Pemberontakan Serdadu Indonesia di Minahasa
Pada bulan Desember 1945-Januari 1946, Belanda mulai menggantikan Australia di Indonesia Timur (Ricklefs, 2001 : 447).
Ditengah-tengah kesibukan perjuangan dan diplomasi, pada tanggal 14 Februari 1946 bekas tentara
KNIL di Manado melakukan alih kekuasaan di Minahasa dipimpin oleh Taulu dan Wuisan.
Aksi kudeta militer itu yang berjalan singkat. Pemerintah yang mereka dirikan
berlangsung selama 26 hari. Bendera Merah-Putih yang mulanya berkibar di markas
militer di daerah Teling, kemudian dikibarkan di berbagai pelosok Minahasa.
Tetapi kekuasaan mereka tak lama, karena berhasil dipatahkan oleh pasukan KNIL melalui tipu-muslihat dalam perundingan di kapal Belanda, “Piet Hien” di Pelabuhan Manado. Banyak yang ditangkap termasuk Taulu. Mereka di krim ke Jawa dan dijebloskan di penjara Nusa Kambangan. Sementara pemuda-pemuda lainnya melakukan aksi gerilya melawan pendudukan Belanda (Supeni, 2001 : 245-246).
Peristiwa Merah Putih pada 14 Februari 1946
Dalam Peristiwa Merah Putih di Manado, para pemuda yang tergabung dalam pasukan KNIL kompi VII di bawah pimpinan Ch. Ch. Taulu bersama dengan rakyat melakukan perebutan kekuasaan di Manado, Tomohon, dan Minahasa pada tanggal 14 Februari 1946. Sekitar 600 orang pasukan dan pejabat Belanda berhasil ditawan. Pada tanggal 16 Februari 1946, dikeluarkan selebaran yang menyatakan bahwa kekuasaan di seluruh Manado telah berada di tangan bangsa Indonesia.
Untuk memperkuat kedudukan Republik Indonesia, para pemimpin dan pemuda menyusun pasukan keamanan dengan nama Pasukan Pemuda Indonesia yang dipimpin oleh Mayor Wuisan. Bendera Merah Putih dikibarkan di seluruh pelosok Minahasa hampir selama satu bulan, yaitu sejak tanggal 14 Februari 1946. Di pihak lain, Dr. Sam Ratulangi diangkat sebagai Gubemur Sulawesi dan mempunyai tugas untuk memperjuangkan keamanan dan kedaulatan rakyat Sulawesi.
Ia memerintahkan pembentukan Badan Perjuangan Pusat Keselamatan Rakyat. Dr. Sam Ratulangi membuat petisi yang ditandatangani oleh 540 pemuka masyarakat Sulawesi. Dalam petisi itu dinyatakan bahwa seluruh rakyat Sulawesi tidak dapat dipisahkan dari Republik Indonesia. Dengan adanya petisi tersebut, pada tahun 1946 Sam Ratulangi ditangkap dan dibuang ke Serui (Irian Barat). Peristiwa ini hingga saat ini dikenang dalam sejarang bangsa Indonesia peristiwa merah putih di Manado (Aspirasi, 14 Februari, 2018).
Pemimpin perjuangan Ch Taulu kemudian pada tanggal 15 Februari 1946 mengeluarkan Maklumat Nomor 1 yang berisi:
1. Kemarin malam jam 01.00 tanggal 14 Februari 1946, oleh pejuang-pejuang KNIL dibantu para pemuda telah merebut kekuasaan dari pemerintahan Belanda (NICA) Sulawesi Utara dalam rangka mempertahankan Kemerdekaan RI yang diproklamirkan Ir Soekarno dan Mohammad Hatta;
2. Rakyat Diminta membantu sepenuhnya perjuangan itu;
3. Kepada pejuang untuk mengambil alih pemerintahan Belanda;
4. Keamanan di seluruh Sulut dijamin Tentara RI Sulawesi Utara;
5. Kantor-kantor pemerintaha harus bekerja seperti biasa;
6. Kegiatan ekonomi harus tetap jalan seperti biasa (pasar-pasar, toko-toko, sekolah-sekolah). Bila ada pasar atau toko tidak buka akan disita;
7. Barangsiapa yang berani melakukan pengacauan berupa penganiayaaan, penculikan, perampokan, pembunuhan dan sebagai akan segera dihukum mati di muka umum.
Pada tanggal 16 Februari 1946 diadakan rapat umum di gedung Minahasa Raad yang dipimpin pucuk pimpinan Ketentaraan Indonesia di Sulawesi Utara dihadiri oleh Kepala-Kepala Distrik dan onderdistrik di Minahasa, Raja dari Bolaang Mongondow, Kepala daerah Gorontalo, Pemimpin-pemimpin dan Pemuka-Pemuka Indonesia dan menetapkan BW Lapian menjadi Kepala Pemerintahan Sipil Sulawesi Utara. Keputusan tersebut dimuat dalam Maklumat No. 2 yang ditandatangani Letkol Ch Taulu, SD Wuisan, J Kaseger, AF Nelwan dan F Bisman.
Untuk melaksanakan pemerintahan sipil, BW Lapian dibantu oleh DA Th Gerungan (keprintahan), AIA Ratulangi (keuangan), Drh Ratulangi (perekonomian), Dr Ch Singal (kesehatan), E Katoppo (PPK), Hidayat (kehakiman), SD Wuisan (kepolisian), Wolter Saerang (penerangan), Max Tumbel (pelabuhan/pelayaran).
Peristiwa Merah Putih ini menjadi perhatian khusus Sekutu yang bermarkas di Makassar dengan mengirimkan Letkol Purcell yang didampingi pimpinan NICA-Belanda dan Panglima KNIL Kol Giebel untuk berunding dengan BW Lapian yang ditetapkan sebagai Kepala Pemerintahan Sipil dan Letkol Ch Ch Taulu yang menjadi Komandan Militer yang membawahi Tentara Republik Indonesia Sulawesi Utara (TRISU) di atas Kapal El Libertador (Supeni menyebutnya di atas kapal Piet Hein).
Tapi karena tidak terjadi kata sepakat, akhirnya pada 24 Februari 1946 di Teling-Manado Kolonel Purcell menyatakan tentara Sekutu berperang dengan kekuasaan Sulawesi Utara. Karena semua daerah telah diblokade, dan sejumlah tentara KNIL asal Sulut berbalik memihak Belanda akhirnya pada 11 Maret 1946 Pemerintahan Sulawesi Utara (Lapian-Taulu) menyerah kepada Sekutu.
Peristiwa ini telah menghebohkan dunia, karena telah disiarkan radio-radio Australia, San Franscisco dan BBC London. Bahkan Harian Merdeka di Jakarta menulis berita tentang ‘’Pemberontakan Besar di Minahasa’’. Peristiwa ini juga menjadi pukulan bagi tentara Sekutu (AS-Inggris-Belanda), karena berdampak pada 8.000 tawanan tentara Jepang di Girian yang harus dideportasikan ke Jepang.
Soekarno menilai peristiwa ini sangat berati. Tak heran ketika memperingati Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 yang dilaksanakan di istana negara pada 10 Maret 1965, Presiden Soekarno menyebutnya sebagai Hari Sulawesi Utara (Aspirasi, 14 Februari 2018).
Komentar
Posting Komentar