Proklamasi dari Cirebon

Suatu pagi seusai salat subuh, dari sebuah hotel di dekat Stasiun KA Cirebon, saya berjalan berdua dengan dr. Iwan menyusuri jalan menuju alun alun Cirebon. Tiba di perempatan Kejaksaan kami mengagumi sebuah tugu bersejarah di situ. Tentang tugu itu saya ingin berbagi cerita.

Para pemuda yang kecewa kepada Sukarno dan Hatta yang lambat dalam memproklamasikan kemerdekaan meminta Sjahrir  untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sjahrir menolak ide tersebut. Meski begitu kawat untuk memerdekakan Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1945 sudah terkirim ke Cirebon. Kawat pembatalan belum sempat terkirim.

Para pemuda Pesindo dan pengikutnya dalam PNI Pendidikan melakukan rapat  untuk membacakan proklamasi.
Pengikut Sjahrir di Cirebon cukup banyak karena Cirebon adalah basis PNI Pendidikan di luar Bandung. Salah satunya adalah dr. Soedarsono yang merupakan seorang dokter dan kepala rumah sakit Kesambi di Cirebon . Soedarsono dipilih untuk membacakan teks proklamasi. (Soedarsono adalah ayah Yuwono  Soedarsono dan paman Sarwono Koesoemaatmadja).

Pada tanggal 16 Agustus dr. Soedarsono di depan sekitar 100-150 anggota PNI Pendidikan dan pemuda Pesindo membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia di alun-alun kota Cirebon. Dengan demikian kota Cirebon merdeka lebih cepat dari Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia.  Sayang sampai sekarang teks proklamasi yang ditulis Sjahrir dan dibacakan oleh dr. Soedarsono tidak diketemukan. Proklamasi sempat tersebar hingga ke Plered, Plumbon bahkan kota-kota lainnya.

Untuk mengenang peristiwa bersejarah itu, di persimpangan Kejaksan didirikan sebuah tugu proklamasi yang masih ada hingga saat ini. Tentu saja ini merupakan kebanggan tersendiri bagi warga Cirebon.

“Akan tetapi tidak ada konfirmasi mengenai peristiwa ini; cerita mengenai pembacaan teks proklamasi Sjahrir itu hanya datang dari kalangan [PNI] Pendidikan. Sjahrir sendiri, kemudian dalam kisahnya, hanya menyinggung secara singkat saja peristiwa itu,” tulis Mrazek.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan