Hari Pahlawan
Pada 9 November 1945, Mayor Jendral Br. Mansergh memberikan ultimatum kepada bangsa Indonesia di Surabaya, supaya orang Indonesia yang bersalah "membunuh" Brigadir Jendral Mallaby menyerahkan diri. Waktunya dibatasi sampai tanggal 10 November 1945 jam 06.00. Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara Inggris akan digunakan untuk memperkuat ultimatum tersebut. Surat Mansergh yang dikirim kepada Soerjo, Gubernur Jawa Timur adalah sbb :
November, 9th. 1945.
TO ALL INDONESIANS OF SOERABAYA.
On October 28th, the Indonesians of Soerabaya treacherously and without provocation, suddenly attacked the british Forces who came for the purpose of disarming and concentrating the Japanese Forces, of bringing relief to Allied prisoners of war and internees, and of maintaining law and order. In the fighting which ensued British personel were killed or wounded, some are missing, interned women and children were massacred, and finally Brigadier Mallaby was foully murdered when trying to implement the truce which had been broken in spite of Indonesian undertakings.
The above crimes against civilization cannot go unpunished. Unless therefore, the following ordes are obeyed without fail by 06.00 hours on 10th.November at the latest, I shall enforce them with all the sea, land and air forces at my disposal, and those Indonesians who have failed to obey my orders will be solely responsible for the bloodshed which must inevitably ensue.
(Signed)
Maj.Gen.R.C.Mansergh Commander Allied Land Forces, East Java.
Presiden Soekarno berseru kepada Presiden AS, Truman dan PM Inggris, Attlee supaya mencegah pertempuran darah di Jawa.
10 November 1945.
Soebardjo atas nama pemerintah kemudian menyerahkan segala keputusan di tangan Gubernur Soerjo. Lantas keluarlah pidato orang nomor satu di Jawa Timur itu kepada segenap rakyat Surabaya dan sekitarnya pada 9 November malam lewat radio.
“Saudara-saudara sekalian. Pucuk pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan peristiwa Surabaya pada hari ini, tetapi sayang sekali sia-sia belaka, sehingga kesemuanya diserahkan kepada kebijaksanaan kita di Surabaya sendiri.
Semua usaha kita untuk berunding senantiasa gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad kita yang satu, yaitu berani menghadapi segala kemungkinan.
Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah, lebih baik hancur dari pada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita akan memegang teguh sikap kita ini. Kita tetap menolak ultimatum itu.
Dalam menghadapi segala kemungkinan besok pagi, mari kita semua memelihara persatuan yang bulat antara pemerintah, rakyat, TKR, Polisi dan semua Badan-badan perjoangan pemuda dan rakyat kita.
Mari kita sekarang memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga kita sekalian mendapat kekuatan lahir-bathin serta Rakhat dan Taufik dalam perjoangan. Selamat berjoang!”
Pada 10 November 1945 subuh, pasukan Inggris memulai suatu aksi pembersihan berdarah di seluruh pelosok kota Surabaya di bawah lindungan pengeboman dari udara dan laut dalam menghadapi perlawanan rakyat Indonesia yang fanatik. Dalam waktu tiga hari, hampir separuh kota berhasil dikuasai pihak Inggris, tapi pertempuran baru berakhir sekitar tiga minggu kemudian. Sedikitnya 6.000 rakyat Indonesia gugur dan ribuan lainnya meninggalkan kota yang hancur itu. Perlawanan mereka yang bersifat pengorbanan tersebut telah menciptakan lambang dan pekik persatuan demi Revolusi (Rickleffs, 2004 : 438).
Soetomo yang dikenal dengan panggilan Bung Tomo, menggunakan radio setempat untuk menimbulkan suasana semangat revolusi yang fanatik ke seluruh penjuru kota.
Komentar
Posting Komentar