Balai Pustaka

Segala bidang penulisan meluas dengan cepat di Indonesia. Pada tahun 1918 telah terbit sekitar 40 surat kabar sebagian dalam bahasa Indonesia; pada tahun 1925 ada sekitar 200; pada tahun 1928 ada lebih dari 400 harian, mingguan dan bulanan. 
Pada tahun 1920 Balai Pustaka (Commissie / Kantoor voor de Volkslectuur) menjual 100.000 buku dan mencatat 1.000.000 peminjaman.
Pada tanggal 14 September 1908, pemerintah Hindia Belanda membentuk Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat dan Pendidikan Pribumi) yang diketuai oleh Dr G.A.J. Hazeu dengan enam orang anggota. Tugas komisi ini adalah memberikan pertimbangan kepada Direktur Pendidikan dalam memilih karangan-karangan yang baik untuk dipakai di sekolah dan dijadikan bacaan rakyat. Gagasan ini timbul karena kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda akan akibat merajalelanya penerbitan buku-buku oleh pihak swasta yang dari segi politis dapat merugikan.
Komisi baru efektif berfungsi tahun 1910 ketika dipimpin oleh Dr. D.A. Ringkes. Sampai dengan tahun 1916, komisi menerbitkan buku-buku bacaan rakyat. Volkslectuur menerima 598 naskah dalam bahasa Jawa, 204 naskah dalam bahasa Sunda, 96 naskah dalam bahasa Melayu, 47 naskah dalam bahasa Madura dan 8 naskah dalam bahasa Batak. Yang berhasil diterbitkan adalah 117 buku berbahasa Jawa, 68 buku berbahasa Sunda, 33 buku berbahasa Melayu, dan 1 buku berbahasa Madura. Jenis cerita yang diterbitkan adalah cerita rakyat, cerita wayang, ringkasan hikayat-hikayat lama, cerita berisi teladan, dan buku-buku pengetahuan umum. Inilah sebabnya D.A. Ringkes disebut Bapak Balai Pustaka.
Pada tanggal 22 September 1917, Volkslectuur diubah menjadi Balai Pustaka (BP). Sejak saat itu kegiatan penerbitan buku sastra semakin penting. Buku-buku Balai Pustaka disalurkan melalui perpustakaan Sekolah Dasar yang disebut Taman Pustaka dan dijual untuk umum dengan harga murah. Pemerintah Hindia Belanda memberi subsidi sampai dengan f 400.000 setahun (saat itu satu sen f = 1 liter beras = Rp. 7.000,00). Balai Pustaka mempunyai percetakan sendiri, sistem distribusi sendiri dan memiliki persediaan kertas yang besar.
BP tetap berjalan di zaman Jepang bahkan menerbitkan beberapa buku propaganda Jepang. BP tetap hidup di zaman kemerdekaan meski sedikit terganggu keadaan sosial politik. Pada 1 Mei 1948 BP berada di bawah Kementrian Pendidikan dan Pengajaran dan akhirnya menjadi Perusahaan Negara.
Tahun 1920-1942 merupakan masa angkatan sastra Balai Pustaka yang menghasilkan berpuluh puluh novel yang bertema pertentangan kaum muda (modern) melawan adat (poligami, kawin paksa, perbedaan status sosial, nilai-nilai Timur); berlatar Sumatra Barat atau Jakarta; bersifat romantik-sentimental (sad ending); dan bergaya Melayu tinggi (Sumardjo, 2003:80-81).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan