Penculikan Sutan Sjahrir

 


Setelah kegagalan perundingan Hooge Veluwe tanggal 23 April, langkah-langkah diplomasi berjalan terus. Pada tanggal 2 Mei 1946 diadakan perjan jian antara Republik dan Sekutu.  (1) Republik akan mengirim bahan makanan ke tempat-tempat yang dikuasai tentara Sekutu; dan (2) tentara Sekutu akan mengirim mesin-mesin dan alat-alat pertanian kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Sementara itu pemerintah Belanda memajukan usul-usul sebagai berikut : (1) mengakui Indonesia sebagai bagian dari Commonwealth Indonesia yang berbentuk federasi; (2) Commonwealth Indonesia Serikat di satu pihak, dengan Nederland, Guyana dan Antillen di pihak lain, akan merupakan bagian dari Kerajaan Belanda; (3) Pemerintah Belanda akan mengakjui Republik Indonesia de facto mengusai seluruh Jawa, Madura dan Sumatra kecuali daerah-daerah yang sudah dikuasai Inggris dan Belanda.

Pada tanggal 8 Mei Konsul Jendral Inggris- Mc. Kerret,  Konsul Jendral AS-Walter Fote, Jendral Mansergh bertemu dengan P.M. Sjahrir untuk bertukar pikiran. Pada tanggal 16 Mei Semarang diserahkan kepada Belanda oleh Inggris. Pada tanggal 28 Mei pasukan bermotor Belanda menyerbu Tangerang. Dalam kekacauan itu baik penduduk pribumi maupun Tionghoa menjadi korban.  Sebelumnya pada tanggal 15 April pertahanan Republik di Jakarta bagian barat diserang Belanda. Bandung Selatan sudah diserahkan oleh Inggris kepada Belanda di bawah pimpinan Kolonel Meyer, pada tanggal 16 April .

Pada sidang DPA (Dewan Pertimbangan Agung) yang pertama tanggal 3 Juni 1946, Sjahrir menerangkan bahwa : (1) Perjanjian dengan Belanda haruslah perjanjian antara dua belah pihak yang sama derajatnya, tidak sebagai protokol yang diberikan oleh Den Haag; (2) Pemerintah Republik mencoba menyelesaikan soal Indonesia dengan jalan damai, tapi siap sedia menghadapi segala kemungkinan

Karena Belanda melakukan serangan di mana-mana dan situasi politik menjadi genting, maka pada tanggal 7 Juni 1946, Presiden mengumumkan bahwa seluruh Jawa dan Madura dalam keadaan bahaya.

Pada tanggal 5 Juni, Pemerintah menolak usul-usul Pemerintah Belanda. Pada tanggal 17 Juni, Sjahrir menyampaikan usul balasan Indonesia kepada Dr. Van Mook yang isinya sebagai berikut : (1) Belanda supaya mengakui Republik Indonesia de facto menguasai seluruh Jawa, Sumatera dan Madura; (2) Pembentukan negara Indonesia yang merdeka, yang meliputi seluruh Indonesia, yang mengadakan perhubungan persahabatan dengan Belanda. Pada tanggal 23 Juni  P.M. Sjahrir melakukan pertemuan non formal dengan Van Mook dan mengusulkan peletakan senjata (cease fire). Sementara itu  pada tanggal 18 Juni, Republik telah selesai mengangkut tentara Jepang dari Malang menuju Probolinggo dan selanjutnya dibawa ke Pulau Galang. Jumlahnya adalah 35.545 orang.



Situasi politik yang memanas ditandai dengan penculikan P.M.  Sjahrir dan kawan-kawannya pada tanggal 27 Juni 1946 oleh suatu kelompok bersenjata saat Sjahrir berada di Solo sepulang dari turba ke Jawa Timur. Ada yang mengatakan itu terjadi pada tanggal 26 dan dilakukan oleh kelompok oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah Belanda karena sangat merugikan perjuangan Bangsa Indonesia saat itu.

 Keesokan harinya, tanggal 28 Juni, Presiden Sukarno menyatakan seluruh Indonesia dalam keadaan bahaya. Pada tanggal 29 Juni kekuasaan penuh berada di tangan Presiden. Dalam pidato radio tanggal 30 Juni Presiden berseru supaya P.M. Sjahrir segera dikembalikan dalam keadaan selamat. Pada tanggal 1 Juni 1946, P.M. Sjahrir dkk selamat kembali di Yogyakarta pada pukul 04.00. Pada saat yang sama suatu kelompok bersenjata mencoba menculik Menteri Pertahanan, Mr. Amir Sjarifuddin (Supeni, 2001 : 240-251).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan