Mengenal Sosok Muhammad Yamin

Pada tahun 1920-an muncul suatu kesastraan modern yang di dalamnya para pengarang Minangkabau memainkan peranan yang penting. Muhammad Yamin (1903-1964) menerbitkan sajak-sajak pertama yang benar-benar modern. Marah Roesli (1898- ) menerbitkan roman percintaan Sitti Noerbaja.
Siapakah Yamin ?
Muhammad Yamin (1903-1962) lahir di Sawahlunto, Sumatra Barat, pada 23 Agustus 1903. Ayahnya seorang mantri kopi. Setamat HIS , Yamin meneruskan pendidikannya di Normal School, lalu Sekolah Dokter Hewan di Bogor. Sebelum selesai, ia pindah ke Sekolah Menengah Pertanian di kota yang sama, kemudian pindah lagi ke ke Yogyakarta dan masuk AMS. Di sini ia merasa mantap. Lulus dari AMS ia melanjutkan ke Recht Hogeschool di Jakarta sampai menyandang gelar meester in de rechten (Mr). Pada tahun 1934 ia menikah dengan Raden Ajeng Sundari dan dikaruniai seorang putra yang kelak menjadi peragawan terkemuka, Rahadian Yamin.
Yamin termasuk penyair Pujangga Baru. Yamin menulis sajak-sajak patriotis yang terkumpul dalam Tanah Air (1922) dan Indonesia Tumpah Darahku (1928). Ia juga menulis drama sejarah Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (1932) dan Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Ia pun menerjemahkan karya Rabindranath Tagore dan Shakespeare. Belakangan ia menghasilkan karya seperti Gadjah Mada (1945), Sejarah Peperangan Dipanegara (1945), Tan Malaka (1945), Revolusi Amerika (1951), Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia (1951) dan Kebudayaan Asia Afrika (1955).
Di masa mudanya Yamin mendirikan Jong Sumatranen Bond (JSB) bersama Mohammad Hatta dan Bahder Djohan dan terpilih menjadi ketuanya untuk periode 1926-1928. Pada kongres JSB di Jakarta tahun 1923 ia mengucapkan pidato De Maleische Taal in het Verlenden, Heden, en in de Toekomst (Bahasa Melayu pada Masa Lampau, Masa Sekarang dan Masa Depan). Pada Kongres Pemuda I di Jakarta (1926) ia mengemukakan pandangan tentang pentingnya bahasa persatuan. Pada Kongres Pemuda II (1928) disepakati penggunaan istilah Bahasa Indonesia.
Yamin menjadi anggota Partindo (Partai Indonesia) yang mengambil sikap nonkoperasi terhadap pemerintah kolonial. Pada pidatonya dalam Kongres II Partindo di Surabaya pada tahun 1933 dengan lantang ia mengemukakan semboyan "Indonesia Merdeka Sekarang."
Sikap kerasnya ditunjukkan dengan tidak mau menjadi pangreh praja tetapi bekerja sebagai pengarang, penulis dan wartawan. Dari pekerjaannya sebagai pengacara sebuah perusahaan swasta di Jakarta ia mendapat banyak uang.
Setelah Partindo bubar tahun 1936, ia dan kawan-kawannya membentuk Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) yang mengambil sikap kooperasi sebagai taktik. Ia pun bersedia menjadi anggota Volksraad masa sidang 1939-1943. Dalam Volksraad ia membentuk Parpindo (Partai Persatuan Indonesia) yang menyokong perjuangan bangsa Indonesia dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat secara luas. Langkah itu menimbulkan perpecahan dalam National Fractie bentukan M.H. Thamrin. Yamin juga membuat petisi-berupa tuntutan pembentukan parlemen-di luar GAPI (Gabungan Politik Indonesia), sehingga dianggap merusak aturan permainan. Terakhir ia membuat GNI (Golongan Nasional Indonesia) sebagai pendamping National Fractie bentukan Thamrin.
Pada era Jepang, Yamin duduk sebagai penasihat Putera (Pusat Tenaga Rakyat) selain sebagai pegawai tinggi Sendenbu, jawatan penerangan dan propaganda Jepang dan pernah menjadi penasihatnya (Sanyoo). Ia juga menjadi anggota BPUPKI. Keikutsertaannya di BPUPKI sempat menimbulkan polemik mengenai siapa yang merumuskan Pancasila.
Setelah Indonesia merdeka, Yamin ia sempat bergabung dengan Tan Malaka dalam Persatuan Perjuangan pada tahun 1946. PP menentang politik diplomasi Kabinet Sjahrir dengan pemerintah Belanda, dan menuntut pengakuan 100% atas kemerdekaan Indonesia. Ia juga dijatuhi hukuman empat tahun karena terlibat Peristiwa 3 Juli 1946 namun memperoleh grasi dari Presiden Sukarno. Ia pun dipercaya menjadi penasihat delegasi Indonesia dalam KMB. Tidak sampai di situ, Yamin pun pernah menjadi Menteri Kehakiman dalam Kabinet Sukiman-Suwirjo (1951-1952), Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo (1953-1955) dan Menteri Penerangan dalam Kabinet Kerja III (1962-1963). Ia juga pernah menjadi Ketua Dewan Perancang Nasional yang menyusun Rencana dan Pola Pembangunan Semesta Berencana. Selanjutnya ia menjadi anggota DPR-RI dan Badan Konstituante hasil Pemilu 1955. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ia diangkat sebagai anggota DPR-GR dan MPRS.
Yamin juga tercatat sebagai Penasihat Lembaga Pembinaan Hukum Nasional. Ia juga anggota Staf Pembantu Panglima Besar Komando Operasi Ekonomi Seluruh Indonesia, Anggota Panitia Pembina Jiwa Revolusi, dan Ketua Dewan Pengawas Lembaga Kantor Berita Nasional Antara (2961-1962).
Yamin dianugrahi Bintang Mahaputra dan diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Jenazahnya dimakamkan di Desa Talawi, Sawahlunto. (Soebagijo I.N. dan Dwi Purwoko, ENI Vol. 17, 2004: 365-367).
Nama Yamin juga diabadikan dalam Puncak Yamin (4.595 m), salah satu puncak di Pegunungan Jayawijaya, Irian Jaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan