Yusuf Kunto
Salah seorang pelaku dalam Peristiwa Rengasdengklok adalah Yusuf Kunto. Ia mati muda dalam usia 28 tahun karena radang paru-paru.
Dalam biografi Singgih yang saya sampaikan kemarin, ada setidaknya tiga peranan Kunto: mengantar Chairul Saleh, mengawal Sukarno-Hatta dan menguhubungi para pemuda di Asrama Menteng 31.
"Di Menteng 31 Singgih minta beberapa pemuda menemaninya mengambil Hatta dan Sukarno. Mula-mula ikut Sukarni, Jusuf Kunto dan dr. Muwardi yang mengantarkan Chairul Saleh ke rumah Danu Asmoro di jalan Pekalongan untuk meminjam mobil. Dari Sini, dua buah mobil, satu milik PETA dikemudikan Sampun dan satu milik Danu dikemudikan sendiri, menuju rumah Hatta di Jalan Diponegoro sekarang...Sementara itu para ‘pengawal’ disepakati untuk segera kembali ke Jakarta. Jusuf Kunto harus menghubungi Menteng 31, melaporkan rombongan telah tiba di tempat aman sementara dr. Soetjipto diminta Singgih menghubungi Cudanco Latief menceritakan apa yang sesungguhnya telah terjadi di mana anak-buahnya terlibat." (PPDSM, 26 April 2016).
Biografinya tidak ditemukan dalam naskah-naskah resmi. Meski begitu saya mendapatkannya dari tulisan Prasetyo, seorang blogger yang mendasarkan tulisannya dari Kompas. Berikut ini kisahnya.
Jusuf Kunto dilahirkan di Salatiga, 8 Agustus 1921, terlahir dengan nama Kunto. Ia kemudian mengikuti ayahnya sebagai mantri kesehatan di Tambang Timah, Bangka, Pangkalpinang, Sumatera Selatan.
Kunto kecil akhirnya belajar di Hollandsch Chinesche School, sekolah khusus anak-anak Tionghoa. Perkenalannya dengan kaum pergerakan ikut menentukan jalan hidupnya di kemudian hari dialami ketika melanjutkan pendidikan di Hoogere Burgerschool (HBS) Semarang pada 1933.
Suatu ketika ia nyaris menikam polisi Belanda dalam sebuah pertikaian. Ia pun kabur dan bersembunyi di rumah salah satu familinya. Lantas, ia mengubah namanya menjadi Jusuf Kunto. Nama Jusuf tersebut diambil dari nama depan keluarga kakak sepupunya, Mr Jusuf Suwondo.
Buronan Politieke Inlichting Dienst (PID/polisi dinas keamanan negara) itu lalu diselundupkan ke Jepang sampai akhirnya menyelesaikan pendidikan di politeknik pada Waseda University di Tokyo. Ketika itu hampir bersamaan dengan persiapan Jepang memasuki Perang Asia Timur Raya.
Jusuf Kunto termasuk rombongan terakhir pemuda-pemuda Jepang yang direkrut menjadi pilot tempur Jepang di California, Amerika Serikat. Kompas menyebutkan bahwa bahwa Jusuf Kunto sangat boleh termasuk salah seorang pilot tempur pertama orang Indonesia.
Ia sempat bergabung di salah satu skuadron Jepang dan menyerang Kepulauan Hawaii serta beberapa pulau di Pasifik. Ia juga melakukan pengintaian dan pengeboman di Port Moresbi (Papua Timur). Ketika terlibat dogfight (pertempuran udara) di Morotai dan Halmahera, pesawatnya tertembak jatuh. Kapten Penerbang Jusuf Kunto terluka parah dan dibawa ke Jakarta untuk dirawat di RS Dr Cipto Mangunkusumo sekarang.
Di sanalah dia membina hubungan baik dengan para pejuang. Terutama kalangan mahasiswa Ika Daigaku (Fakultas Kedokteran). Di antaranya, Prof Dr Murtiningrum (alm), yang kemudian disunting menjadi istrinya pada 1942. Jusuf kemudian desersi sebagai tentara Jepang dan melakukan kegiatan di bawah tanah dengan banyak pemuda.
Pada 1944 ia melakukan tindakan berbahaya dengan memasok amunisi dan senjata untuk para pemuda di Bandung. Jusuf juga melatih mereka bertempur. Ia juga tak jarang memecahkan sandi-sandi serdadu Jepang berkat kemampuan dan pengalamannya selama bergabung sebagai pilot Negeri Sakura.
Setelah kemerdekaan RI, Jusuf Kunto bergabung ke Badan Keamanan Rakyat (BKR). Karir militernya melambung ketika ia menjabat Staf Oemoem I (SO-I) di Markas Besar Tentara (MBT) di Benteng Vredenburg, Jogjakarta. Saat Agresi Militer Belanda, ia memindahkan markasnya dari Jogja ke Pakem.
Kesehatannya makin menurun ketika terkena radang paru-paru tanpa adanya bantuan dokter dan obat. Mayor Jusuf Kunto akhirnya wafat pada 2 Januari 1949 dalam usia 28 tahun. ”Sang Penculik” itu dimakamkan pekuburan Badran, dekat kuburan Cina di sebelah barat Stasiun Tugu, Jogjakarta ( Kompas edisi 15 Agustus 1996 dalam Eko Prasetyo, kompasiana, 19 Juli 2013).
Dalam biografi Singgih yang saya sampaikan kemarin, ada setidaknya tiga peranan Kunto: mengantar Chairul Saleh, mengawal Sukarno-Hatta dan menguhubungi para pemuda di Asrama Menteng 31.
"Di Menteng 31 Singgih minta beberapa pemuda menemaninya mengambil Hatta dan Sukarno. Mula-mula ikut Sukarni, Jusuf Kunto dan dr. Muwardi yang mengantarkan Chairul Saleh ke rumah Danu Asmoro di jalan Pekalongan untuk meminjam mobil. Dari Sini, dua buah mobil, satu milik PETA dikemudikan Sampun dan satu milik Danu dikemudikan sendiri, menuju rumah Hatta di Jalan Diponegoro sekarang...Sementara itu para ‘pengawal’ disepakati untuk segera kembali ke Jakarta. Jusuf Kunto harus menghubungi Menteng 31, melaporkan rombongan telah tiba di tempat aman sementara dr. Soetjipto diminta Singgih menghubungi Cudanco Latief menceritakan apa yang sesungguhnya telah terjadi di mana anak-buahnya terlibat." (PPDSM, 26 April 2016).
Biografinya tidak ditemukan dalam naskah-naskah resmi. Meski begitu saya mendapatkannya dari tulisan Prasetyo, seorang blogger yang mendasarkan tulisannya dari Kompas. Berikut ini kisahnya.
Jusuf Kunto dilahirkan di Salatiga, 8 Agustus 1921, terlahir dengan nama Kunto. Ia kemudian mengikuti ayahnya sebagai mantri kesehatan di Tambang Timah, Bangka, Pangkalpinang, Sumatera Selatan.
Kunto kecil akhirnya belajar di Hollandsch Chinesche School, sekolah khusus anak-anak Tionghoa. Perkenalannya dengan kaum pergerakan ikut menentukan jalan hidupnya di kemudian hari dialami ketika melanjutkan pendidikan di Hoogere Burgerschool (HBS) Semarang pada 1933.
Suatu ketika ia nyaris menikam polisi Belanda dalam sebuah pertikaian. Ia pun kabur dan bersembunyi di rumah salah satu familinya. Lantas, ia mengubah namanya menjadi Jusuf Kunto. Nama Jusuf tersebut diambil dari nama depan keluarga kakak sepupunya, Mr Jusuf Suwondo.
Buronan Politieke Inlichting Dienst (PID/polisi dinas keamanan negara) itu lalu diselundupkan ke Jepang sampai akhirnya menyelesaikan pendidikan di politeknik pada Waseda University di Tokyo. Ketika itu hampir bersamaan dengan persiapan Jepang memasuki Perang Asia Timur Raya.
Jusuf Kunto termasuk rombongan terakhir pemuda-pemuda Jepang yang direkrut menjadi pilot tempur Jepang di California, Amerika Serikat. Kompas menyebutkan bahwa bahwa Jusuf Kunto sangat boleh termasuk salah seorang pilot tempur pertama orang Indonesia.
Ia sempat bergabung di salah satu skuadron Jepang dan menyerang Kepulauan Hawaii serta beberapa pulau di Pasifik. Ia juga melakukan pengintaian dan pengeboman di Port Moresbi (Papua Timur). Ketika terlibat dogfight (pertempuran udara) di Morotai dan Halmahera, pesawatnya tertembak jatuh. Kapten Penerbang Jusuf Kunto terluka parah dan dibawa ke Jakarta untuk dirawat di RS Dr Cipto Mangunkusumo sekarang.
Di sanalah dia membina hubungan baik dengan para pejuang. Terutama kalangan mahasiswa Ika Daigaku (Fakultas Kedokteran). Di antaranya, Prof Dr Murtiningrum (alm), yang kemudian disunting menjadi istrinya pada 1942. Jusuf kemudian desersi sebagai tentara Jepang dan melakukan kegiatan di bawah tanah dengan banyak pemuda.
Pada 1944 ia melakukan tindakan berbahaya dengan memasok amunisi dan senjata untuk para pemuda di Bandung. Jusuf juga melatih mereka bertempur. Ia juga tak jarang memecahkan sandi-sandi serdadu Jepang berkat kemampuan dan pengalamannya selama bergabung sebagai pilot Negeri Sakura.
Setelah kemerdekaan RI, Jusuf Kunto bergabung ke Badan Keamanan Rakyat (BKR). Karir militernya melambung ketika ia menjabat Staf Oemoem I (SO-I) di Markas Besar Tentara (MBT) di Benteng Vredenburg, Jogjakarta. Saat Agresi Militer Belanda, ia memindahkan markasnya dari Jogja ke Pakem.
Kesehatannya makin menurun ketika terkena radang paru-paru tanpa adanya bantuan dokter dan obat. Mayor Jusuf Kunto akhirnya wafat pada 2 Januari 1949 dalam usia 28 tahun. ”Sang Penculik” itu dimakamkan pekuburan Badran, dekat kuburan Cina di sebelah barat Stasiun Tugu, Jogjakarta ( Kompas edisi 15 Agustus 1996 dalam Eko Prasetyo, kompasiana, 19 Juli 2013).
Komentar
Posting Komentar