Wikana
Dari berbagai literatur saya mendapatkan beberapa nama pemuda revolusioner di sekitar proklamasi kemerdekaan Indonesia, mereka itu adalah : Wikana, Darwis, Sukarni, Singgih, Jusuf Kunto, BM Diah, Adam Malik, Chaerul Saleh, dr. Muwardi, dr. Sutjipto, A.M. Hanafi, Pardjono, Pandu Kartawiguna, Djohar Noer, S.K. Wijoto, Ridwan Bazar, Aidit, S.K. Trimurti dan Latif Hendraningrat (Anderson, 1988 : 96, Hanafi, dll). Biografi beberapa nama dari mereka tidak ditemukan sama sekali dalam lema di ensiklopedia nasional. Saya kemudian mendapatkan keterangan dari buku-buku memoar maupun artikel-artikel di koran online, wikipedia maupun blog. Saya akan mulai dari Wikana, dalang penculikan Sukarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945.
Wikana
Wikana bersama dengan sembilan anggota lain membentuk Panitia Khusus yang dipimpin B.M. Diah. Panitia ini dibentuk dalam pertemuan rahasia kalangan pemuda di Jakarta pada 3 Juni 1945. Pertemuan ini dilakukan lagi pada tanggal 15 Juni 1945. Pertemuan terakhir ini menghasilkan kesepakatan mengenai pembentukan Gerakan Angkatan Baroe yang sebagian besar kegiatannya digerakkan oleh para pemuda dari Asrama Menteng. Selain itu ia pun ikut dalam Gerakan Rakyat Baroe yang dibentuk kemudian (Cahyono, 2004 :307).
Wikana lahir di Sumedang, 18 Oktober 1914. Ia terlahir dari keluarga menak (bangsawan) Sumedang. Ayahnya, Raden Raden Haji Soelaiman, pendatang dari Demak, Jawa Tengah.
Lepas dari ELS (Europeesch Lagere School, sekolah dasar yang menggunakan pengantar bahasa Belanda) Wikana melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Semasa muda itulah Wikana sempat menjadi salah satu dari sekian pemuda satelit Bung Karno di Bandung.
Selain menjadi anggota PKI bawah tanah, Wikana juga tercatat pernah aktif sebagai anggota Partai Indonesia (Partindo) yang didirkan oleh Mr Sartono pada 1931 pascapenangkapan Bung Karno. Pada 1938 ketika Barisan Pemuda Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) didirikan, dia terpilih sebagai ketuanya yang pertama. Keyakinannya yang anti-kolonialisme mendorong Wikana aktif mengikuti berbagai organisasi politik yang melawan Belanda secara frontal.
Wikana pada peristiwa pencetusan Proklamasi 1945 melakukan peran paling penting karena berkat koneksinya di Angkatan Laut Jepang atau Kaigun, Proklamasi 1945 bisa dirumuskan di rumah dinas Laksamana Maeda di Menteng yang terjamin keamanannya. Selain itu Wikana juga mengatur semua keperluan Pembacaan Proklamasi di rumah Bung Karno di Pegangsaan 56. Ia juga sangat tegang saat melihat Bung Karno sakit malaria pagi hari menjelang detik-detik pembacaan Proklamasi. Wikana yang membujuk kalangan militer Jepang untuk tidak mengganggu jalannya upacara pembacaan teks proklamasi.
Karier Wikana di politik jalan terus. Dia menjadi tokoh pemuda dari sekian banyak pemuda yang bergerak di pusaran arus revolusi. Ketokohan Wikana mendapatkan pengakuan dan karena itulah dia dipercaya oleh Perdana Menteri Sjahrir untuk duduk sebagai menteri negara urusan pemuda dalam kabinet Sjahrir kedua dan ketiga.
Tapi jalan terang hidup Wikana mulai meredup setelah peristiwa Madiun 1948. Posisinya sebagai Gubernur Militer wilayah Surakarta digantikan oleh Gatot Subroto.
Bersama dengan pejuang-pejuang dari Nasionalis sayap kiri ia menghilang dan baru kembali setelah Dipa Nusantara Aidit melakukan pledoi terhadap kasus Madiun 1948 yang mulai digugat oleh Jaksa Dali Mutiara pada 2 Februari 1955.
Sampai tahun 1950-an dia masih tercatat sebagai anggota Comite Central (CC) PKI yang mulai menggeliat di bawah kepemimpinan triumvirat Aidit, Njoto dan Lukman. Namun praktis Wikana tak memainkan peran penting sebagaimana yang pernah dilakukannya pada era-era awal revolusi. Revitalisasi PKI ditangan DN Aidit membuat Wikana tersingkir dan dianggap bagian dari golongan tua yang tidak progresif. Hal ini sama dengan kasus penyingkiran kaum komunis ex-Digulis oleh anak-anak muda PKI, karena tidak sesuai dengan perkembangan perjuangan komunis yang lebih Nasionalis dan mendekat pada Bung Karno.
Terakhir Wikana tinggal di daerah Simpangan Matraman Plantsoen dalam keadaan miskin dan sengsara karena tidak mendapat tempat di PKI dan diisolir oleh Aidit. Tahun 1965 Waperdam Chaerul Saleh menarik Wikana menjadi anggota MPRS.
Beberapa pekan sebelum peristiwa G30S 1965 terjadi, Wikana berserta beberapa elemen PKI lainnya pergi ke Peking untuk menghadiri perayaan hari Nasional Cina 1 Oktober 1965. Saat itu terdengar kabar dari tanah air ada insiden penculikan dan pembunuhan para jenderal. PKI disalahkan. Delegasi terceraiberai. Wikana meminta anggota delegasi lain untuk tetap berada di Peking selagi menunggu kepastian dari berita yang simpang siur. Dia sendiri memilih pulang ke tanah air.
Kurang dari setahun setelah peristiwa G30S, dia ditangkap. Sempat bermalam di Kodam Jaya namun dipulangkan kembali. Tak berapa lama kemudian segerombolan tentara tak dikenal datang ke rumahnya di Jalan Dempo No. 7 A, Matraman, Jakarta Timur. Mereka membawa Wikana dan sampai hari ini, pemuda garang yang sempat membuat Bung Karno naik pitam itu, tak pernah kembali pulang. Dia hilang tak tentu rimbanya (wikipedia).
Wikana
Wikana bersama dengan sembilan anggota lain membentuk Panitia Khusus yang dipimpin B.M. Diah. Panitia ini dibentuk dalam pertemuan rahasia kalangan pemuda di Jakarta pada 3 Juni 1945. Pertemuan ini dilakukan lagi pada tanggal 15 Juni 1945. Pertemuan terakhir ini menghasilkan kesepakatan mengenai pembentukan Gerakan Angkatan Baroe yang sebagian besar kegiatannya digerakkan oleh para pemuda dari Asrama Menteng. Selain itu ia pun ikut dalam Gerakan Rakyat Baroe yang dibentuk kemudian (Cahyono, 2004 :307).
Wikana lahir di Sumedang, 18 Oktober 1914. Ia terlahir dari keluarga menak (bangsawan) Sumedang. Ayahnya, Raden Raden Haji Soelaiman, pendatang dari Demak, Jawa Tengah.
Lepas dari ELS (Europeesch Lagere School, sekolah dasar yang menggunakan pengantar bahasa Belanda) Wikana melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Semasa muda itulah Wikana sempat menjadi salah satu dari sekian pemuda satelit Bung Karno di Bandung.
Selain menjadi anggota PKI bawah tanah, Wikana juga tercatat pernah aktif sebagai anggota Partai Indonesia (Partindo) yang didirkan oleh Mr Sartono pada 1931 pascapenangkapan Bung Karno. Pada 1938 ketika Barisan Pemuda Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) didirikan, dia terpilih sebagai ketuanya yang pertama. Keyakinannya yang anti-kolonialisme mendorong Wikana aktif mengikuti berbagai organisasi politik yang melawan Belanda secara frontal.
Wikana pada peristiwa pencetusan Proklamasi 1945 melakukan peran paling penting karena berkat koneksinya di Angkatan Laut Jepang atau Kaigun, Proklamasi 1945 bisa dirumuskan di rumah dinas Laksamana Maeda di Menteng yang terjamin keamanannya. Selain itu Wikana juga mengatur semua keperluan Pembacaan Proklamasi di rumah Bung Karno di Pegangsaan 56. Ia juga sangat tegang saat melihat Bung Karno sakit malaria pagi hari menjelang detik-detik pembacaan Proklamasi. Wikana yang membujuk kalangan militer Jepang untuk tidak mengganggu jalannya upacara pembacaan teks proklamasi.
Karier Wikana di politik jalan terus. Dia menjadi tokoh pemuda dari sekian banyak pemuda yang bergerak di pusaran arus revolusi. Ketokohan Wikana mendapatkan pengakuan dan karena itulah dia dipercaya oleh Perdana Menteri Sjahrir untuk duduk sebagai menteri negara urusan pemuda dalam kabinet Sjahrir kedua dan ketiga.
Tapi jalan terang hidup Wikana mulai meredup setelah peristiwa Madiun 1948. Posisinya sebagai Gubernur Militer wilayah Surakarta digantikan oleh Gatot Subroto.
Bersama dengan pejuang-pejuang dari Nasionalis sayap kiri ia menghilang dan baru kembali setelah Dipa Nusantara Aidit melakukan pledoi terhadap kasus Madiun 1948 yang mulai digugat oleh Jaksa Dali Mutiara pada 2 Februari 1955.
Sampai tahun 1950-an dia masih tercatat sebagai anggota Comite Central (CC) PKI yang mulai menggeliat di bawah kepemimpinan triumvirat Aidit, Njoto dan Lukman. Namun praktis Wikana tak memainkan peran penting sebagaimana yang pernah dilakukannya pada era-era awal revolusi. Revitalisasi PKI ditangan DN Aidit membuat Wikana tersingkir dan dianggap bagian dari golongan tua yang tidak progresif. Hal ini sama dengan kasus penyingkiran kaum komunis ex-Digulis oleh anak-anak muda PKI, karena tidak sesuai dengan perkembangan perjuangan komunis yang lebih Nasionalis dan mendekat pada Bung Karno.
Terakhir Wikana tinggal di daerah Simpangan Matraman Plantsoen dalam keadaan miskin dan sengsara karena tidak mendapat tempat di PKI dan diisolir oleh Aidit. Tahun 1965 Waperdam Chaerul Saleh menarik Wikana menjadi anggota MPRS.
Beberapa pekan sebelum peristiwa G30S 1965 terjadi, Wikana berserta beberapa elemen PKI lainnya pergi ke Peking untuk menghadiri perayaan hari Nasional Cina 1 Oktober 1965. Saat itu terdengar kabar dari tanah air ada insiden penculikan dan pembunuhan para jenderal. PKI disalahkan. Delegasi terceraiberai. Wikana meminta anggota delegasi lain untuk tetap berada di Peking selagi menunggu kepastian dari berita yang simpang siur. Dia sendiri memilih pulang ke tanah air.
Kurang dari setahun setelah peristiwa G30S, dia ditangkap. Sempat bermalam di Kodam Jaya namun dipulangkan kembali. Tak berapa lama kemudian segerombolan tentara tak dikenal datang ke rumahnya di Jalan Dempo No. 7 A, Matraman, Jakarta Timur. Mereka membawa Wikana dan sampai hari ini, pemuda garang yang sempat membuat Bung Karno naik pitam itu, tak pernah kembali pulang. Dia hilang tak tentu rimbanya (wikipedia).
Komentar
Posting Komentar