Kabinet Sjahrir Dibentuk Kembali
Berkenaan dengan usul-usul Belanda, pada tanggal 21 Februari 1946, Badan Pekerja KNIP menyatakan pendapatnya bahwa hanya Republik Indonesialah yang berdaulat di seluruh Indonesia. Pada sidang lengkap ke-3 KNIP di Solo, tanggal 28 Februari 1946, Syahrir mengundurkan diri dan kabinet dibubarkan karena oposisi Persatuan Perjuangan. Namun dalam sidang KNIP tanggal 2 Maret 1946, Sjahrir membentuk kabinet baru dengan pokok program:
1. Berunding atas dasar pengakuan Republik Indonesia Merdeka (100%);
2. Mempersiapkan rakyat negara di segala lapangan politik, ketentraman, ekonomi dan sosial untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia;
3. Menyusun pemerintahan pusat dan daerah yang demokratis;
4. Berusaha segiat-giatnya untuk menyempurnakan pembagian makanan dan pakaian;
5. Tentang perusahaan dan perkebunan hendaknya oleh pemerintah diambil tindakan-tindakan seperlunya hingga memenuhi maksud sebagai termaktub dalam Undang-undang Dasar Pasal 33 (Supeni, 2001 : 246-247).
Program tersebut oleh golongan oposisi (Persatuan Peerjuangan) dianggap tidak bisa diterima karena tidak sesuai dengan programnya sendiri seperti yang sudah disusunnya di Solo pada tanggal 15 Januari 1946 sebagai berikut :
1. berunding dengan tujuan pengakuan kemerdekaan 100 %;
2. pemerintah rakyat (dalam arti kemauan tentara harus sesuai kemauan rakyat;
3. tentara rakyat (dalam arti kemauan tentara harus sesuai dengan kemauan rakyat);
4. menyelenggarakan tawanan Eropa;
5. melucuti senjata Jepang;
6. menyita hak dan milik musuh;
7.
menyita perusahaan (pabrik, bengkel, dll) dan
pertanian (perkebunan, pertambangan, dll) dari musuh (Purwoko, 2004 : 136).
Sementara mengenai aksi protes yang dilakukan beberapa partai politik, Presiden Soekarno pada 11 Maret dengan tegas mendukung Kabinet Sjahrir yang baru dan memberi kekuasaan sepenuhnya kepada PM Sjahrir untuk melanjutkan diplomasi mewujudkan pengakuan dunia internasional terhadap kedaulatan Republik Indonesia.
Komentar
Posting Komentar