Sekali Di Udara Tetap Di Udara
Pada tanggal 16 Agustus 1945, stasiun radio Hoshokyoku di Bandung mengirim dua teknisinya ke Jakarta untuk kepentingan pembacaan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka membawa mikrofon bermerk Siemens dan segala perlengkapannya. Namun siaran yang ditunggu-tunggu tidak kunjung tiba.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, kedua teknisi itu tiba di Bandung. Dari mereka diketahui bahwa Jepang telah menduduki studio.
Tindakan Jepang untuk menghalangi tersiarnya proklamasi ternyata sia-sia karena hari itu Kantor Berita Domei di Bandung telah menerima kawat berisi teks proklamasi yang kemudian oleh para pemuda pgawai kantor berita itu dimuat di dalam buletin berita Domei. Para wartawan Tjahaja di Bandung dilarang Jepang memuat berita mengenai proklamasi tersebut. Para wartawan menggunakan cara lain, yaitu dengan menuliskan berita teks proklamasi kemerdekaan di papan tulis, lalu dipancangkan di depan kantor. Masyarakat yang melewati segera mengerumuni papan tulis. Seorang wartawan yang bersemangat, Atje Bastaman, mengumumkannya di muka orang banyak. Berita mengenai proklamasi pun beredar dari mulut ke mulut. Dari sebuah percetakan yang dipimpin oleh Sasmita, beredar selebaran mengenai proklamasi dengan huruf merah.
Kendati ada larangan, Sakti Alamsjah (penyiar), dibantu Hasjim Rachman (teknisi), Sofyan Djunaid (teknisi), Sam Amir (penyiar), Abdul Razak (teknisi), Odas Sumadilaga (penyiar), Sutarno Brotokusumo (penyiar) dan R.A. Darya (bagian penyiaran) dari Hoshokyoku, tetap menyiarkan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 pada pukul 19.00 dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Siaran tersebut diulang kembali pada pukul 20.00, 21.00 dan 22.00 waktu Jawa.
Dalam siaran malam itu, Radio Hoshokyoku menggunakan panggilan Radio Republik Indonesia (RRI) untuk pertama kalinya. Siaran dari RRI Bandung tersebut terdengar di AS bahkan di Arab Saudi.
Keesokan harinya RRI Bandung didatangi dua truk pasukan tentara Jepang dan para pegawai RRI Bandung ditangkapi . Sementara yang tidak tertangkap kembali melakukan siaran pada malam hari dengan semboyan : “Sekali di udara tetap di udara” (Sitaresmi dkk., 2002 :43).
Pada tanggal 17 Agustus 1945, kedua teknisi itu tiba di Bandung. Dari mereka diketahui bahwa Jepang telah menduduki studio.
Tindakan Jepang untuk menghalangi tersiarnya proklamasi ternyata sia-sia karena hari itu Kantor Berita Domei di Bandung telah menerima kawat berisi teks proklamasi yang kemudian oleh para pemuda pgawai kantor berita itu dimuat di dalam buletin berita Domei. Para wartawan Tjahaja di Bandung dilarang Jepang memuat berita mengenai proklamasi tersebut. Para wartawan menggunakan cara lain, yaitu dengan menuliskan berita teks proklamasi kemerdekaan di papan tulis, lalu dipancangkan di depan kantor. Masyarakat yang melewati segera mengerumuni papan tulis. Seorang wartawan yang bersemangat, Atje Bastaman, mengumumkannya di muka orang banyak. Berita mengenai proklamasi pun beredar dari mulut ke mulut. Dari sebuah percetakan yang dipimpin oleh Sasmita, beredar selebaran mengenai proklamasi dengan huruf merah.
Kendati ada larangan, Sakti Alamsjah (penyiar), dibantu Hasjim Rachman (teknisi), Sofyan Djunaid (teknisi), Sam Amir (penyiar), Abdul Razak (teknisi), Odas Sumadilaga (penyiar), Sutarno Brotokusumo (penyiar) dan R.A. Darya (bagian penyiaran) dari Hoshokyoku, tetap menyiarkan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 pada pukul 19.00 dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Siaran tersebut diulang kembali pada pukul 20.00, 21.00 dan 22.00 waktu Jawa.
Dalam siaran malam itu, Radio Hoshokyoku menggunakan panggilan Radio Republik Indonesia (RRI) untuk pertama kalinya. Siaran dari RRI Bandung tersebut terdengar di AS bahkan di Arab Saudi.
Keesokan harinya RRI Bandung didatangi dua truk pasukan tentara Jepang dan para pegawai RRI Bandung ditangkapi . Sementara yang tidak tertangkap kembali melakukan siaran pada malam hari dengan semboyan : “Sekali di udara tetap di udara” (Sitaresmi dkk., 2002 :43).
Komentar
Posting Komentar