Chaerul Saleh
Chaerul Saleh gelar Datuk Paduko Rajo lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 13 September 1916.Ayahnya bernama Achmad Saleh, dan ibunya Zubaidah binti Ahmad Marzuki. Ayahnya adalah seorang dokter yang sempat menjadi calon anggota Volksraad. Saat Chaerul berusia dua tahun, orang tuanya bercerai dan ia dibawa pulang oleh ibunya ke Lubuk Jantan, Lintau, Tanah Datar. Di usia empat tahun, giliran ayahnya membawa Chaerul ke Medan, dan menyekolahkannya di kota di Sumatera Timur yang sedang berkembang pesat itu.
Setelah ayahnya berpindah tugas, ia bersekolah di Europeesche Lagere School, Bukittinggi. Lulus dari ELS ia pindah ke Hogereburgerschool (HBS) di Medan. Ketika sekolah di Medan ia sering pulang ke Bukittinggi. Dan disinilah ia bertemu dengan Yohana Siti Menara Saidah, putri Lanjumin Dt. Tumangguang, yang kelak menjadi istrinya. Karena Yohana lah, ia pindah sekolah ke Batavia. Di Batavia, dia bersekolah di Koning Willemdrie atau HBS 5 tahun di Jalan Salemba.
Setelah lulus dari Koning Willemdrie, Chaerul melanjutkan pendidikannya di Recht School di Batavia (1937-1942). Di masa-masa inilah ia mulai menceburkan diri dalam dunia pergerakan kebangsaan.Ia, misalnya, pernah menjabat sebagai Ketua Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (1940-1942).
Zaman Jepang
Setelah pasukan pendudukan Jepang berkuasa ke Indonesia, ia menjadi anggota panitia Seinendan dan anggota Angkatan Muda Indonesia. serta menjadi anggota Pusat Tenaga Rakyat (Putera) pimpinan empat serangkai: Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan Kyai Haji Mas Mansyur. Tapi, demi melihat kekejaman pasukan Jepang, ia segera berbalik arah menjadi anti-Jepang dan ikut membentuk Barisan Banteng.
Keberanian Chairul Saleh bisa dilihat menjelang runtuhnya kekuasaan Jepang, pertengahan tahun 1945. Ketika itu, ia mengajak teman-temannya menentang kaum tua yang masih percaya kepada ketulusan sikap Jepang, membantu persiapan kemerdekaan Indonesia. Ia menolak ikut keanggotaan Badan Persiapan Usaha Pencarian Kemerdekaan Indonesia. Ia juga berada di balik aksi “penculikan” Bung Karno-Bung Hatta sehari menjelang proklamasi kemerdekaan.
Sejarah juga mencatat keberanian Chairul dalam mempertahankan pendapat saat perumusan Naskah Proklamasi. Dengan maksud agar semua yang hadir bertanggung jawab dalam perumusan naskah proklamasi, Bung Karno --sumber lain mengatakan Hatta-- meminta semuanya ikut menandatangani dan mencantumkan nama. Tapi, Chairul menentang gagasan itu. Menurut Chairul, sebagian dari yang hadir adalah pegawai Jepang, sehingga tak mungkin mereka ikut menandatangani proklamasi karena sumbangan mereka kepada perjuangan kemerdekaan tidak jelas.
Terjadi perbantahan yang cukup seru, tapi Chairul tetap mempertahankan pendapatnya. Ia tidak mau berkompromi. Padahal, sikapnya tersebut dapat saja menggagalkan rencana pembacaan proklamasi. Akhirnya, Bung Karno yang mengalah. Naskah proklamasi, atas nama bangsa Indonesia, hanya ditandatangani Soekarno-Hatta.
Pengikut Tan Malaka
Chaerul kemudian menjadi pengikut Tan Malaka, dan masuk Partai Murba. Tan Malaka adalah tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta yang menulis “Indonesia Vrije” (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928) dan Bung Karno yang menulis “Menuju Indonesia Merdeka” (1933).
Chaerul, Sukarni, dan banyak tokoh pemuda radikal di masa awal kemerdekaan mengagumi pemikiran, militansi, keteguhan Tan Malaka dalam berjuang, yang rela menderita sedemikian parahnya, untuk membebaskan bangsanya dari cengkeraman penjajah. Bung Karno sendiri menyebut Tan Malaka sebagai seorang mahir dalam revolusi (Satyadarma, Koran Sulindo, 22 September 2017).
Setelah Proklamasi, Tan Malaka memobilisasi massa, terutama kaum muda, untuk menghadiri rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas) yang terkenal itu, 19 September 1945. Rapat akbar ini menjadi penanda bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia didukung oleh sebegitu banyak orang. Juga sebagai sosiliasasi kemerdekaan karena memang waktu itu belum banyak tahu kalau Indonesia telah diproklamasikan kemerdekaannya oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Kendati demikian, karena terhalang dengan situasi dan kondisi yang dipenuhi kewaspadaan dari para pejuang dan juga dari Tan Malaka sendiri, Tan Malaka terlambat mendapat kabar kemerdekaan Indonesia. Meski Indonesia telah merdeka, tapi bagi Tan Malaka, perjuangan belum selesai. Pada 1 Januari 1946 di Purwokerto, Jawa Tengah, Tan Malaka membuat kongres Persatuan Perjuangan, sebagai upaya pengambilalihan kekuasaan dari tentara Sekutu. Sayangnya, Persatuan Perjuangan malah dianggap ingin melakukan kudeta terhadap Soekarno-Hatta. Maka, pada 17 Maret 1946. Tan Malaka bersama Sukarni ditangkap di Madiun, Jawa Timur, dan mulai hidup dari penjara ke penjara di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Lepas dari penjara, Tan Malaka dan Sukarni kemudian mendirikan Partai Murba pada November 1948. Tapi, Tan Malaka kemudian kembali ditangkap oleh Tentara Republik Indonesia. Tuduhannya: menentang Soekarno-Hatta. Tan Malaka akhirnya dieksekusi dan dikuburkan di kaki Gunung Wilis, Februari 1949, di Desa Selopanggung, Jawa Timur
Chaerul Saleh kemudian bergabung dalam kelompok Persatuan Perjuangan, yang dibentuk atas prakarsa Tan Malaka. Ketika Tan Malaka mendirikan Partai Murba, yang merupakan peleburan dari Gerakan Rakyat Revolusioner, Partai Rakyat, Partai Rakyat Djelata, Partai Buruh Merdeka, Angkatan Comunis Muda (Acoma), dan Wanita Rakyat, Chaerul juga ikut serta. Ia menjadi salah satu tokoh Murba, di samping Iwa Kusumasumantri, Sukarni, Adam Malik, Sukarni, dan Prijono (Satyadarma, Koran Sulindo, 22 September 2017).
Kelaskaran
Berbagai peranan penting pada awal revolusi dipegangnya terutama di kalangan organisasi pemuda. Ia terpilih sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Kongres Pemuda Republik Indonesia (Kopri) pada bulan November 1945.
Karena kegiatannya dalam perjuangan, terutama dalam bidang kelaskaran , tidak lama setelah terpilih sebagai ketua umum Kopri, kedudukannya digantikan. Ia berjuang bersama Laskar Rakyat di Jawa Barat yang dalam perkembangannya bertentangan dengan Laskar Rakyat di Jawa Tengah pimpinan Ir. Sakirman yant lebih condong kepada PKI. Selanjutnya Laskar Rakyat Jawa Barat pimpinan Chaerul Saleh memisahkan diri dari Laskar Rakyat Jawa Tengah dan berkembang menjadi barisan Bambu Runcing. Selama Agresi Belanda I dan II, barisan ini menimbulkan banyak kerugian pada pihak Belanda (Soebagijo I.N.,2004 : 334-335).
Setelah pengakuan kedaulatan, ia ditahan pemerintah karena pasukannya dianggap mengganggu keamanan. Setelah dibebaskan, ia dikirimkan ke Belanda untuk belajar hukum bersama sejumlah pelajar lainnya.
Chaerul termasuk yang tidak setuju dengan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Ia kemudian menggalang pasukan hingga meletus “Peristiwa Banten Selatan”. Akibat peristiwa ini, Chaerul sempat dipenjara selama dua tahun (1950-1952) karena dianggap melanggar hukum. Sekeluar dari penjara, ia pergi ke Jerman, dan menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Bonn. Selama di Jerman pula ia menghimpun para pelajar dan mahasiswa Indonesia mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI).
Sumber yang lain mengatakan, karena kegiatan Chaerul dalam politik, terutama dukungannya terhadap pengembalian Irian Barat ke wilayah Indonesia, bersama beberapa tokoh pemuda lainnya ia diusir pemerintah Belanda dari negeri itu. Ia pindah ke Bonn dan melanjutkan studinya. Dalam kesempatan itu ia mengorganisir Kongres Persatuan Pemuda Indonesia, organisasi mahasiswa seluruh Eropa. Sewaktu Bung Karno berkunjung ke Bonn ia mendapat panggilan pulang meskipun belum selesai studi. Sekembalinya di tanah air, Chaerul pun duduk dalam pemerintahan.
Bintangnya Terang
Pada Pemilu 1955, Partai Murba hanya memperoleh 2 kursi dari 257 kursi yang diperebutkan. Tapi, di masa Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno tetap memberikan peluang bagi Partai Murba untuk terus hidup. Nampaknya Bung Karno ingin menjadikan Partai Murba sebagai penyeimbang posisi Partai Komunis Indonesia (PKI). Bung Karno juga menjadikan Chaerul Saleh dan Prijono sebagai menteri, sementara Adam Malik dan Sukarni menjadi Duta Besar di Moskwa dan Beijing. Puncaknya, Tan Malaka diangkat menjadi pahlawan nasional pada tahun 1963.
Bisa dikatakan, di antara para kader Partai Murba, bintang Chaerul Saleh yang paling terang. Semula ia diangkat menjadi Menteri Veteran, lalu Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan, sampai akhirnya, Wakil Perdana Menteri III (1963-1966) sekaligus Ketua MPRS (1960-1965).
Pencetus Wawasan Nusantara
Tak banyak orang yang tahu, bahwa Chaerul Saleh merupakan salah satu tokoh terdepan dalam memperjuangkan prinsip negara kepulauan bagi Republik Indonesia. Dia lah yang mencetuskan konsepsi Wawasan Nusantara, yakni batas teritorial secara sepihak ditentukan 12 mil laut dan langsung diberlakukan pemerintah Indonesia pada 13 Desember 1957. Dengan Wawasan Nusantara, semua laut yang ada di antara pulau-pulau menjadi wilayah teritorial. Pemikiran Chairul ini baru bisa disahkan sebagai Konvensi Internasional tentang Hukum Laut pada tahun 1982 di Montego Bay, Jamaika.
Dalam salah satu tulisannya, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, mencatat: “Perjuangan tersebut memakan waktu 25 tahun. Saya beruntung mendapat dorongan dari Uda Chaerul Saleh. Dari tidak ada sampai tercipta dan diterimanya konsepsi Wawasan Nusantara, sekaligus diterimanya konsepsi baru kita ini.”
Yang menarik, meski sudah jadi pejabat penting, Chaerul selalu bersedia menerima para aktivis muda yang mau berdiskusi dengannya. “Kalau saya datang ke kantornya, sebelum mulai berdiskusi Bung Chaerul menyuruh mengangkat kaki ke meja atau kursi,” kenang Sabam Sirait.
Sepanjang karir politiknya, Chaerul Saleh merupakan tokoh yang anti-PKI. Ia kerap melawan berbagai gerakan dan agitasi PKI. Tragisnya, ketika rezim Orde Baru melakukan “pembersihan” pasca Peristiwa Gestapu, Chaerul malah ikut ditangkap. Mungkin, karena ia dianggap sebagai tokoh Soekarnois garis keras. Chaerul dipenjarakan di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, hingga meninggal dunia di penjara, 8 Februari 1967, di usia 50 tahun. Sebagaimana banyak tahanan politik lainnya di masa itu, ia tak pernah diajukan ke meja hijau (Satyadarma, Koran Sulindo, 22-9-2017).
Komentar
Posting Komentar