Taman Siswa Yang Menolak Bantuan Pemerintah
Selain arus Islam modernis dan sosialisme pada tahun 1922 muncullah arus kebudayaan melalui pendidikan. Ada yang mengatakan ini merupakan reaksi positif terhadap pembaharuan Islam. Pada tahun 1922, Suwardi Surjaningrat (KHD) mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta, yang memadukan pendidikan gaya Eropa yang modern dengan seni-seni Jawa tradisional.
Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara di Yogyakarta pada 3 Juli 1922 dengan nama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa ini dikenal sebagai perguruan nasional yang bertujuan mengganti sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan yang sesuai dengan kebudayaan Indonesia.
Ketika dibuang di Belanda (1913-1919), KHD mulai mengenal dan mempelajari pendidikan modern dari Dr Maria Montessori dan Jan Lichthart, tokoh pendidikan modern Belanda. Saat kembali ke Indonesia dan sebelum mendirikan Taman Siswa, KHD menjadi guru di sekolah milik kakaknya, R.M. Soerjopranoto, dan kemudian mendirikan taman kanak-kanak Taman Indriya serta sebuah kursus guru.
Taman Siswa berkembang menjadi dua bagian, yakni Taman Muda (Sekolah Dasar 6 tahun) dan Taman Dewasa atau MULO Kweekschool yang merangkap Taman Guru. Meskipun Taman Dewasa mendapat tentangan dari pemerintah jajahan, banyak lulusannya yang berhasil meneruskan pendidikan ke AMS (Algemene Midelbare School). Pada saat Jepang masuk Indonesia tahun 1942, Taman Siswa telah mempunyai cabang di 199 tempat yang tersebar di seluruh Pulau Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Ternate dan Maluku. Pada saat itu pengajarnya mencapai 650 orang.
Cita-cita pendidikan Taman Siswa dikenal dengan Pancadarma. (1) memberi kebebasan kepada anak didik dalam perkembangannya tanpa perintah dan paksaan pendidik; (2)mengembangka n jasmani dan rohani ke peradaban dan kebudayaan; (3) mengusahakan pengaruh yang baik bagi kodrat alam anak; (4) mengembangkan rasa kebangsaan dan hidup berbangsa; dan (5) menumbuhkan dan memupuk dasar-dasar perikemanusiaan yang merupakan sifat kebangsaan.
Semboyan Taman Siswa adalah Tut Wuri Handayani, bahasa Jawa yang artinya mengikuti dari belakang dan memberi kekuatan.
Sebutan bahasa Belanda untuk guru seperti meneer dan juffrouw diganti dengan bapak (Ki) dan ibu (Nyi).
Majelis pengajar Taman Siswa diberi nama Majelis Luhur dan dipimpin oleh KHD yang juga mendapat gelar Bapak Taman Siswa.
Pada tahun 1990 Taman Siswa dan Yayasan milik ABRI mendirikan SMA Taruna Nusantara di Magelang untuk para calon pemimpin bangsa (Beawiharta & Moediasih, 2002:52).
Berdasarkan data dari Ricklefs pada tahun 1932 Taman Siswa telah memiliki 132 sekolah dengan 11.000 murid. Taman Siswa tidak menerapkan kurikulum pemerintah kolonial sehingga tidak mendapat bantuan pemerintah dan karena Taman Siswa memang tidak mau menerimanya (2005:367).
Komentar
Posting Komentar