Mencegah Keterlibatan Uni Sovyet

Pada pertemuan  Sir Archibald Kerr dan Syahrir  tanggal 12 Maret sehari sebelum negosiasi Indonesia-Belanda berlangsung,  secara serius Kerr  membahas usulan Syahrir di kaitkan dengan perkembangan dunia setelah pasca Perang Dunia II, yakni :

“(f) dalam beberapa waktu kemudian, sebuah lembaga uni federal akan dibentuk antara pihak Belanda dengan Indonesia, yang mana hubungan luar negeri dan pertahanan antara kedua pemerintahan, akan di susun bersama dalam suatu wadah federal yang terdiri dari perwakilan-perwakilan Belanda-Indonesia , dan;

(g) Wadah Federal ini harus menjamin untuk melindungi dasar hak-hak asasi, administrasi pemerintahan yang baik dan teratur, dan penyusunan kebijakan keuangan, dan mengimplementasi perjanjian sesuai butir (f). “

Kedua butir tersebut memungkinkan keterlibatan PBB mengatasi keadaan.  Usulan Sjahrir ini justru menimbulkan kekwatiran di saat dunia mulai menjurus kearah Perang Dingin yang membagi dunia dalam dua kekuatan ideologi. Lagi pula Uni-Soviet yang muncul sebagai kekuatan baru dari hasil Perang Dunia II, dan mulai memperlihatkan sikap agresif untuk mengimbangi AS. Syahrir mengkwatirkan posisi Indonesia, apalagi dengan usulan “simpatik” dari Ukraina di Dewan Keamanan PBB yang mendukung kemerdekaan Indonesia dan menuntut keterlibatan PBB. Ukraina adalah bagian dari Uni-Soviet yang menjadi induknya. Sedangkan Uni-Soviet giat melakukan pendekatan dengan bangsa-bangsa bekas jajahan negeri-negeri Barat di Asia-Afrika untuk memasuki kubu komunis menghadapi kapitalis Barat. Itu sebabnya hingga usulan Dimitry Z. Manuilsky wakil Ukraina di topang Andrei Y. Vyshinsky, wakil Soviet di PBB yang ternyata merekayasa dalam usaha Soviet merangkul Indonesia berada di pihaknya. Indikasi pengaruh Soviet sudah dilihat oleh Sjahrir, dan di Jawa sangat rentan pengaruh komunisme yang tumbuh sejak lama.  Sekalipun diberangus baik oleh Belanda maupun Jepang,  kelompok-kelompok “revolusioner” sayap kiri ini tumbuh subur terutama pada suasana Revolusi Sosial dan Revolusi Perjuangan kemerdekaan. “Nampaknya hantu Vyshinsky mulai membayang-bayangi saya,” kelakar Syahrir kepada Kerr. Baik Archibald Kerr maupun Sjahrir berusaha mencegah keterlibatan Uni-Soviet dalam mengatasi kemelut di Indonesia melalui forum PBB.

Usulan Indonesia dikemukakan kepada Van Mook pada pertemuan Indonesia-Belanda 13 Maret 1946 dikediaman Archibald Kerr. Setelah membaca usulan itu, Letnan Gubernur Jendral van Mook mengusulkan usulan ini tidak untuk disiarkan secara terbuka dan hanya bagi kalangan terbatas saja atau konfidensial. Karena bila di umumkan secara terbuka, negosiasi ini akan berantakan.  Setelah melakukan pembicaraan tertutup dengan Kerr, Van Mook pada prinsipnya tidak keberatan atas usulan Syahrir dan akan berusaha mengakomodasikan. Van Mook meminta waktu, karena usulan Indonesia ini akan dipelajari pemerintah Den Haag.

Seminggu kemudian di Den Haag terbentuk sub-komisi memperlajari isi dari usulan itu. Pada 21 Maret muncul laporan yang menemui jalan buntu. Dari hasil laporan para sub-komisi memperlihatkan bahwa tuntutan Indonesia untuk memperoleh pengakuan internasional tetap ditolak oleh kerajaan Belanda. Menghadapi situasi itu, Van Mook bertambah pusing, karena Den Haag mengabaikan ancaman keterlibatan Uni-Soviet di Indonesia. Van Mook kemudian memutar otak, dan mulai mempelajari cara Prancis menghadapi Vietnam yang pada 6 Maret 1946 yang dapat diatasi melalui penandatanganan antara J. Saineny dengan Ho Chi Minh. Pada penandatanganan itu, Ho Chi Minh tidak mempersoalkan kemerdekaan terhadap seluruh Indo-Cina. Cara ini ingin dilakukan van Mook untuk mengatasi konflik politik Indonesia-Belanda. Pada perjanjian Prancis-Vietnam itu ditetapkan Prancis mengakui kemerdekaan Vietnam sebagai bagian dari federasi Indo-Cina, dan federasi ini berada di lingkungan Uni-Prancis. Van Mook ingin menggunakan konsep ini dan berusaha meyakinkan pemerintah Den Haag bahwa Republik Jawa berada dalam konfederasi, dan Indonesia tetap berada di wilayah Persekemakmuran pimpinan Kerajaan Belanda. Dengan menggunakan model Vietnam ini Belanda harus mengakui keberadaan Republik yang menguasai beberapa daerah, dan Republik ini akan menyetujui menjadi anggota Persekemakmuran dibawah Uni-Belanda.

Pada 25 Maret Van Mook memasukkan empat pasal dari Persetujuan 6 Maret 1946 yakni:

(1) Pihak Belanda akan mengakui secara de facto keberadaan Republik di Jawa. Republik ini akan bekerja sama dengan pemerintah Belanda dalam pembentukan negara Federasi Indonesia, dengan Republik sebagai partner;

 (2) Pihak Republik akan setuju pendaratan pasukan Belanda untuk membantu Sekutu menjalankan proses perlucutan senjata tentara Jepang dan evakuasi para internir;

 (3) Masing-masing pihak akan menghentikan konflik;

(4) Pemerintah Belanda akan berkonsultasi dengan pihak Republik mengenai struktur politik dalam menjalin hubungan antara Indonesia dengan pemerintah Belanda di masa depan. Van Mook mengatakan bahwa pengadaan keempat pasal ini berbentuk draft dan harus di setujui pemerintah Den Haag. Ide ini dikemukakan Van Mook kepada Archibald Kerr.

Kemenangan Konsesi Politik Sjahrir

Syahrir dalam pertemuan itu melihat adanya peluang untuk memperoleh konsesi mengikis anti-Indonesia di dunia internasional. Di mata dunia, Belanda menyodorkan berbagai usulan sementara Sjahrir berusaha membuat keadaan sebaik mungkin untuk tidak merugikan posisi Indonesia dan memperoleh kembali simpati di mata dunia internasional dengan tidak langsung mengklaim seluruh wilayah bekas Hindia-Belanda.

Konsesi ini dilakukan pada pertemuan pertama sub-komite yang berlangsung pada 27 Maret yang membahas keempat pasal usulan dari Van Mook. Pertemuan itu tidak dihadiri baik oleh Van Mook maupun Syahrir dan para pesertanya hanya penasehat-penasehat khusus dari kedua belah pihak. Pada pertemuan itu delegasi Indonesia meminta agar selain Jawa, juga Sumatra dan Sulawesi Selatan (daerah Makassar dimasukkan dalam wilayah Republik. Permintaan konsesi ini adalah permintaan langsung dari Sjahrir. Setelah melalui perdebatan panjang dan sengit, disepakati bahwa kekuataan wilayah Republik yang diakui adalah Jawa dan Sumatra. Sungguhpun begitu status dan masa depan wilayah-wilayah non-Republik di luar Jawa-Sumatra akan di konsultasikan dengan pihak Republik.

Konsesi politik Sjahrir merupakan kemenangan besar di pihak Republik, dan tidak memuaskan  Van Mook, karena Sumatra yang kaya dan potensial bagi kepentingan perekonomian Belanda lepas dari kendali Belanda. Kekecewaan ini disampaikan Van Mook kepada atasannya, Mr. Johan H. A. Logemann pada suratnya 30 Maret 1946. Pada hari yang sama, dalam pertemuannya dengan Sjahrir, Van Mook mengatakan kepada wakil-wakil Republik bahwa masuknya Sumatra sebagai bagian dari Republik tanpa kehadirannya dapat menimbulkan masalah di masa datang.  Sungguhpun begitu ia menghargai hasil pertemuan sub-komite itu dan mengharapkan akan berlanjut. Pernyataan ini juga disambut oleh Syahrir dan berharap akan berlanjut juga di negeri Belanda. Pernyataan ini terjadi karena Van Mook tidak memperlihatkan sikap menentang dari hasil keputusan sub-komite itu.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan