yang belum tersalur ke tengah masyarakat. Pasukan yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) ini dikerahkan untuk menggoyahkan kekuasaan Republik Indonesia Serikat (RIS). Selain memiliki cukup banyak anggota, pasukan ini mendapat bantuan dana dari para pemilik modal bangsa Belanda di Jawa Barat.

Pada tanggal 23 Januari 1950, atas instruksi Westerling, sekitar 800 anggota pasukan APRA menyerang sejumlah pos Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) di Bandung. Mereka berhasil menguasai Staf Divisi Siliwangi dengan membunuh hampir seluruh prajurit jaga.

Sehubungan dengan perkembangan situasi, Drs. Mohammad Hatta – sebagai wakil pemerintah RIS – berunding dengan Komisaris Tinggi Belanda di Jakarta. Hasilnya, Mayor  Jenderal Engels, komandan Tentara Kerajaan Belanda di Bandung, mendesak Westerling meninggalkan kota. Setelah meninggalkan Bandung, pasukan APRA menyebar ke berbagai daerah. TNI mengadakan pengejaran, dan dengan bantuan rakyat, berhasil menumpasnya.

Westering melarikan diri ke Malaya dengan pesawat terbang Belanda pada 22 Februari 1950. Kepergian tokoh ini disusul bubarnya seluruh anggota pasukannya (Purwoko, 2004 :294).

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan