Peristiwa 3 Juli 1946


 

Ketegangan antara Kabinet Sjahrir II dan kelompok oposisi semakin meruncing. Rencana kudeta kelompok Persatuan Perjuangan sudah diketahui pemerintah. Pada tanggal 23 Maret 1946, tokoh-tokoh kelompok Persatuan Perjuangan, antara lain Tan Malaka, Mr. Subardjo dan Sukarni , serta beberapa tokoh lainnya ditangkap. Meskipun demikian, usaha kudeta tetap saja terjadi (Purwoko, ENI Vol. 13, 2004 : 76).

Pada tanggal 27 Juni 1946, Hatta menyampaikan sebuah pidato di Yogyakarta mengenai lemahnya posisi pemerintah dalam berunding dengan Belanda. Kaum oposisi menganggap ini sebagai pengkhianatan terhadap “kemerdekaan 100 persen”. Pada malam harinya, ketika Sjahrir dan rombongannya singgah di Surakarta sepulang dari muhibah di Jawa Timur, mereka ditangkap oleh satuan tentara setempat. Harapan mereka tindakan ini bisa membuat Sukarno, Soedirman dan “kemerdekaan 100 persen” berkuasa atas Republik. Namun demikian Soedirman tidak bersedia melepaskan Sjahrir.

Pada tanggal 30 Juni, Sukarno mengadakan siarana radio, menyatakan bahwa penangkapan terhadap Sjahrir membahayakan persatuan bangsa. Himbauan Sukarno ternyata efektif. Malam itu juga kaum oposisi melepaskan Sjahrir.  Pemerintah kemudian menangkap beberapa lawan utamanya seperti  Adam Malik  dan beberapa orang lainnya. Mohamad Yamin  berhasil lolos. Tentara kemudian meminta agar tawanan-tawanan tersebut dibebaskan (Ricklefs, 2005 : 449).

Peristiwa 3 Juli 1946 dipimpin oleh Mayor Jendral Sudarsono. Ia berserta rekan-rekannya menyodorkan empat naskah maklumat kepada Presiden untuk ditandatangani , yang isinya menyebutkan agar : (1) Presiden memberhentikan Kabinet Sjahrir; (2) Presiden menyerahkan pimpinan politik, sosial dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik; (3) Presiden mengangkat 10 orang Dewan Pimpinan Politik (yang nama-namanya tercantum dalam naskah); (4) Presiden mengangkat 13 menteri negara (yang nama-namanya tercantum dalam naskah).

Hakikat dari maklumat yang disodorkan kepada Presiden adalah agar pimpinan pemerintahan diserahkan kepada para pengikut kelompok Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Tan Malaka. Presiden Sukarno tidak mau menerima maklumat tersebut. Pada saat itu juga Mayor Jendral Sudarsono beserta rekannya ditangkap (Purwoko, ENI Vol. 13, 2004 : 77). Pendukung pemerintah juga menangkap sekitar seratus orang lainnya termasuk Yamin (Ricklefs, 2005 : 450).

Pada tanggal 8 Juli, BP KNIP menyetuhui seluruh kekuasaan ditaruh di tangan Presiden selama keadaan belum bisa kembali (Supeni, 2001 : 252).

Empat belas orang yang diduga terlibat dalam usaha kudeta diajukan ke Mahkamah Tentara Agung. Tujuh  terdakwa dibebaskan dari tuntutan. Dalam persidangan pengadilan tersebut , selain Mayor Jendral Sudarsono, Mr. Mohammad Yamin juga dipersalahkan memimpin percobaan mengubah pemerintahan yang sah. Mereka kemudian dijatuhi hukuman empat tahun. Lima terdakwa lainnya dijatuhi hukuman 2-3 tahun. Tetapi mereka semuanya dibebaskan dengan grasi Presiden Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1948, pada saat memperingati hari proklamasi yang ketiga ( Purwoko, 2004 : 77).

Pemerintah  menyalahkan Tan Malaka atas terjadinya peristiwa ini. Soedirman bersikap lebih luwes. Sukarno menjadi tokoh satu satunya yang dapat mencegah kekacauan. Sjahrir,  meski  dukungan dalam negeri  terhadapnya lemah, tapi dalam proses perundingan belum dapat digantikan (Ricklefs, 2005 : 450).

Menurut Ali Sastroamidjojo dalam buknya  Tonggak-tonggal di Perjalananku, ia meragukan bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam usaha kudeta tersebut – seperti Mohammad Yamin—benar-benar mempunyai maksud menggulingkan Presiden Sukarno. Hal ini disebabkan karena mereka adalah sahabat dekat Presiden Sukarno. Selain itu setelah dibebaskan mereka diberi jabatan penting dalam pemerintahan Republik Indonesia ( Purwoko, 2004 : 77).


Pada tanggal 5 Juli, Dr. Beel menerangkan bahwa program politik pemerintah Belanda tetap berdasarkan Pidato Ratu Wilhelmina tanggal 6 Desember 1942. Pada tanggal 9 Juli Sjahrir mengusulkan peletakan senjata di kedua belah pihak tapi usul Sjahrir ini ditolak oleh Van Mook. Pada tanggal 10 Juli pukul 24.00, wilayah Indonesia di luar Jawa, Sumatera dan Madura diserahkan oleh tentara Inggris kepada Belanda.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan