Pemungutan Suara dalam Konstituante

 

Wilopo dalam bukunya Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Perundingan 1957 (tujuh jilid), dan buku Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante (tiga jilid) yang diterbitkan pada tahun 1958, menyatakan setidaknya ada tiga golongan yang berjuang ingin menggolkan ideologinya menjadi dasar negara Republik Indonesia.

Golongan pertama menghendaki Pancasila tetap sebagai dasar negara, dan menolak sosial ekonomi dan agama Islam menjadi dasar negara Republik Indonesia.

Golongan kedua menghendaki agama Islam menjadi dasar negara RI, serta menolak Pancasila dan sosial ekonomi menjadi dasar negara RI.

Golongan ketiga menghendaki sosial ekonomi menjadi dasar RI, dan menolak Pancasila dan sosial ekonomi menjadi dasar RI.

Sementara itu, di kalangan masyarakat muncul pendapat semakin kuat, yang menghendaki diberlakukannya kembali UUD 1945.

Pada tanggal 25 April 1959 Presiden Sukarno menyampaikan saran kepada Konstituante  untuk kembali kepada UUD 1945.

Konstituante mengadakan beberapa kali sidang pleno yakni, Sidang Pleno Pemandangan Umum Fraksi-fraksi dalam Konstituante (dua kali) dan Sidang Pleno Tanggapan Pemerintah terhadap Pemandangan Umum Fraksi-fraksi (dua kali). Keempat Sidang Pleno Konstituante tersebut sudah kami sampaikan pada tulisan terdahulu.

Pemungutan Suara

Pada akhirnya Konstituante mengadakan pemungutan suara pada tanggal 30 Mei, 1 dan 2 Juni 1959. 

Pada pemungutan suara tanggal 30 Mei 1959 hasilnya adalah 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara menolaknya.

Pemungutan suara tanggal 1 Juni 1959 menunjukkan bahwa 263 suara menyetujui kembali ke UUD 1945 dan 203 menolak.

Pemungutan suara tanggal 2 Juni 1959 menghasilkan suara 264 suara setuju kembali ke UUD 1945 dan 204 menolaknya.  

Tidak Mencapai Kuorum

Ternyata sebagian besar anggotaKonstituante menghendaki kembali kepada UUD 1945, tetapi jumlah suaranya tidak mencapai dua pertiga suara yang masuk sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 137 UUDS 1950.


Sesudah pemungutan suara yang ketiga itu, beberapa anggota menolak menghadiri Sidang-sidang Konstituante. Sebagai akibatnya keadaan negara menjadi genting, perpecahan bangsa mengancam. Untuk menyelamatkan Negara inilah kemudian Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (Sudibjo, ENI Vol. 9, PT Delta Pamungkas, Jakarta, 2004 : 117).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Muhammad Yamin

B.M. Diah

PSII di Zaman Jepang