Laskar Wanita Indonesia

 


Laskar Wanita Indonesa (Laswi) bermarkas di Jalan Pangeran Sumedang ( Jl. Oto Iskandar Dinata) dibentuk oleh Yati Arudji Kartawinata pada tanggal 12 Oktober 1945 (Karmas dan Amar dalam Sitaresmi, 2002 : 50-51). Sumber lain mengatakan bahwa Laswi berdiri di Bandung pada tanggal 12 November 1945.

Tujuan pembentukan Laswi adalah untuk membantu para pejuang laki-laki baik di garis depan maupun di garis belakanga. Anggota Laswi yang sebagian besar pelajar putri tersebut mendapat latihan pembinaan fisik dan mental, kemiliteran (baris berbaris, penggunaan senjata, taktik gerilya), palang merah, intelejen dan lain lain.

Persenjataan yang dimiliki Laswi itu waktu itu berupa bambu runcing, pistol, mouser dan keris. Mereka membangun perluasan ke daerah-daerah lain  dan merekrut anggota dari kalangan pelajar, ibu rumah tangga, hingga janda. Mereka menjalankan taktik gerilya serta mengadakan penyusupan secara diam-diam (Indah Prsetya Putri,  Laskar Putri  Indonesia, FIS UNY : 2014).

Dapur Umum

Saat peristiwa Bandung Lautan Api, Laswi mundur ke selatan Bandung dengan menggunakan gerobak dan berjalan kaki. Kemudian sesampai di Ciparay, mereka mendirikan markas Laswi.

Laswi ditugaskan Soetoko (pimpinan MB3), untuk menyediakan makanan bagi para pejuang yang bertugas di garis depan. Segala daya upaya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan para pejuanga. Kesibukan mereka tidak kalah dengan kesibukan pejuang yang sedang menyusun strategi pertempuran.

Dapur umum Laswi menjadi instalasi yang dianggap penting oleh tentara Belanda, untuk diserang. Banyaknya serangan menyebabkan dapur umum dipindahkan ke Majalaya. Namun serangan tidak berkurang. Sekitar pertengahan Agustus 1946, terjadi pertempuran yang dilakukan tentara Inggris di Majalaya. Dapur umum hancur karena gempuran bom. Empat orang anggota Laswi gugur. Kemudian dapur umum dipindahkan ke Desa Sagara, di atas Majalaya (Sa’ariah Sartje, 14 Agustus 1977).

Mengurus Kuda.

Alat transportasi saat mengungsi adalah gerobak yang ditarik kuda. Tugas ini diserahkan ke seorang anggota Laswi bernama Willy. Saat di pengungsian, kordinator MDPP , Soetoko, menugaskan Willy mengurus 25 ekor kuda yang entah didapat dari mana. Willy dibantu oleh Patimah dan Sekarningsih. Tugas mereka memandikan, memberi makan dan menunggangi kuda (Willy Sukirman, 24 Oktober 1977).


Keberanian Laswi

Para pejuang yang tergabung dalam Laswi terkenal pemberani dan garang, beberapa dari mereka bahkan mampu memenggal kepala Gurkha meski karena membela diri. Seperti yang dilakukan Willy, dengan pedang Gunto, ditebasnya kepala Gurkha. Potongan kepala Gurkha diserahkan Willy ke komandan LASWI, Ibu Arudji, sebagai bukti bahwa Pemuda Bandung bukanlah Peujeum Bol. Susilowati agak lebih ekstrim. Setelah memenggal kepala Gurkha, ditengtengnya potongan kepala sambil berjalan sepanjang Jalan Raya Barat,melalui Cibadak, sampai ke Markas Divisi III di Regentsweg. Seperti dikisahkan Nasution berikut ini :

"Saya duduk di depan saya berkantor...datanglah Susilowati naik kuda...wanita naik kuda gagah juga ya. Tahutahu loncat dari kudanya masuk kamar saya. Ditaruhlah di meja saya, depan saya, kepala Gurkha. Kepala Gurkha di depan saya dan apa itu ribbon ...apa itu, tandatanda bintangnya juga ditaruh di depan saya... Susilowati, saya kira yang terbaik sebagai peringatan. Nah, itu pemberani." (A.H. Nasution, 1 Mei 1977).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan