Perundingan Hooge Veluwe.
Sebagai kelanjutan dari perundingan antara Sjahrir dan Van Mook di Jakarta pada tanggal 27 Maret 1946, pada tanggal 8 April 1946 delegasi Indonesia, Clark Kerr dan Van Mook tiba di Belanda (Supeni, 2001 : 248). Delegasi Indonesia terdiri dari W. Soewandi, Sudarsono dan A.K Pringgodigdo. Sedangkan pihak Belanda terdiri dari Van Mook, Van Royen, Idenburg, Van Asbeck, Sultan Hamid II, Soeria Santoso, dan Logeman sebagai delegasinya. Dalam perundingan ini, Inggris menjadi penengah dengan mengirimkan Sir Archibald Clark Kerr.
Perundingan antara Indonesia dan Belanda berlangsung pada tanggal 14-24 April 1946 di Hooge-Veluwe, Belanda. Dalam perundingan Hooge-Veluwe tersebut, pihak Indonesia dan Belanda membahas mengenai permasalahan status kenegaraan, kemerdekaan, dan wilayah Indonesia. Munculnya perundingan Hooge-Veluwe disebabkan oleh kegagalan perundingan pendahuluan antara NICA (Belanda) dan Indonesia pada 23 Oktober 1945 di Jakarta.
Sebelum pelaksanaan perundingan Hooge-Veluwe, Indonesia dan Belanda telah menandatangani naskah kesepahaman bernama Draft Jakarta pada 27 Maret 1946. Dalam Draft Jakarta, Belanda mengakui secara de facto pemerintahan Indonesia yang meliputi Jawa dan Sumatera. Selain itu, Belanda juga sepakat untuk membahas gagasan hubungan sejajar antara Belanda dan Indonesia sebagai dua negara berdaulat. Pada perkembangannya, naskah Draft Jakarta akan menjadi acuan dalam perundingan Hooge-Veluwe pada bulan April 1946 (Nasution, 1978).
Perundingan Hooge-Veluwe berjalan dengan panjang dan rumit. Hal tersebut disebabkan oleh tindakan Belanda yang membatalkan naskah Draft Jakarta secara sepihak. Tim delegasi Belanda menganggap bahwa Draft Jakarta merupakan sebuah kesalahan karena tidak mencerminkan seluruh keinginan Belanda. Tim delegasi Indonesia merasa sangat kecewa dengan tindakan Belanda tersebut. Pada akhirnya, perundingan Hooge-Veluwe mengalami kegagalan karena sikap inkonsisten dari tim delegasi Belanda.
Dalam buku Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (2013) karya George McTurnan Kahin, kegagalan perundingan Hooge-Veluwe berkaitan dengan masalah politik yang sedang terjadi di internal kerajaan Belanda. Mayoritas politisi Belanda masih menginginkan Indonesia menjadi wilayah bawahan kerajaan Belanda serta bersikeras untuk tidak mengakui kedaulatan Indonesia (Gama Prabowo dan Serafica Gischa, KOMPAS.com, 21 Desember 2020).
Komentar
Posting Komentar